Mendengar Banyumas: Balada, Tanah, dan Suara yang Tersisa

Oleh: Abdul Wachid B.S.*

 

1. Mengapa Balada, Mengapa Banyumas

Saya tidak datang ke Banyumas dengan membawa peta konsep atau daftar istilah budaya. Saya datang dengan langkah pelan, seperti orang yang menepi di pinggir jalan desa, lalu memilih duduk dan mendengarkan. Banyumas bagi saya bukan pertama-tama sebuah wilayah administratif, melainkan tanah hidup yang berbicara lewat kebiasaan, lewat laku orang-orangnya, lewat humor yang kadang tampak remeh tetapi menyimpan cara pandang yang jernih tentang hidup.

Balada saya pilih bukan sebagai bentuk sastra yang ingin menjelaskan, melainkan sebagai cara mendengar. Balada memberi ruang pada cerita untuk berjalan dengan napasnya sendiri, tanpa tergesa, tanpa harus segera disimpulkan. Ia memungkinkan suara-suara kecil, yang sering terlewat dalam sejarah besar, untuk tetap terdengar apa adanya. Dalam balada, saya tidak berdiri sebagai penafsir yang merasa tahu segalanya, melainkan sebagai saksi yang berjalan perlahan, menahan diri untuk tidak mendahului makna.

Banyumas saya hayati sebagai ruang perjumpaan antara keseharian dan kebijaksanaan yang tidak selalu diucapkan. Di sana, tawa tidak berdiri berseberangan dengan iman; justru sering menjadi cara iman menurunkan ketegangannya agar tetap manusiawi. Dalam nada Banyumasan, saya menemukan kejujuran yang tidak berlapis-lapis, blaka suta yang bukan sembarang bicara, melainkan keberanian untuk tidak berpura-pura.

Karena itu, balada-balada ini tidak lahir dari ambisi untuk merangkum Banyumas secara utuh, itu mustahil. Ia lahir dari keinginan sederhana: mencatat apa yang saya dengar, apa yang saya lihat, apa yang saya rasakan ketika hidup bersisian dengan tradisi dan laku yang terus bergerak. Saya menulis sebagai orang yang belajar menaruh hormat, menjaga jarak yang perlu, dan percaya bahwa budaya hanya bisa dipahami jika kita bersedia mendengarnya dengan sabar.

Balada Banyumas adalah catatan perjalanan batin: tentang mendekat tanpa menguasai, tentang memahami tanpa mengklaim, tentang mencintai tanpa harus merasa memiliki.

 

2. Banyumas sebagai Ruang Hidup, Bukan Objek Budaya

Banyumas tidak menunggu pengunjung untuk dicatat atau dipamerkan. Ia tidak hidup di lembaran arsip atau foto-foto lama, dan bukan pula folklor yang diam di museum. Saya menyadari hal ini ketika menulis balada-balada, bahwa setiap tetes keringat di sawah, setiap doa yang dibisikkan di langgar, bahkan tawa kecil anak-anak yang meniti halaman rumah, adalah bagian dari tradisi yang bernapas. Budaya Banyumas bukan untuk dilihat sekadar sebagai objek, melainkan untuk dialami, diserap, dan dihormati.

Nilai-nilai ini saya saksikan secara langsung dalam keluarga istri saya, yang lahir dan besar di desa Rabak, Kalimanah, Purbalingga. Almarhum ayahandanya, seorang kiai yang dihormati oleh masyarakat, menafasi perilaku budaya Banyumas dalam keseharian desa. Dari beliau saya belajar bahwa tradisi bukan sekadar ritual atau formalitas, tetapi cara hidup yang mengajarkan doa, humor, kesabaran, dan ketekunan. Menulis balada-balada ini bukanlah ambisi pribadi untuk menonjolkan budaya, melainkan upaya menangkap jejak-jejak itu agar anak-cucu keluarga istri saya mengenal akar spiritual dan kultural mereka: Islam di Banyumas yang lahir dari praktik, laku, dan doa.

Setiap balada yang saya tulis lahir dari pengamatan yang lambat, dari ruang yang disentuh sehari-hari: suara gong kecil di pagi hari, langkah orang yang pergi ke pasar, anak yang berlarian sambil menirukan gerak wayang. Di sanalah saya menemukan bahwa tradisi tidak perlu dijelaskan berulang-ulang. Ia hadir melalui gerak, doa, dan humor, melalui laku sehari-hari yang mungkin tampak sepele bagi mata yang terburu-buru, tetapi sarat makna bagi yang mampu mendengar.

Banyumas mengajarkan kesabaran. Ia mengingatkan bahwa laku hidup yang sederhana, membersihkan makam leluhur, menyiapkan makanan untuk sesama, menyapa tetangga dengan tulus, lebih berbicara daripada cerita yang dipoles dan disusun rapi di buku atau artikel ilmiah. Balada menjadi medium yang menyalurkan kesadaran itu. Balada bukan katalog atau monumen, tetapi jendela yang membuka ruang bagi pembaca untuk masuk ke denyut kehidupan yang asli.

Menulis tentang Banyumas bukan tentang menonjolkan eksotisme. Tidak ada keinginan menonjolkan warna, pakaian, atau ritual seolah-olah itu hanya untuk dikagumi. Justru sebaliknya, keindahan yang saya temukan adalah pada kejujuran dan kelangsungan hidup budaya itu sendiri. Humor yang sederhana, doa yang dilantunkan di langgar kecil, ritus yang dijalani tanpa upacara besar, semuanya hidup karena dijalani, bukan dipertunjukkan.

Balada menjaga keutuhan laku ini. Ia menampung napas manusia dan alam yang bersentuhan sehari-hari, dari sawah ke rumah, dari sungai ke masjid, dari anak-anak ke tetua. Dalam balada, suara-suara yang tampak kecil itu diberi ruang, suara penggembala, gemblung jenjem, langkah petani, dan doa yang terdengar lirih. Budaya hidup tidak perlu diberi tanda atau label. Budaya cukup hadir dengan hormat, dan dengan ketelitian penyair yang mau mendengar lebih dalam daripada melihat.

Dalam hal ini, menulis balada Banyumas berarti menempatkan diri saya bukan sebagai penguasa cerita, tetapi sebagai saksi. Saksi yang berjalan pelan, mendengar, menunggu, dan membiarkan budaya bicara dengan caranya sendiri. Bukan sebagai objek yang harus dijelaskan, tetapi sebagai ruang yang mesti dihormati, dihayati, dan diwartakan melalui kata-kata yang menyesuaikan diri dengan denyut asli tanah, manusia, doa, dan nilai-nilai yang diwariskan keluarga istri saya di sana.

 

3. Balada sebagai Cara Mendengar: Bukan Menggurui, Bukan Menghakimi

Setelah menempatkan diri saya sebagai saksi budaya Banyumas, berjalan pelan, mendengar setiap napas dan laku sehari-hari, saya menyadari bahwa menulis balada bukan sekadar menyusun kata agar indah dibaca. Balada bagi saya adalah cara mendengar: mendengar kehidupan, mendengar alam, dan terutama mendengar suara manusia yang sering luput dari perhatian. Dari tawa anak-anak yang meniti halaman rumah, hingga doa yang dilantunkan di langgar kecil, setiap bunyi dan gerak menjadi isyarat yang mengalir ke dalam tulisan.

Ritme balada lahir dari pengamatan itu. Ia mengikuti napas alam dan manusia: detak langkah petani, gumam doa, celoteh anak-anak, bahkan kesunyian di antara bunyi. Seperti orang bercerita di teras, kadang berhenti sebentar, kadang menekankan satu kata, kadang melompat ke kisah lain. Balada memberi kebebasan bagi pembaca untuk menangkap yang ingin ditangkap, membiarkan sisanya tetap berada di udara, dan menolak menempatkan satu tafsir tunggal sebagai kebenaran mutlak.

Tokoh-tokoh balada, Gatotkaca, Bawor, Wayang Suket, tidak hadir sebagai simbol yang mutlak. Mereka adalah jendela bagi pembaca untuk merasakan denyut kehidupan Banyumas, menemukan makna sendiri, atau membiarkannya tetap samar. Balada menjadi ruang bernapas, kata-kata hadir sebagai teman, bukan sebagai hakim. Dengan begitu, balada memelihara suara-suara yang sering terlewatkan, langkah, tawa, doa, dan isyarat kecil yang menandai kehidupan yang berulang dan abadi.

Keindahan balada Banyumas lahir dari kesederhanaan. Tidak ada hiasan berlebihan, tidak ada simbol yang dipaksakan, semua muncul dari hidup yang nyata. Mendengar menjadi bentuk menghormati. Membiarkan cerita dan imaji mengalir sesuai ritme alami memberi kesempatan bagi pembaca untuk hadir tanpa diarahkan, seperti saya yang hanya merekam dan menyalurkan pengalaman, bukan menguasainya.

Dengan demikian, menulis balada berarti menempatkan diri sebagai pengamat setia, bukan penguasa kata. Balada bukan guru, bukan hakim, bukan panggung penilaian. Balada adalah telinga yang membuka diri, hati yang menampung, dan kata-kata yang memberi ruang agar suara-suara tersembunyi tetap terdengar. Di situlah kekuatan dan keindahannya: memberi pembaca kesempatan mendengar, memahami, dan menghayati tanpa paksaan; hanya dengan rasa hormat dan perhatian yang sama seperti yang saya lakukan saat menulisnya.

 

4. Penyair sebagai Penjaga Jarak dan Kesaksian

Menulis balada Banyumas mengajarkan sesuatu yang sederhana namun fundamental: posisi penyair bukan untuk menguasai. Saya bukan juru bicara budaya, bukan pengatur ritme kehidupan, bukan pencipta tafsir tunggal. Saya hanya hadir, mencatat, menyaksikan, dan membiarkan kata-kata menata jejak-jejak yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Dalam setiap balada, saya menempatkan diri di jarak yang tepat: cukup dekat untuk merasakan denyutnya, cukup jauh agar tidak mengubah alurnya.

Jarak itu adalah bentuk hormat. Hormat kepada orang-orang yang berdoa, tertawa, bekerja, dan menanam; hormat kepada tanah yang memberi hidup, dan bahasa yang menjadi saksi sejarah sekaligus spiritualitas. Jarak memungkinkan puisi berbicara tanpa menguasai, hadir tanpa menuntut jawaban, dan memberi ruang bagi setiap pembaca untuk menemukan jalannya sendiri dalam kisah yang tersaji.

Tidak semua makna harus dituntaskan. Beberapa hal sengaja saya biarkan samar, seperti aroma tanah basah setelah hujan, seperti jejak langkah anak-anak di sawah yang cepat lenyap dari pandangan. Diam, jeda, dan kesenyapan adalah bagian dari puisi, bagian dari balada. Tanpa itu, puisi kehilangan napas; tanpa itu, kesaksian berubah menjadi ceramah. Kekuatan balada Banyumas justru terletak pada ruang yang dibiarkan terbuka: ruang bagi pembaca untuk mendengar, bertanya, merenung, bahkan untuk tidak menemukan jawaban lengkap.

Menjadi penyair dalam konteks ini berarti menjaga agar pertanyaan tetap hidup. Setiap bait, imaji, dan ritme adalah undangan untuk hadir bersama, bukan instruksi untuk menuruti. Saya belajar bahwa diam yang disusun sengaja sama pentingnya dengan kata yang muncul di halaman. Dalam kesenyapan, pembaca dapat merasakan denyut kehidupan sejati, yang sering tak terdengar di keramaian.

Balada tidak menjawab semua pertanyaan. Ia hadir untuk menegaskan bahwa ada ruang bagi suara yang belum terdengar, bagi nilai yang belum dikodifikasi, bagi kehidupan yang tetap bergerak meski diam. Di situlah etika penyair berada: hadir tanpa menguasai, menyaksikan tanpa menuntut, mencatat tanpa memaksakan.

Menjadi penjaga jarak bukan pasif; sebaliknya, itu bentuk perhatian yang aktif. Saya membiarkan kehidupan Banyumas berjalan sendiri di depan mata, sementara saya mencatat jejaknya dengan hormat. Balada menjadi kesaksian: tidak menaklukkan, tetapi merangkul; tidak memaksa, tetapi menahan ruang agar cerita, doa, tawa, dan napas manusia tetap hidup di halaman, menunggu pembaca yang hadir dengan rasa hormat yang sama.

 

5. Antara Humor, Blaka Suta, dan Kebijaksanaan Rakyat

Menulis balada Banyumas membawa saya pada satu pemahaman yang terus berulang: humor bukan sekadar kelucuan, melainkan cara hidup. Ia adalah siasat masyarakat untuk bertahan, untuk menanggung beban tanpa harus mengeluh berlebihan, untuk tetap waras di tengah tekanan hidup yang tidak selalu ramah. Tawa di Banyumas tidak berdiri sendiri; ia bertaut dengan kejujuran, dengan keberanian, dan dengan kesadaran bahwa hidup tidak selalu bisa dihadapi dengan wajah tegang.

Dalam “Balada Blaka Suta”, kejujuran itu hadir tanpa tedeng aling-aling. Ia tidak dipelajari sebagai teori, tetapi dijalani sebagai laku bersama. Seperti suara yang mengalir di ruang terbuka desa, terkadang bercanda, terkadang menegur, blaka suta hidup dalam keberanian untuk menyebut sesuatu sebagaimana adanya. “Kata-kata lahir dari jujur, / dari yang apa adanya—” bukan sekadar pernyataan puitik, melainkan sikap hidup yang dipraktikkan dari hari ke hari.

Di Banyumas, blaka suta bukan gaya bicara yang ingin tampak berani, apalagi kasar. Ia justru tumbuh dari kesadaran kolektif bahwa kejujuran adalah jembatan, bukan senjata. Dalam ruang-ruang komunal, alun-alun, pawon, langgar, hingga pasar, orang belajar menyampaikan niat, tekad, dan tanggung jawab tanpa tirai. “Keterusterangan adalah jembatan / yang menghubungkan hati ke hati,” demikian balada itu mengingatkan, dengan nada tenang dan tanpa penghakiman.

Tokoh-tokoh dalam balada Banyumas, Bawor, misalnya, sering dianggap lucu, gaduh, atau tidak rapi. Namun justru di situlah letak kebijaksanaannya. Bawor menyebut lapar ketika yang lain sibuk berpidato tentang tata negara; ia menyebut takut ketika keberanian dielu-elukan. Ia tidak sedang melawan, melainkan mengingatkan bahwa hidup manusia selalu berangkat dari kebutuhan yang nyata. Humor menjadi cara untuk menyampaikan kebenaran tanpa harus meninggikan suara.

Kebijaksanaan rakyat, sebagaimana tercermin dalam balada yang saya tulis, tidak lahir dari konsep besar, melainkan dari keberanian rakyat untuk jujur dan konsisten menanggung akibatnya. Seperti yang diucapkan dalam balada: “Iki sing tak lakoni… / Iki sing tak tanggung…”; sebuah pernyataan sederhana yang menegaskan bahwa kata dan laku harus saling mengikat. Di situlah etika Banyumas bekerja: tidak manis, tidak bertele-tele, tetapi berakar.

Dengan demikian, humor dan blaka suta dalam balada Banyumas bukan pelengkap suasana, melainkan fondasi kebijaksanaan. Ia mengajarkan bahwa kejujuran tidak selalu halus, tetapi selalu diperlukan; tidak selalu nyaman, tetapi menyelamatkan. Balada mencatat laku itu dengan tenang, tanpa menggurui, dan mengundang pembaca untuk melihat bahwa kearifan lokal hidup justru karena ia dijalani, apa adanya, berani, dan bertanggung jawab.

 

6. Balada Banyumas sebagai Undangan, Bukan Pernyataan Selesai

Menutup buku ini bukan berarti menutup cara membaca Banyumas. Sebaliknya, setiap balada yang tersusun adalah pintu yang terbuka, memberi ruang bagi siapa saja yang ingin masuk dan mendengar. Buku ini bukan monumen, bukan pajangan yang harus dikagumi dari jauh, melainkan undangan; sebuah sapaan dari tanah, dari orang-orang, dari ritual, dan dari doa-doa yang menumpuk di antara langkah-langkah sederhana.

Sebagai penyair, saya tidak membawa kunci untuk menafsirkan semuanya. Saya hanya menaruh langkah saya di tanah yang sama dengan orang-orang yang saya tulis, berjalan pelan, menoleh, menyimak. Balada hanyalah medium, bukan penetap makna. Makna itu akan hidup ketika dibawa oleh pembaca, oleh waktu, oleh pengalaman mereka sendiri. Kadang, balada berhenti di bait, kadang terus mengalir di dalam hati yang mendengar.

Ini adalah penyerahan. Penyerahan pada apa yang belum selesai. Pada humor yang jatuh begitu saja, pada blakasuta yang mendorong kejujuran, pada Bawor dan Mbah Gepuk yang bicara dari pinggir panggung. Pada suara-suara kecil yang kadang tidak terdengar, tapi tetap membentuk ruang hidup Banyumas. Seperti air yang mengalir di Serayu atau langkah-langkah yang meniti sawah, semua akan terus bergerak, walau kita tidak selalu hadir untuk menyaksikannya.

Maka, membaca Balada Banyumas adalah mengizinkan diri untuk berada di antara suara, jeda, dan doa. Membiarkan pertanyaan tetap hidup, membiarkan bayangan tetap menari di kepala, dan membiarkan tawa (serta kesunyian) menjadi bagian dari pemahaman kita. Buku ini bukan pernyataan selesai, melainkan undangan yang selalu berlaku: dengarkan, hayati, dan biarkan Banyumas berbicara dengan caranya sendiri.

Selama tanah itu hidup, balada tidak akan pernah selesai. Dan selama kita mau mendengar, Banyumas akan terus mengalir dalam kata, langkah, dan napas kita.

 

7. Penutup

Dan kini saya menutup buku ini, tetapi tidak menutup jalan untuk membaca Banyumas. Apa yang telah ditulis dalam balada-balada ini bukanlah peta yang selesai, melainkan jejak langkah yang sengaja dibiarkan samar agar dapat dilanjutkan oleh waktu dan pembaca. Saya hanya menitipkan kata-kata di halaman, lalu mundur pelan, memberi ruang agar suara tanah, doa, dan manusia berbicara dengan caranya sendiri.

Sejak awal, Banyumas saya dengar bukan sebagai wilayah yang ingin saya kuasai maknanya, melainkan sebagai tanah yang mengajari saya bersikap rendah hati. Seperti yang dibisikkan dalam balada, “Banyumas bukan sekadar tanah, / tapi doa yang bergerak.” Di situlah saya berhenti menafsir dan mulai menyerahkan. Sebab doa yang bergerak tidak pernah bisa dikurung dalam satu kesimpulan.

Balada-balada ini saya tinggalkan agar hidup di luar buku, di ingatan pembaca, di percakapan kecil, di jeda sunyi setelah tawa. Jika ada yang tertinggal, biarlah ia tumbuh sendiri. Sebab, seperti tanah yang basah oleh hujan pertama, makna tidak selalu muncul saat ditanam, tetapi ketika diberi waktu.

Saya, penyair, hanya pamit dengan suara rendah. Tidak mengumumkan kebenaran, tidak menutup pertanyaan. “Tanah ini adalah kitab, / tubuh adalah pena,” tulis balada itu, dan saya percaya sepenuhnya: selama manusia masih mau membaca dengan tubuh dan mendengar dengan hati, cerita tidak akan berhenti.

Saya pergi, tetapi balada tetap berjalan, sebagai napas bumi, sebagai doa yang belum selesai, sebagai suara Banyumas yang terus mencari telinga hati yang bersedia mendengar. ***

 

———-

*Abdul Wachid B.S., adalah penyair dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.