Mencari Kambing Hitam Banjir Sumatera

Oleh: Gus Nas Jogja

 

Epistemologi Bencana dan Terminologi Dungu Ekologi

Katastrofi hidrometeorologi yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh pada penghujung November 2025, yang menelan lebih dari 400 korban jiwa, adalah sebuah simfoni horor yang terus berulang. Bencana ini, dipicu oleh curah hujan ekstrem (lebih dari 300 mm per hari) dan dorongan Siklon Tropis Senyar, bukan lagi dapat dikategorikan sebagai “musibah alam” yang berdiri sendiri. Ia adalah konsekuensi kausal dari sebuah penyakit peradaban yang kita sebut Dungu Ekologi.

Dungu Ekologi adalah kegagalan kolektif yang termanifestasi dalam empat dimensi:

1. Kegagalan Nalar atau Logos: Ketidakmampuan untuk memahami sistem alam (oikos) yang rapuh.
2. Kegagalan Moral atau Etos: Ketidakpedulian terhadap nilai intrinsik kehidupan non-manusia.
3. Kegagalan Hukum atau Nomos: Ketidakmampuan institusi untuk mengatur keserakahan.

Kegagalan Eksistensial merupakan pilihan inautentik untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Pencarian “kambing hitam” dalam esai ini harus melampaui individu-individu, menuju pengungkapan Sistem Dosa yang melanggengkan kehancuran. Tragedi Sumatera adalah bukti nyata bahwa cuaca ekstrem hanyalah pemicu yang membuka kotak Pandora kerapuhan struktural di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dan di bentang Bukit Barisan.

 

Kambing Hitam Eksistensial: Pilihan Absurd dan Tangan Kotor

Pada tingkat paling asasi, Dungu Ekologi berakar pada krisis eksistensial manusia modern. Filsuf Jean-Paul Sartre mengajarkan bahwa manusia dikukuh untuk bebas (condamné à être libre), di mana kebebasan total membawa tanggung jawab absolut atas setiap pilihan.1

Dalam menghadapi bencana ekologis, setiap individu dihadapkan pada dikotomi yang brutal:

1. Pilihan Otentik: Memahami diri sebagai anggota komunitas tanah (Land Ethic ala Aldo Leopold 2), mengambil tanggung jawab penuh atas konsumsi, dan berjuang melawan struktur perusakan.

2. Pilihan Inautentik: Berlindung di balik alibi—Takdir, Siklon, atau birokrasi—sambil terus menikmati keuntungan dari kerusakan (pembalak, pemodal, atau konsumen yang pasif).

Kecelakaan tragis di Sumatera adalah dampak dari pilihan inautentik kolektif. Pemodal tambang yang duduk nyaman di Jakarta, petugas yang menerima suap, dan konsumen yang menuntut harga murah (tanpa memedulikan jejak ekologis) semuanya berbagi tanggung jawab.

Ketika banjir bandang merenggut ratusan nyawa, seorang pemodal tambang yang duduk nyaman di Jakarta berbisik kepada pengacaranya, “Syukurlah, ada Siklon Senyar! Kami bisa menyalahkan dinamika atmosfer yang luar biasa. Siapa yang akan repot-repot memeriksa kayu balak sisa logging yang menyumbat sungai di hulu Minang? Langit adalah kambing hitam yang sempurna, jauh dan tidak punya pengacara.”

Filsuf Albert Camus mendefinisikan Absurditas sebagai benturan antara pencarian makna manusia dan kebisuan kosmik. Namun, dalam tragedi ekologis ini, absurditas itu lenyap: kehancuran memiliki makna yang jelas, yaitu kausalitas logis antara keserakahan manusia dan keruntuhan ekosistem hulu DAS.

Kambing Hitam Struktural: Keserakahan Ekonomi dan Kebutaan Antroposentrisme

Akar filosofis Dungu Ekologi adalah Antroposentrisme Radikal yang didukung oleh Keserakahan Ekonomi yang diinstitusionalisasikan. Pandangan bahwa manusia adalah pusat dan alam hanyalah sumber daya telah membenarkan ekonomi ekstraktif yang gila.

Ekonom revolusioner E. F. Schumacher, dalam Small Is Beautiful, mengkritik obsesi pertumbuhan tanpa batas:

“Masa depan haruslah yang kecil, bukan yang besar. Yang kecil memberi keindahan, yang besar memberi kegilaan.” – E. F. Schumacher.3

Di Sumatera, kegilaan itu terwujud. Hutan primer di hulu DAS dianggap “lahan tidur” yang harus diproduktifkan menjadi tambang atau perkebunan monokultur. Tragedi banjir bandang akhir 2025 adalah pembayaran yang tertunda (deferred payment) atas keuntungan finansial jangka pendek ini.

Kegagalan sistem ini adalah kegagalan menghitung biaya eksternalitas. Nilai jasa ekosistem (regulasi air, penyimpan karbon, penahan tanah) yang hilang akibat pembabatan jauh lebih besar daripada nilai komoditas yang diekstraksi. Praktik ini, sering dilegalkan melalui izin-izin yang tumpang tindih, adalah cerminan korupsi struktural dalam tata ruang.

Ekonom lingkungan Herman Daly menyerukan model Steady-State Economy yang mengakui batas-batas planet.

“Tidak ada hal seperti pertumbuhan abadi dalam dunia yang terbatas. Siapa pun yang percaya hal itu gila atau ekonom.” – Kenneth Boulding (dikutip oleh Daly).4

Sementara aktivis lingkungan Vandana Shiva mengkritik sistem yang mengubah sumber daya penting menjadi komoditas:

“Ketika sumber daya alam yang penting bagi kehidupan diubah menjadi komoditas untuk dijual, hak asasi manusia dan ekologi akan selalu terkorbankan.” – Vandana Shiva.5

Kambing hitam ekonomi adalah sistem yang mengizinkan profit kotor di atas martabat lingkungan.

 

Kambing Hitam Hukum dan Tata Kelola: Tumpulnya Nomos

Dalam konteks hukum nasional, Dungu Ekologi mencapai puncaknya pada kausalitas legalitas yang mandul. Indonesia memiliki landasan hukum lingkungan yang kuat (UU PPLH), tetapi implementasinya rapuh, terutama dalam penegakan di wilayah strategis seperti DAS Sumatera.

Sebelumnya, kegagalan ini diawali dengan Buta Literasi Ekologi di tingkat pengambil keputusan, yang berujung pada Tragedi Sumber Daya Bersama (Tragedy of the Commons) di hulu DAS. Kegagalan ini bukan pada sumber dayanya, melainkan pada kegagalan institusi tata kelola, sebagaimana analisis peraih Nobel Elinor Ostrom.6

Kita harus merujuk pada pemikiran para pelopor lingkungan Indonesia:

A. Prof. Dr. Kusnadi Hardjasoemantri: Hukum sebagai Pedang Tumpul

Prof. Dr. Kusnadi Hardjasoemantri, arsitek penting UU Hukum Lingkungan, menekankan peran Hukum Lingkungan sebagai Pengatur yang proaktif untuk pencegahan.

“Hukum Lingkungan berfungsi mengatur, mendidik, dan mengarahkan perilaku pembangunan agar selaras dengan kemampuan daya dukung lingkungan.” – Kusnadi Hardjasoemantri.7

Tragedi Sumatera menegaskan bahwa hukum telah menjadi pedang tumpul. Pelanggaran DAS di hulu terjadi karena penegak hukum gagal mendidik, mengarahkan, atau yang terburuk, terlibat dalam kolusi. Dalam kasus banjir, kausalitas hukum harusnya tegas: perizinan yang dikeluarkan di zona terlarang (hutan lindung/resapan) adalah bentuk maladministrasi yang harus dituntut karena menyebabkan bencana.

B. Prof. Dr. Otto Soemarwoto: Kualitas Lingkungan dan Kebijakan yang Lumpuh

Prof. Dr. Otto Soemarwoto berfokus pada konsep Kualitas Lingkungan Hidup sebagai penentu kesejahteraan. Beliau menuntut pembangunan diukur dari peningkatan kualitas hidup, bukan sekadar output ekonomi.

“Pembangunan yang tidak menaruh perhatian pada kemampuan daya dukung lingkungan hanya akan menghasilkan kerusakan, bukan kesejahteraan.” – Otto Soemarwoto.8

Banjir bandang di tiga provinsi Sumatera adalah bukti definitif bahwa kebijakan pembangunan telah lumpuh secara ekologis. Alih-alih meningkatkan kualitas hidup, kebijakan ekstraktif justru menghancurkan sistem penyangga ekologi dan membunuh warga. Kegagalan tata ruang mematuhi daya dukung lingkungan adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip yang diperjuangkan Otto Soemarwoto.

C. Prof. Dr. Emil Salim: AMDAL, PDB, dan Kebutaan Ekonomi

Sebagai ekonom lingkungan terkemuka, Prof. Dr. Emil Salim berjuang mengintegrasikan ekologi ke dalam perencanaan ekonomi melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Emil Salim mengkritik kebutaan ekonomi yang hanya melihat Gross Domestic Product (PDB) tanpa menghitung kerugian lingkungan.

“AMDAL adalah perangkat pencegahan. Ia harus diterapkan secara jujur untuk memastikan bahwa proyek pembangunan tidak akan menjadi proyek kehancuran di masa depan.” – Emil Salim.9

Bencana Sumatera menunjukkan bahwa AMDAL telah terdegradasi menjadi sekadar formalitas administratif yang bisa dinegosiasikan. Proyek perusak DAS tetap diloloskan, dan biaya restorasi serta kerugian nyawa jauh lebih mahal daripada keuntungan proyek tersebut. Tragedi ini adalah konfirmasi pahit atas peringatannya: Kita menanam kekayaan semu seperti tambang, sawit, kayu dan menuai kehancuran nyata berupa banjir dan tanah longsor.

 

Narasi Spiritual: Pengkhianatan Mizan dan Estetika Moral

Pada tingkat spiritual, Dungu Ekologi adalah pengkhianatan terhadap mizan atau keseimbangan kosmik yang diajarkan dalam teologi dan kearifan lokal.

Di Minangkabau, falsafah “Alam Takambang Jadi Guru” mengajarkan etika resiprositas; bencana adalah teguran ilahiah karena menggantikan guru dengan nafsu. Di Aceh, kawasan yang mengemban tugas Serambi Mekkah, pembalakan liar adalah fasad atau perusakan yang merobek tugas khalifatullah fil-ardh (wakil Tuhan di Bumi). Hilangnya rasa hormat terhadap alam adalah hilangnya rasa takut terhadap Tuhan.

Sastra berfungsi sebagai saksi estetika moral. Puisi yang muncul dari bencana ini adalah sastra penderitaan yang menegaskan bahwa keindahan alam yang dihancurkan (gurun cokelat gundul menggantikan hutan) tidak dapat dipisahkan dari kebenaran dan kebaikan. Sastra adalah alarm etis yang menolak estetika keserakahan.

“Ketika Bumi telah hancur, kita tidak punya cerita lagi untuk diceritakan, tidak ada puisi lagi untuk ditulis.” – Refleksi Sastrawi oleh Gus Nas Jogja.

 

Penutup:

Deklarasi Revolusi Kesadaran

Banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera akhir 2025 adalah babak epik dari Dungu Ekologi. Kambing hitamnya bukan angin, Siklon Senyar, atau takdir, melainkan sebuah Sistem Dungu Ekologi yang didukung oleh pilihan eksistensial inautentik, keserakahan ekonomi, dan hukum yang mandul.

Untuk mengakhiri siklus bencana ini, dibutuhkan sebuah Revolusi Kesadaran Komprehensif:

1. Penegakan Kausalitas Hukum Absolut atau Nomos: Mengembalikan “pedang hukum” (Kusnadi Hardjasoemantri) dengan menuntut pidana dan perdata terhadap penandatangan izin dan pemodal yang terbukti menyebabkan bencana, berdasarkan prinsip tanggung jawab mutlak.

2. Restrukturisasi Ekonomi Ekosentris atau Logos & Etos: Menginternalisasi biaya ekologis secara penuh, menghitung kerugian PDB akibat bencana, dan menjadikan AMDAL (Emil Salim) sebagai benteng pencegahan yang tak dapat ditembus, serta menolak model pertumbuhan gila (Herman Daly).

3. Rekonstruksi Eksistensial: Setiap individu harus menolak peran inautentik dan mengakui tanggung jawabnya sebagai anggota, bukan penakluk, dari Komunitas Tanah (Otto Soemarwoto), dan kembali pada mizan spiritual.

Hanya dengan keberanian moral dan integritas struktural kita dapat mengubah narasi kehancuran ini menjadi epik restorasi, dan mengembalikan kehormatan pada Tanah Rencong, Tanah Batak, dan Tanah Minang.

Wallahu A’lam

——–

Catatan Kaki dan Rujukan Ilmiah

1 Sartre, J. P. (2007). Existentialism is a Humanism. Yale University Press. (Konsep kebebasan dan tanggung jawab absolut manusia).

2 Leopold, A. (1949). A Sand County Almanac: With Essays on Conservation from Round River. Oxford University Press. (Karya fundamental mengenai Etika Tanah).

3 Schumacher, E. F. (1973). Small Is Beautiful: A Study of Economics As If People Mattered. Blond & Briggs. (Kritik terhadap ekonomi skala besar dan pertumbuhan tak terbatas).

4 Daly, H. E. (1996). Beyond Growth: The Economics of Sustainable Development. Beacon Press. (Analisis kritis terhadap ekonomi ekstraktif dan advokasi model Steady-State Economy).

5 Shiva, V. (1997). Biopiracy: The Plunder of Nature and Knowledge. South End Press. (Kritik terhadap sistem ekonomi global yang mengkomodifikasi sumber daya alam).

6 Ostrom, E. (1990). Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge University Press. (Analisis tentang kegagalan institusi tata kelola Sumber Daya Bersama).

7 Hardjasoemantri, K. (1992). Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press. (Karya fundamental yang mendefinisikan peran hukum sebagai instrumen pengaturan pembangunan berkelanjutan di Indonesia).

8 Soemarwoto, O. (1991). Ecology, Environment, and Development. Djambatan. (Penekanan pada pentingnya kualitas lingkungan hidup dan daya dukung lingkungan).

9 Salim, E. (1986). Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3ES. (Pemikiran mengenai integrasi AMDAL dan perlunya pemimpin ekonomi untuk memahami batas-batas ekologis).

—–

*Gus Nas, Budayawan