Membaca Panji dalam Liminalitas Kekuasaan Kontemporer 

 Oleh Purnawan Andra*

Topeng bukan sekadar penutup wajah. Dalam sejarah estetika Nusantara, topeng adalah artefak kultural, cermin identitas, dan wahana transformasi spiritual. Di balik diamnya selembar kayu yang diukir, terkandung narasi sejarah, kosmologi, hingga politik kebudayaan. 

Ketika cerita Panji ditampilkan lewat seni topeng, ia tak hanya menyajikan kisah asmara klasik Jawa, tetapi menghidupkan kembali struktur makna tentang kekuasaan, identitas, dan perjalanan manusia dalam kebudayaan kita. Dalam konteks Indonesia hari ini, Panji dan topengnya menjadi lensa reflektif yang kian mendesak untuk kita baca ulang.

Antropologi Topeng

Secara antropologis, topeng memiliki posisi penting dalam sistem kepercayaan masyarakat agraris Nusantara. Ia bukan sekadar properti estetika, tetapi bagian dari ritual yang menghubungkan manusia dengan dunia spiritual, nenek moyang, dan kekuatan tak kasat mata.

Dalam masyarakat Bali, misalnya, topeng sidakarya digunakan dalam upacara penyucian agar roh-roh jahat tidak mengganggu jalannya ritual. Di Jawa, khususnya dalam pertunjukan Topeng Panji, wajah kayu itu menjadi kanal bagi ruh leluhur dan simbol perwatakan manusia. Topeng Panji yang halus, tanpa ekspresi, dengan mata terpejam, bukan wajah lelaki atau perempuan, menggambarkan keadaan batin yang jernih dan netral: fase meditatif antara sadar dan tiada.

Kehadiran topeng sebagai bagian dari seni pertunjukan sendiri telah tercatat dalam sebuah manuskrip dari jaman Kerajaan Jenggala sekitar abad ke-11 yang menyebut ada pertunjukan menggunakan tutup muka yang disebut tapel (topeng) (Sugeng Toekio, 1996). Hal ini disinyalir sebagai cikal bakal pertunjukan Panji dimana penyajinya mengenakan topeng. 

Dalam pementasan teater (tradisional dan modern), wujud topeng dalam visiologi tokoh Panji tak berwajah satria lelaki, tetapi berwajah halus menyerupai perempuan, seperti tak berjenis kelamin. Wujud topengnya tidak membuka mata, tetapi mampu melihat kedalaman hati. Wujud itu mengada sebagai sangkan paran, jejer utama, sebuah konsep ideal sosok manusia. 

Juga saat menarikannya, ia menjadi sebuah fase meditatif tersendiri: antara sadar dan tiada, antara bangun dan tidur, Ia seperti berada di ambang batas, yang mengetahui sisi yang satu diantara sisi lain.

Seturut teori liminalitas Victor Turner (2008), kehadiran topeng ini menjadi bagian ritus peralihan (rites de passage) yang menyimbolkan peralihan kondisi dari satu tahap ke tahap lainnya. Dari proses pemisahan dengan kenyataan, kemudian mengalami ambigu (ambang batas, liminal) pada puncak ritual, namun kembali mengalami penyatuan dengan kehidupan profannya. 

Dalam konteks yang lebih luas, masyarakat melakukan suatu proses pencarian untuk memperoleh kondisi bersama menjadi lebih berkualitas. Hal ini berwujud keselamatan, ketentraman, kebahagiaan dan kesejahteraan bersama.

Narasi Budaya

Cerita Panji sendiri, berbeda dari epos Mahabharata atau Ramayana yang berakar dari India, adalah kisah asli Jawa yang lahir dari dinamika sejarah lokal. Ia lahir pada masa pasca-Airlangga, sebagai upaya menyatukan dua wilayah pecahan kerajaan: Jenggala dan Panjalu. Dalam Kakawin Smaradahana yang ditulis pada abad 12 Masehi oleh Mpu Darmaja, Panji diposisikan sebagai titisan Kamajaya, sedang Candra Kirana sebagai perwujudan Dewi Ratih. 

Kisah ini tak hanya menyiratkan dimensi romantik, tetapi strategi politik dan narasi legitimasi kekuasaan. Melalui pengisahan ini, kita dapat membaca logika pencitraan kekuasaan Jawa kuno yang cenderung estetis, simbolis, dan subtil. Kekuasaan tidak hanya dijalankan secara militeristik, tetapi dibungkus dalam narasi budaya.

Dalam ekspresi topeng, Panji tampil tanpa jenis kelamin yang jelas—ia bukan laki-laki agresif, bukan pula perempuan pasif. Ia adalah “manusia ideal” dalam pengertian filosofis Jawa: yang telah menyatu dengan kesadarannya, mengelola nafsu, serta memahami harmoni. 

Dalam pemahaman eksistensial, tokoh Panji merepresentasikan subyek yang menjalani perjalanan batin, keluar dari istana (zona nyaman), menjelajahi dunia (rimba sosial), mengalami keterasingan, menyamar, lalu tumbuh menjadi pemimpin yang bijak. Ini adalah narasi inisiasi, yang dalam kajian antropologi mirip dengan struktur perjalanan pahlawan dalam banyak mitologi.

Lima jenis topeng dalam tradisi Cirebon (Panji, Samba, Rumyang, Tumenggung, Klana) memperlihatkan logika perkembangan manusia. Dari Panji yang suci dan netral, ke Samba yang lincah (anak muda), Rumyang yang puber dan sensual, Tumenggung yang matang dan bertanggung jawab, hingga Klana yang penuh angkara. 

Estetika topeng tidak berdiri sendiri, melainkan terikat dengan filosofi hidup. Gerak tari, pilihan warna, bentuk ukiran, semuanya dikodifikasi menjadi simbol batiniah. Topeng bukan benda mati, melainkan tubuh sosial yang hidup dan bergerak dalam kebudayaan.

Representasi sebagai Praktik Kebudayaan

Namun kini, makna topeng mengalami pergeseran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, topeng dimaknai sebagai “kedok” atau “kepura-puraan untuk menutupi maksud sebenarnya”. Inilah ironi sejarah: dari simbol spiritual menjadi metafora kepalsuan. 

Di tengah panggung sosial politik Indonesia hari ini, wajah-wajah bertopeng tak lagi hadir di panggung seni, melainkan di arena kekuasaan. Para elite politik menampilkan citra “Panji”—halus, beradab, cinta rakyat—namun dalam praktik, justru menjelma “Klana Sewandana”: penuh ambisi, haus kuasa, dan menindas.

Stuart Hall (1997) menyebut representasi sebagai praktik kebudayaan, di mana makna tidak pernah netral. Dalam konteks ini, Panji sebagai tokoh budaya telah direpresentasikan ulang oleh para elite sebagai legitimasi moral. Namun representasi itu dangkal, hanya menjadi kosmetika politik.

Kita menyaksikan bagaimana nilai-nilai luhur seperti kejujuran, pengabdian, dan empati rakyat disulap menjadi alat kampanye. Politik citra menggantikan politik substansi. Seperti topeng yang menutupi wajah, demikian pula retorika menutupi niat kekuasaan.

Kondisi ini tidak lepas dari krisis sosio-kultural yang melanda bangsa. Ketika sistem pendidikan tercerabut dari akar budaya, ketika media sosial menjadikan persepsi lebih penting dari realitas, dan ketika politik dikuasai oleh kalkulasi elektoral semata, maka topeng kehilangan kesakralannya. Kita menjadi bangsa yang terasing dari simbolnya sendiri, kehilangan kemampuan membaca makna, serta gagap terhadap narasi kultural kita sendiri.

Membaca Ulang

Padahal, jika mau membaca ulang cerita Panji secara kritis, kita bisa menemukan model kepemimpinan yang partisipatif dan empatik. Panji tidak duduk di singgasana menunggu laporan. Ia menyamar, hidup bersama rakyat, menanggapi keluhan, dan menyelesaikan persoalan. Ia mengalami langsung kehidupan sosial dan dari pengalaman itulah ia menjadi pemimpin yang bijak. Panji bukan pemimpin yang ‘instan’, tetapi melalui proses batin dan sosial yang panjang.

Cerita Panji juga membuka ruang tafsir progresif. Tokoh-tokoh cross-gender seperti Galuh Candra Kirana yang menyamar sebagai laki-laki (Semirang), menandai bahwa gender bukan sekadar soal tubuh biologis, tetapi peran sosial dan kekuatan kepemimpinan. Ini menantang dikotomi maskulin-feminin dalam politik kontemporer dan membuka ruang bagi model kepemimpinan yang lebih inklusif.

Panji juga bukan kisah istanasentris. Perjalanan cintanya yang berliku, pencariannya yang melelahkan, hingga akhirnya kembali ke kerajaan, melambangkan bahwa kebijaksanaan bukan diwarisi, melainkan dicari. Inilah kritik terhadap sistem oligarki yang mengandalkan trah dan koneksi. Panji menjadi simbol meritokrasi kultural, di mana kepemimpinan lahir dari pengalaman dan kebijaksanaan, bukan sekadar garis keturunan.

Dalam konteks kekinian, kita perlu memulihkan nilai simbolik topeng sebagai wajah budaya, bukan kedok kekuasaan. Rekontekstualisasi cerita Panji perlu dilakukan dalam ruang-ruang pendidikan, media, dan kebijakan budaya. Kita harus berhenti melihat seni tradisi sebagai artefak masa lalu, tetapi sebagai narasi hidup yang relevan untuk hari ini dan esok.

Jika cerita Panji adalah cermin, maka pertanyaannya: wajah siapa yang sedang kita lihat? Apakah kita masih mengenali nilai-nilai di balik topeng, atau justru kita sudah menjadi bagian dari wajah bertopeng itu?

—-

*Purnawan Andra, lulusan Jurusan Tari ISI Surakarta, alumnus Governance & Management of Culture Fellowship Program di Daegu Catholic University Korea Selatan.