Kebudayaan Digital dan Tradisi Lisan Nahdliyin: Apakah Kita Kehilangan Ruang Tafsir?

Oleh: Abdul Wachid B.S.*

 

Dari Langgar ke Layar: Lanskap Baru Tradisi

Di banyak kampung yang dulu hidup oleh suara rebana dan lantunan syair manaqib setiap malam Jumat, kini udara terasa lebih senyap. Gamelan pengajian weton yang dahulu menjadi irama sosial, sekarang hanya terdengar sebulan sekali, atau bahkan lenyap tanpa jejak. Sebaliknya, anak-anak muda di lingkungan yang sama bisa menghabiskan waktu berjam-jam menatap layar ponsel, menyimak potongan ceramah di TikTok, menonton reels pendek berisi nasihat, atau mengirim potongan kultum lewat grup WhatsApp keluarga.

Ada transformasi besar yang sedang berlangsung, kita masuk ke era digital dengan gegas, sementara itu warisan budaya lisan kita tertinggal di beranda langgar. Fenomena ini bukan sekadar peralihan medium dari lisan ke visual, tetapi perubahan paradigma dalam cara manusia berinteraksi dengan ilmu, makna, dan keberkahan. Bila dulu makna hadir dalam kebersamaan, tetapi kini ia dibentuk oleh algoritma, dan disebarkan melalui timeline pribadi.

Transformasi ini membawa konsekuensi mendalam, kita bukan hanya berpindah alat, tetapi juga berpindah cara mengalami dunia. Dan, dalam perpindahan itu, yang paling rentan hilang adalah ruang tafsir, ruang yang memungkinkan makna tumbuh dari kebersamaan, dari dialog yang pelan, dari kesabaran mendengarkan.

 

Tradisi Lisan Nahdliyin: Tafsir sebagai Kehidupan

Sebagai warga Nahdliyin, kita tentu akrab dengan tradisi lisan yang menjadi nadi kehidupan beragama dan berkebudayaan kita. Dari manaqiban yang dibacakan dengan khidmat, nadzam Jurumiyah dan Alfiyah yang dihafal dengan langgam khas, hingga kisah-kisah kiai kampung yang disampaikan dengan tutur penuh kelakar dan bilhikmah.

Dalam dunia pesantren dan masyarakat Nahdliyin, tutur bukan sekadar cara menyampaikan pengetahuan, tetapi juga cara menghidupkan ilmu. Setiap bacaan memiliki adab-nya sendiri-sendiri, kapan dibaca, kepada siapa, dan dalam suasana apa.

Seorang kiai yang membaca manaqib bukan hanya menyampaikan isi teks, tetapi menyalurkan ruh dari silsilah spiritual yang panjang; ruh yang menyambungkan generasi dengan para wali dan ulama terdahulu.

Dalam tradisi ini, makna bukanlah sesuatu yang kaku atau tunggal. Ia tumbuh bersama suasana, konteksnya, dan perasaan bersama. Setiap kata memiliki getaran, setiap jeda memiliki makna. Kiai tahu kapan harus menekankan satu kalimat, kapan harus berhenti sejenak agar pendengar bisa menyerap hikmah. Kadang, di sela-sela bacaan, muncul kisah baru yang mengaitkan teks lama dengan kenyataan mutakhir, dan di situlah makna menjadi hidup.

Tradisi semacam ini menumbuhkan ruang tafsir komunal, ruang di mana makna bukan dimiliki individu, tetapi menjadi hasil dialog sosial, spiritual, dan kultural.

 

Ketika Makna Dipadatkan oleh Algoritma

Sekarang ini, kita hidup di zaman ketika kecepatan menjadi ukuran utama. Video satu menit dianggap cukup untuk “mengajar,” caption singkat dianggap cukup untuk “menginspirasi,” dan jumlah penonton menjadi penentu kebenaran. Makna dalam budaya digital cenderung dipotong-potong, dipadatkan, dan diseragamkan. Ceramah yang viral belum tentu kebenaran, dan yang benar belum tentu menarik secara visual.

Kebudayaan algoritmik melahirkan apa yang oleh Neil Postman disebut sebagai the culture of amusement: budaya hiburan yang menggantikan perenungan dengan stimulasi (Postman, Amusing Ourselves to Death, New York: Penguin, 1985:87). Dalam budaya semacam ini, tafsir yang lambat dianggap tidak relevan, dan hikmah yang memerlukan waktu dianggap terlalu berat bagi publik digital.

Padahal, dalam tradisi lisan Nahdliyin, makna itu selalu memerlukan waktu. Ia tumbuh dalam kesunyian, dalam pengulangan, dalam kesediaan mendengarkan suara tua dengan hati muda. Tradisi lisan semacam itu bukanlah sekadar transfer pengetahuan, tetapi transfer kesadaran. Dan kesadaran, sebagaimana doa, tidaklah bisa dipercepat oleh algoritma.

Ketika makna dipotong dari konteksnya, ia menjadi slogan. Dan ketika tafsir kehilangan ruangnya, maka masyarakat kehilangan daya untuk berpikir mendalam, kehilangan apa yang dulu menjadi kekuatan Nahdliyin: kebijaksanaan yang lahir dari keakraban antara ilmu dan rasa.

 

Adaptasi dan Daya Lentur Tradisi

Namun, sejarah Nahdliyin menunjukkan bahwa tradisi tidak pernah benar-benar punah. Ia selalu menemukan bentuk baru. Ketika dulu kaset tahlilan sempat dianggap mengganggu kekhusyukan, beberapa dekade kemudian ia menjadi bagian dari kehidupan religius sehari-hari. Kini pun, versi digital dari manaqib, tahlil, dan Barzanji beredar di YouTube, Spotify, dan TikTok. Bahkan, sejumlah kanal pesantren telah memproduksi konten-konten shalawatan dengan kualitas audiovisual tinggi, menampilkan wajah-wajah santri muda yang kreatif.

Kita melihat juga bagaimana pesantren memanfaatkan ruang digital untuk berdakwah dengan pendekatan baru. Podcast lintas generasi, film pendek berbahasa daerah, hingga vlog harian yang merekam kehidupan santri, semua ini adalah bukti bahwa teknologi bisa menjadi sahabat tradisi, sejauh ruhnya tetap dijaga.

Yang menjadi tantangan, bagaimana mentransfer ruh dari tradisi lisan ke format digital? Bagaimana agar TikTok tidak hanya menjadi media hiburan spiritual singkat, tetapi sarana untuk memperluas pemahaman? Bagaimana agar YouTube bukan sekadar etalase dakwah, tetapi ruang belajar yang menumbuhkan hikmah?

 

  

Menjaga Ruang Tafsir di Tengah Kecepatan

Untuk hal itu, warga Nahdliyin perlu hadir bukan hanya sebagai konsumen, tetapi juga sebagai kurator dan kreator kebudayaan digital. Kita bisa memproduksi konten yang bukan hanya cepat saji, tetapi bergizi; bukan hanya menghibur, tetapi menuntun. Manaqiban yang direkam bukan sekadar arsip suara, tetapi dokumentasi sosial yang mencatat ekspresi iman, budaya, dan kebersamaan.

Ruang tafsir juga bisa dijaga melalui forum daring, kelas digital, atau komunitas lintas pesantren yang memungkinkan dialog antargenerasi. Di situ, tafsir tidak lahir dari satu arah, tetapi dari interaksi dan empati. Karena pada dasarnya, tafsir sejati tumbuh di dalam kebersamaan: dalam suasana “ngaji bareng” yang meskipun berpindah ke layar, tetap membawa semangat tabarrukan dan tafaqquh fi al-din.

Tugas kebudayaan kita di era digital ini bukanlah menggantikan tradisi, tetapi menghidupkan kembali jiwa tafsir bersama dalam bentuk yang baru.

 

Menanamkan Jiwa, Bukan Sekadar Mengganti Wadah

Kebudayaan digital bisa menjadi berkah, asalkan tidak memutus akar. NU tumbuh bukan hanya karena organisasinya yang mapan, tetapi karena memiliki ekologi kebudayaan yang menyatukan ilmu, seni, dan spiritualitas. Ekologi inilah yang menjaga keseimbangan antara teks dan konteks, antara rasionalitas dan rasa.

Jika kita hanya mengganti rebana dengan sound effect, mengganti cerita kiai dengan suara AI, atau mengganti ngaji weton dengan live streaming tanpa jeda tafsir, maka kita tidak sedang berinovasi, tetapi justru berjarak dari ruh tradisi. Yang kita butuhkan bukan sekadar bentuk baru, tetapi jiwa yang tetap menuntun makna.

Sebab, dalam setiap tradisi lisan, ada nilai yang lebih dalam daripada sekadar informasi: ada kesabaran, kesyahduan, dan kesadaran bahwa kata-kata adalah wasilah menuju kebaikan. Dan, nilai itu tidak bisa digantikan oleh format, betapapun canggihnya teknologi yang digunakan.

 

 

Penutup: Menjaga Ruh di Tengah Gelombang Digital

Kita tidak sedang kehilangan tradisi, tetapi sedang diuji oleh zaman. Apakah kita mampu menanamkan ruh tafsir, kebersamaan, dan hikmah dalam dunia yang makin individual dan cepat ini?

Jawabannya tergantung pada kesediaan kita untuk tidak tergesa-gesa memahami makna, sebagaimana para kiai kita dahulu mengajarkan bahwa ilmu itu cahaya, dan cahaya tidak bisa diserap oleh hati yang tergesa. Jika warga Nahdliyin mampu menghadirkan semangat ngaji tafsir ke dalam ruang digital, dengan kesabaran, adab, dan rasa hormat kepada sumber makna, maka dunia digital bukanlah ancaman, tetapi justru menjadi ladang baru untuk menanam kebudayaan.

Sebab, bukan digital yang akan menghapus tradisi, melainkan kelalaian kita menjaga ruhnya. Dan selama ruh itu hidup, selama masih ada orang yang membaca manaqib dengan cinta, merekamnya dengan hormat, dan membagikannya dengan adab, maka ruang tafsir itu akan tetap ada. Ia mungkin berpindah bentuk, tetapi tidak akan lenyap. ***

 

————–

*Abdul Wachid B.S. adalah penyair, Guru Besar Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura), Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.