Surat Untuk Ririd (R.H Authonul Muther)
Oleh Nirwan Dewanto*
Bung Ririd,
Di setiap akhir tahun saya terjangkiti semacam pathos, yaitu bahwa sejumlah potongan masa lalu kembali lagi, sedikit menutupi pandangan ke depan; melankoli akan kiprah diri sendiri jadi lebih besar daripada kegirangan bersama anak dan keluarga saya. Juga sekarang ini. Desember tahun lalu saya bergegas menutup dan memberesi manuskrip Ke Arah Museum Revolusi. Kini bangkit kembali ingatan bagaimana saya mencorat-coret draft pertama, kedua dan seterusnya; itu adalah dorongan eros yang menjadikan penerbitannya (seakan sebuah buku terbit seperti matahari). Bagaimanapun, kitab itu sudah beredar (dan sekarang sedang memasuki cetakan yang kedua) dan sudah berada di luar diri saya dan menjadi bagian masa lalu saya, menjadi pathos. Untuk beralih dari pathos ke eros, saya menulis surat singkat ini. Dan eros adalah apa yang membuat saya mampu menulis lagi (dua hari terakhir ini, misalnya, saya menulis sebuah kuatrin, dan mencoret-coret dua sajak yang berikutnya lagi; entahlah, apakah bakal sajak-sajak ini akan menjadi puisi betulan, well, ini pun menjadi bagian dari pathos lagi).
Dan surat ini adalah komentar tentang tulisanmu tentang Ke Arah Museum Revolusi. Beralih dari pathos ke eros adalah juga melihat karya saya tersebut melalui mata orang lain. Ketika kau menyilakan saya membaca draft pertama esaimu “Ke Arah Museum Revolusi dalam Dua Investigasi”, saya tak hendak memberi komentar. Waktu itu saya hanya mampu mengucapkan terima kasih, tapi tak ingin mencampuri pembacaanmu, apalagi saya tahu bahwa esai itu sedang melaju menuju Sayembara Kritik Sastra Jassin dan sangat mungkin sedang diperbaiki olehmu. Namun sekarang ini, ketika esai itu sudah menjadi pemenang pertama pada Sayembara tersebut—artinya, sudah menjadi semacam milik publik—saya merasa pantas memberikan tanggapan. Tentu saja, saya masih bisa mengembangkan pendapat berikut ini, bukan hanya untuk mendukung bung melanjutkan riset kesastraanmu, tapi juga untuk melihat kembali amalan saya sendiri, untuk melihat potensi perkembangan saya, jika saya belum dinyatakan layu. Untuk sementara ini, komentar saya pendek-pendek saja, dan saya harapkan itu bisa berkembang di surat berikutnya.
Yang pertama adalah perihal yang kurang-lebih “teknis” (ya demikianlah, seperti menyebut bahwa sebuah palu adalah palu, bukan gergaji, bukan tang). Seluruh karya dalam Ke Arah Museum Revolusi adalah puisi-prosa (boleh juga tanpa tanda minus), prose-poem dalam bahasa Inggris. Dalam genre ini, tidak ada patahan baris, line breaks; saya sudah pernah mengatakan ini kepada bung. Tidak ada bait, kecuali yang berbentuk paragraf. Dengan line breaks, kalimat terpiuh menjadi frasa, seringkali frasa yang “cacat”; dengan paragraf, setiap kalimat tetaplah kalimat, bahkan kalimat sempurna. Bahwa tetap ada non-sequitur dalam puisi-prosa, dalam paragraf demi paragrafnya, justru itulah yang hendak digarap genre ini. Puisi-prosa adalah puisi berbulu prosa, seperti serigala berbulu domba; dia bisa lebih radikal dalam jukstaposisi dan montase jika dibandingkan dengan puisi yang “normal”, justru karena dia “berpura-pura” sebagai prosa. Dengan demikian, tidak ada itu yang bernama distikon, terzina, kuatrin, kuinta, dan seterusnya; sekali lagi, karena tidak ada patahan baris; jika ukuran buku saya itu berubah, maka jumlah baris dalam setiap paragraf (pengganti “bait” atau “stanza”) tentulah akan berubah juga; dengan demikian pula, pengutipan atasnya oleh seorang pengulas juga harus mengikuti kaidah paragraf ini. Ke-67 judul dalam Ke Arah Museum Revolusi adalah, sekali lagi, puisi-prosa semuanya; sekarang ini saya bisa mengatakan bahwa sebagian memang “terlihat” dekat dengan apa yang disebut fiksi kilat, flash fiction, dan sebagian lain (barangkali) lebih “hermetik” jika saya mengikuti peristilahan bung. (Ternyata bung lebih berselera mengarahkan pisau bung ke jenis yang “hermetik” ini. Esok, dalam peluang berikutnya, akan saya bicarakan perihal ini.)
Yang kedua, tentang atavisme. Sesungguhnya, atavisme saya, tepatnya atavisme di jalan saya, berbeda sekali (bahkan secara fundamental) dengan atavisme yang diuarkan Subagio Sastrowardoyo. Bagi Subagio, atavisme adalah bangkitnya kembali ciri persajakan nenek moyang—misalnya saja pantun, haiku, mantra—dalam puisi modern; pengertian Subagio ini, buat saya, tidaklah radikal. Atavisme saya adalah upaya menemukan kata pertama, dan sudah pasti ini adalah proyek yang mustahil; sebab, memang tidak ada salto mortale menuju situasi manusia pertama (yaitu Adam yang metaforis, atau Homo sapiens, atau berbagai spesies Homo yang lain; antropologi ragawi pun tak akan menemukan bukti kapan dan apa-siapa itu pembahasa lisan yang paling awal). Yang ada, di dalam amalan kesastraan saya setidaknya, hanyalah proyek (upaya) untuk menemukan kata pertama, yang sudah pasti akan gagal; adapun gerakan regresif seperti ini hanya mampu tergelincir pada berbagai “bahasa”, berbagai disiplin, yang sudah telanjur jadi bagian peradaban. Maka puisi pun terpilin-tertular oleh bahasa ilmu, bahasa matematika, bahasa seni rupa, tak terhingga bahasa, bahkan bahasa puisi liris dan bahasa budaya massa; maka puisi menjadi semacam parodi dari pelbagai “bahasa” yang dilewatinya akibat kegagalannya menemukan kata pertama; pun menjadi puisi-prosa karena dalam segala upayanya mencapai dunia-sebelum-arti, dunia-sebelum-logos, dia “tercemar” oleh bahasa prosa yang mau menjalin komunikasi, well, apa boleh buat. Dengan atavisme begini, tidak mungkin puisi-prosa saya mengenakan “gaya arkais” (ini istilah bung); tidak ada bentuk-bentuk atavistik (yang diancangkan oleh Subagio secara harfiah, yaitu pantun, mantra, dan seterusnya) dalam Ke Arah Museum Revolusi.
Yang ketiga, tentang “sehimpun sajak yang sengaja untuk sulit”. Saya sungguh “takjub” akan susunan maupun makna frasa bung ini, frasa yang bung ulang-ulang dengan berbagai cara (dalam tulisan tersebut) maupun dalam kesempatan lain (misalnya dalam sebuah diskusi di Ngalam, yang sempat saya jangkau rekamannya di Youtube). Jika ada sajak atau karya apa pun yang ber-“sengaja untuk sulit”, maka sudah pasti bahwa itu adalah sajak atau karya yang gagal. Dan jika frasa itu dinisbatkan kepada dia yang ada di belakang sajak, yaitu si penyair, maka sudah pasti dia tak paham dengan apa yang dikerjakannya, tak paham akan apa itu tulisan dan kesastraan—dan, lebih konyol lagi, dia belum mampu berbahasa Indonesia. Tetapi di sini saya hendak mengatakan bahwa faktor “kesulitan” di pihak sang kritikus dalam “mengupas” puisi di hadapannya tidaklah sama dengan pernyataan bahwa si sajak “sengaja untuk sulit”. Tentu saja, ada sajak yang kompleks, dan ada sajak yang ruwet-gelap (katakanlah, sajak yang gagal); dan kompleksitas tentulah bukan keruwetan-kegelapan. Sebagai pembanding: fisika modern itu kompleks—bukan ruwet—dan hanya bisa dijangkau dengan bahasa matematika, dan bisa saja dinarasikan—“disederhanakan” dengan prosa oleh para komunikator. Ada juga ilmu-ilmu yang bercorak deskriptif, seperti biologi dan geologi, yang menggunakan bahasa prosa (artinya, bukan matematika) tetapi tetap saja kompleks. Bagi mereka yang menganut kreasionisme (yang tidak lain daripada religi), semua (bahasa) ilmu itu “tak masuk akal” dan “sengaja untuk sulit”. Saya sudah sering membicarakan perihal ini, yaitu bagaimana fasisme linguistik (di mana hubungan antara rupa dan bunyi kata, arti yang dikandungnya, dan realitas yang ditunjuknya dianggap alamiah) yang digerakkan oleh pemilik otoritas menjadi komunikasi massa, dan bagaimana sastra dan ilmu berhadap-hadapan dengannya.
Yang keempat, masih berhubungan dengan poin ketiga di atas, yaitu perihal “menjauh dari komunikasi” (ini adalah parafrase bung sendiri atas sejumlah pendapat saya), apa yang kurang-lebih menjadi alas penjadian sajak-sajak saya. Saya menganggap bung belum mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang apa yang saya sebut komunikasi dan fasisme linguistik (saya hampir tak pernah gunakan frasa ini, tapi itulah yang terjadi—fasisme yang sangat subtil dan termaklumi); namun, mohon maaf pula jika saya terpaksa mengatakan ini, well, sebab bung sering menjadikan potongan opini saya sebagai bagian dari pisau analisa bung. Seluruh esai saya (baik yang sudah terbit dalam bentuk buku maupun yang belum; termasuk tadi yang saya kirimkan, esai lama saya tentang Teater Garasi) bisa dianggap sebagai kredo, langsung maupun tidak, bagi penjadian sajak-sajak saya; esai-esai itu beririsan satu sama lain, dan rangkaian irisan itulah “etika” kesastraan saya. Tapi, saya pernah mengatakan bahwa segi biografis si penyair (termasuk berbagai pendapatnya, yang tertulis maupun yang bukan) hanya penting jika bung menulis biografi literer atau menjalankan kritik sastra “sosok pribadi dalam sajak”. Bukankah bung mengatakan bahwa “di hadapan karya seni, kita tak mesti takut kepada kekuatan bentuk”—dan bukankah itu berarti bung harus membunuh si pengarang, memusatkan diri bung pada teks sepenuhnya, memisahkan puisinya dari segenap kredonya, dari pendapatnya tentang sastra? Close Reading 4.0 semestinya memotong asal-usul (penjadian) puisi dan menggantinya dengan “genealogi” yang tak lain daripada “intertektualitas”. Tapi, baiklah, jika bung masih hendak menghubungkan perihal “menjauh dari komunikasi” dengan visi yang “dipancarkan” oleh persajakan saya, maka saya katakan bahwa puisi mengambil jarak kritis terhadap dunia sosial untuk melancarkan subversi terhadap fasisme lingustik. Misalnya dengan regresi aktif yang bernama atavisme tadi, bukan dengan pengasingan Rimbaudian atau sejenisnya. Puisi menjadi impersonal karena kegagalannya menemukan kata pertama.
Yang kelima, adalah pertanyaan-ulang tentang fungsi kritik sastra. Seorang penulis puisi menjalankan escape from personality sebab dia menyadari individualitasnya tidak cukup atau mubazir. Dia membunuh diri, setidaknya untuk sementara waktu (yaitu ketika menulis), untuk menyatakan kritik terhadap berbagai perannya di dunia sosial. Demikianlah, sajaknya mencari jalan yang belum dicengkeram oleh fasisme linguistik; demikianlah, puisinya menjadi kritik sosial, tetapi ini adalah kritik sosial tanpa moralisme, sebab dunia sudah sangat moralistik; kompleksitas puisinya adalah caranya mengajak publik pembaca untuk menuju kata pertama, langkah regresif yang melawan progress yang ternyata membawa umat manusia kepada kiamat iklim. Sastra adalah eros yang membawa kita menemukan kembali bahasa, yaitu bahasa yang berayun di antara kata pertama dan berbagai disiplin yang sudah mengubah dunia. Membaca puisi adalah merangkul eros demi melawan kematian dan kehancuran yang dimanipulasikan oleh religi dan ideologi dengan ganjaran kehidupan di hari depan atawa kehidupan akhirat. Maka, buat saya, kritik sastra adalah upaya mendekatkan eros ini kepada publik, kepada lingkaran pembaca. Kritik sastra adalah upaya untuk merebut ruang publik dari para demagog (dan segenap sekutu mereka yang menyaru sebagai penghibur), setidaknya membuka ruang publik alternatif. Seorang kritikus adalah sejenis edukator tanpa didaktisisme (demikianlah Andries Teeuw, Harold Bloom, Emir Rodríguez Monegal, misalnya). Itulah sebabnya saya tidak percaya bahwa kritik sastra bisa mulai dengan mengatakan inilah “sehimpun sajak yang sengaja untuk sulit”.
Sampai sekian dulu, bung. Akan saya sambung-rinci lagi tema-tema yang kita bicarakan ini. Semoga eros membantu saya menjawab, antara lain, kenapa karya-karya saya yang “hermetik” lebih bermakna buat bung.
Salam hangat, nirwan
—-
*Budayawan




