Penelitian Sastra Kita: Paradoks Estetik dalam Cengkeraman Paradigma Luar
Oleh Tengsoe Tjahjono*
Dalam perjalanan panjang kebudayaan manusia, sastra hadir sebagai suara batin yang merintih di balik peristiwa, sebagai nyanyian lirih dari jiwa yang menyaksikan, merasakan, dan mengada. Namun hari ini, sastra tak lagi menjadi dirinya sendiri. Ia terperangkap dalam tafsir-tafsir epistemik yang lahir dari luar dirinya, dibalut jargon akademik yang justru menjauhkan pembaca dari pengalaman estetik yang seharusnya dihadirkan oleh teks sastra itu sendiri. Penelitian sastra kini terperosok di persimpangan teori—suatu labirin metode dan pendekatan yang kerap kali mengabaikan kodrat puisi, menghapus getar estetik kata, dan memadamkan magis bahasa.
Sastra, sebagaimana ditegaskan Paul Valéry, bukanlah cermin kenyataan, melainkan kenyataan itu sendiri yang telah diprosakan. Namun dalam banyak ranah akademik, sastra direduksi menjadi objek dari kekuasaan epistemik: diseret ke forum diskursif pascakolonial, diperas dalam analisis gender, dijadikan narasi tandingan kapitalisme, atau sekadar instrumen dalam politik identitas. Terry Eagleton pernah menulis tajam, “Teori telah menjadikan sastra sebagai tanah jajahan epistemologi” (2008, hlm. 41). Sastra, dalam banyak penelitian kontemporer, diteliti bukan karena ia puisi, bukan karena ia fiksi, melainkan karena ia berguna untuk berbicara tentang hal lain—entah kekuasaan, kelas, ras, atau ideologi.
Lihatlah, misalnya, bagaimana novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli kerap dianalisis hanya sebagai representasi patriarki atau konstruksi identitas nasional, nyaris tanpa ruang bagi pembacaan estetik terhadap kompleksitas gaya penceritaan dan struktur naratifnya yang avant-garde di zamannya. Atau puisi-puisi Chairil Anwar yang lebih sering ditarik ke ranah eksistensialisme Barat ketimbang dibaca sebagai letupan idiom kebudayaan yang sedang menggeliat di tubuh bangsa yang belum sepenuhnya merdeka. Bahkan Laskar Pelangi tak luput dari reduksi serupa—dianggap sebatas wacana pembangunan dan pendidikan, padahal teks tersebut juga menyimpan kosmos liris tentang mimpi dan ketabahan yang kerap terabaikan oleh pembacaan ideologis semata.
Situasi ini mencerminkan apa yang dikritik oleh Susan Sontag dalam esainya yang terkenal, Against Interpretation (1966), bahwa semakin banyak teori yang menempel pada teks, semakin menjauh kita dari tubuh sastra itu sendiri. Penelitian sastra seakan lupa bahwa puisi harus terlebih dahulu dirasa, sebelum ditafsirkan; bahwa fiksi perlu terlebih dahulu dihidupi, sebelum dipetakan dalam diagram teoritik.
Sudah waktunya kita merumuskan kembali orientasi penelitian sastra: bukan dengan menolak teori, tetapi dengan menundukkannya pada pengalaman puitik yang autentik. Sastra tidak boleh kehilangan tubuhnya dalam euforia abstraksi; ia harus tetap menjadi suara—yang tidak hanya berkata tentang dunia, tetapi menjadi dunia itu sendiri.
Fitrah Sastra: Estetika, Bahasa, dan Imajinasi
Dalam pandangan klasik, sastra merupakan ekspresi estetik yang hidup dalam ruang bahasa. Aristoteles dalam Poetika meletakkan dasar bahwa tragedi bukan hanya meniru kehidupan, tetapi mengolahnya menjadi bentuk artistik yang memiliki struktur, keharmonisan, dan katharsis. Roman Jakobson (1960) kemudian menegaskan bahwa fungsi puitik adalah jantung dari karya sastra. Bahasa dalam karya sastra bukan hanya medium, tapi materi estetis itu sendiri—menciptakan efek, membangkitkan rasa, dan menata makna melalui pilihan, pengulangan, dan penyimpangan struktur normatif bahasa.
Namun, dalam penelitian sastra kontemporer, perhatian terhadap estetika dan bahasa kerap tersingkir. Hal yang diteliti justru lebih menekankan relasi kuasa, posisi gender, struktur sosial, bahkan ideologi. Pendekatan semacam ini mencerahkan dalam banyak aspek, terutama dalam memperluas horizon pemaknaan sastra sebagai produk budaya yang terlibat dalam wacana kekuasaan. Namun, ketika semua karya sastra hanya dilihat sebagai dokumen sosial, sebagai “gejala” semata, bukan sebagai kreasi bahasa yang bernyawa, maka kehilanganlah kita dari makna puisi sebagai puisi—yakni sebagai bentuk tertinggi dari permainan imajinasi dan estetika bahasa.
Sejumlah kasus penelitian sastra menunjukkan bagaimana ketidakseimbangan ini berdampak pada pemahaman terhadap karya sastra. Penelitian terhadap puisi-puisi Goenawan Mohamad, misalnya, sering kali menekankan aspek ideologis dan politis dalam puisinya—terutama dalam konteks Orde Baru. Namun, ketika estetika metaforis, permainan ironi, dan kekosongan semantik yang diciptakan secara sengaja diabaikan, maka puisi hanya tinggal sebagai alat perlawanan tanpa nyawa puitik.
Contoh lain dapat dilihat dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang justru sengaja menolak keterlibatan langsung dalam politik, dan memilih membangun dunia puitik melalui bahasa yang subtil, lirih, namun sarat makna. Penelitian yang terlalu kaku memaksakan tafsir ideologis atas puisi-puisi seperti Aku Ingin atau Hujan Bulan Juni berisiko mereduksi kedalaman estetika yang ditawarkan bahasa metaforisnya.
Bahkan dalam konteks sastra lisan, seperti pantun dan mantra, fokus kajian yang hanya melihat struktur sosial tanpa mengapresiasi bunyi, irama, dan metafora yang khas dari medium lisan akan menyebabkan hilangnya keutuhan makna. Penelitian Esti Swatika (2020) tentang mantra Bali, misalnya, menunjukkan bahwa keindahan dan kekuatan mantra tidak semata terletak pada isi, melainkan pada susunan fonetik, pengulangan, dan ritme yang memanggil daya magis bahasa.
Dengan demikian, penelitian sastra harus kembali pada fitrah sastra sebagai bahasa yang dibentuk oleh imajinasi dan didorong oleh dorongan estetik. Ini bukan berarti menolak pendekatan ideologis atau sosiologis, tetapi mengembangkannya dalam bingkai yang menghargai kekayaan ekspresi bahasa dan daya cipta sastra. Seperti dikatakan Paul Valéry, “Puisi bukanlah sekadar emosi yang diungkapkan, melainkan bahasa yang dimuliakan.” Maka, penelitian sastra pun seharusnya memuliakan bahasa itu kembali.
Disiplin yang Indisiplin
Gayatri Spivak, Edward Said, Homi Bhabha, hingga bell hooks, adalah tokoh-tokoh besar dalam kajian budaya dan pascakolonial. Mereka membuka tabir-tabir dominasi dan ketimpangan dalam teks. Namun, dominasi teori luar ini menciptakan anomali: sastra menjadi bahan tambang untuk mengukuhkan teori, bukan teori yang membantu kita menyelami misteri karya sastra.
Gejala ini kian jelas dalam penelitian terhadap Amba karya Laksmi Pamuntjak. Kerap dibaca dalam bingkai trauma sejarah dan narasi politik Orde Baru, kajian semacam itu terlalu cepat menempatkan novel sebagai dokumentasi luka kolektif. Yang kerap luput adalah bagaimana novel ini menyusun kembali kisah Mahabharata dalam cara yang puitis dan subtil, menjalin mitos, sejarah, dan percintaan menjadi struktur naratif berlapis. Ketika semua ditarik ke dalam wacana “politik ingatan”, pembacaan atas strategi literer—seperti simbolisme tokoh Bhisma dan Amba yang direka ulang dalam konteks Indonesia modern—justru kabur.
Demikian pula dalam pembacaan atas Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan, yang seringkali ditarik sepenuhnya ke dalam kerangka pascakolonial, seksualitas perempuan, atau studi kekerasan. Tidak keliru, tetapi terlalu sering mengabaikan kompleksitas estetika magis yang ditawarkan novel ini—percampuran surealisme, satire, dan kisah rakyat. Dalam penelitian yang terlalu teoritis, tokoh Dewi Ayu tak lagi hidup sebagai pusat imajinasi naratif, tetapi sekadar ikon untuk membuktikan teori tentang tubuh, kolonialisme, atau ingatan kolektif.
Fenomena serupa muncul dalam pembacaan puisi-puisi Afrizal Malna. Banyak pendekatan mengangkatnya dalam kerangka ekokritik atau pascamodernisme urban. Namun pendekatan tersebut kerap tergelincir menjadi pendangkalan estetika; puisi Afrizal tak lagi dibaca sebagai dunia semantik yang cair dan eksperimental, melainkan hanya sebagai respons terhadap “krisis ruang kota.” Di sinilah sastra kehilangan dimensi magisnya—sebagai dunia yang otonom, menciptakan maknanya sendiri melalui bentuk dan bunyi.
Alih-alih menjadikan teori sebagai alat bantu untuk memahami keberartian estetik dan keberadaan otonom sastra, kita justru menyaksikan “disiplin yang indisiplin”: kritik sastra yang dikendalikan sepenuhnya oleh agenda-agenda non-sastra. Sastra menjadi bahan bukti untuk tesis yang sudah disiapkan, bukan sebagai medan pengembaraan batin yang tak selalu tunduk pada struktur ideologis. Ini adalah reduksi, bukan pembacaan.
Membaca Pramoedya dan Rendra dalam Kacamata Asli
Selama ini, karya Pramoedya Ananta Toer, khususnya Bumi Manusia, nyaris secara eksklusif dianalisis dalam bingkai pascakolonialisme. Memang benar bahwa teks ini kaya akan resistansi terhadap hegemoni kolonial, dengan kritik tajam terhadap ketidakadilan struktural dan eksklusi sosial-politik bumiputra. Namun, pendekatan ini kerap mengabaikan dimensi estetika dan teknik naratif Pram yang luar biasa. Penelitian sastra seharusnya tidak hanya menempatkan teks sebagai dokumen ideologi, tetapi juga sebagai konstruksi estetis yang menyimpan kompleksitas batin manusia. Monolog interior Minke, misalnya, bukan sekadar wahana artikulasi gagasan emansipatoris, tetapi juga membuka lapisan-lapisan psikologis karakter yang terus bergulat antara identitas, cinta, dan sejarah. Metafora tanah dan air yang berulang dalam novel ini bukan hanya simbol nasionalisme, melainkan juga representasi relasi eksistensial manusia dengan ruang dan akar sejarahnya. Di sisi lain, pola naratif Bumi Manusia menolak kronologi linier ala historiografi kolonial dan justru menghadirkan sejarah sebagai drama batin personal. Di sinilah penelitian sastra perlu menggabungkan pendekatan ideologis dengan pembacaan naratif-struktural, stilistika, dan fenomenologi teks.
Begitu pula dalam puisi-puisi W.S. Rendra, khususnya Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, wacana kritis cenderung memosisikannya sebagai teks politik semata. Kecenderungan ini membuat pembacaan kehilangan sensibilitas terhadap dimensi artistik dan intertekstual puisi-puisi Rendra. Padahal, dalam larik-lariknya, Rendra menyusun struktur repetisi bunyi yang khas, menciptakan efek ritmis dan teatrikal yang memperkuat daya gugah emosional pembaca atau pendengar. Pilihan diksi, irama, dan enjambemen dalam puisi ini bukan sekadar ornamen, tetapi menyusun performativitas puisi yang menghidupkan tubuh-tubuh marjinal secara dramatik. Lebih dari itu, terdapat intertekstualitas yang kuat dengan teks-teks religius, seperti Alkitab dan Al-Qur’an, yang memberi kedalaman spiritual pada retorika kritik sosialnya. Sayangnya, dimensi ini seringkali tak tersentuh oleh penelitian yang terlampau fokus pada kerangka sosiologis dan aktivisme tekstual.
Penelitian sastra, karena itu, seharusnya menjadi medan pertemuan antara kritik ideologis dan kepekaan estetis. Membaca Pram dan Rendra tidak cukup dengan kacamata luar; perlu pula kacamata asli—yakni kacamata yang jujur pada keutuhan teks, yang memandang sastra sebagai dunia yang otonom namun tidak tertutup, artistik namun tidak apolitis, dan spiritual tanpa harus dogmatis.
Antara Kedalaman Estetik dan Ekspansi Teoretik
Penelitian sastra di berbagai negara menunjukkan kecenderungan yang khas dalam pendekatannya. Di Prancis, misalnya, studi sastra tidak sekadar melibatkan peminjaman teori, tetapi menyatu dalam permainan intelektual yang serius. Roland Barthes, dalam S/Z maupun Le Plaisir du Texte, menempatkan teks sastra sebagai medan permainan tanda yang tak habis dibaca. Ia tidak mengabaikan dimensi estetik dan struktur naratif meski berselimut teori. Studi-studi stilistik dan semiotik masih terus dilakukan, menunjukkan bahwa keindahan bahasa dan teknik penulisan bukan hal yang ditinggalkan.
Sementara itu, di Rusia dan negara-negara pecahan tradisi Strukturalisme Ceko seperti Republik Ceko dan Slovakia, warisan Formalisme Rusia tetap menjadi fondasi. Tokoh seperti Viktor Shklovsky dengan konsep ostranenie (pembengkokan atau pengalihan persepsi) serta Roman Jakobson yang merumuskan fungsi puisi secara linguistik, menjadi rujukan utama dalam pembacaan karya sastra. Di universitas-universitas mereka, skripsi dan disertasi kerap mengkaji cara kerja gaya, metafora, irama, atau struktur naratif dalam puisi dan prosa, bukan sekadar menjadikan karya sastra sebagai ilustrasi sosial atau politik.
Sebaliknya, di Indonesia, kecenderungan yang dominan adalah pembacaan sastra sebagai medium ideologis semata. Judul-judul skripsi dan tesis seperti “Kritik Feminisme dalam Cerpen-Cerpen X” atau “Kajian Poskolonial atas Puisi-Puisi Y” menunjukkan minat besar terhadap kerangka teori kritis kontemporer, tetapi sering kali mengabaikan tekstualitas dan otonomi sastra itu sendiri. Karya sastra diperlakukan seperti dokumen sosial, bukan sebagai bentuk estetika yang mandiri dan kompleks. Bahasa dan bentuknya kerap tidak dibaca secara mendalam. Estetika menjadi anak tiri, bahkan seringkali tidak disebut sama sekali dalam bab analisis.
Hal ini menunjukkan ironi. A. Teeuw sejak 1980 sudah mengingatkan bahwa “teks sastra hanya bisa dipahami dari dalam struktur teks itu sendiri.” Artinya, pendekatan apapun—feminisme, poskolonialisme, marxisme—tidak akan benar-benar berdaya jika abai terhadap cara kerja teks sebagai konstruksi estetis. Kritik sastra seharusnya bukan hanya mengungkap apa yang dikatakan, tetapi bagaimana itu dikatakan.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa di negara-negara dengan tradisi kuat studi sastra, kedalaman estetik berjalan seiring dengan ekspansi teoretik. Mereka tidak menegasikan bentuk demi ideologi. Sebaliknya, justru membuktikan bahwa pemahaman ideologi pun menuntut kepekaan terhadap bahasa, gaya, dan struktur karya.
Menjemput Kembali Sastra yang Hilang
Sudah saatnya kita bertanya ulang secara jujur dan radikal: untuk apa kita meneliti sastra? Jika jawabannya adalah demi memahami manusia, membongkar lapisan-lapisan kejiwaannya, dan menangkap keindahan batin yang tersembunyi dalam bahasa, maka kita harus kembali pada fitrah sastra. Fitrah itu adalah kebebasan, intuisi, kejujuran ekspresi, dan kekayaan makna.
Kita perlu menghidupkan kembali pendekatan yang memberi ruang pada kepekaan dan tafsir: stilistika yang menelusuri keindahan pilihan kata dan gaya ungkap; retorika yang menyelami daya persuasi dan emosi; strukturalisme naratif yang membaca relasi tokoh, waktu, dan ruang; hermeneutika sastra yang membuka kemungkinan makna dalam konteks budaya dan sejarah; serta semiotika puitik yang menelisik tanda-tanda bahasa dan diamnya.
Namun itu saja tidak cukup. Menjemput kembali sastra yang hilang membutuhkan langkah konkret—gerak nyata yang menyeimbangkan tafsir ilmiah dengan jiwa kreatif.
Langkah-Langkah Menjemput Kembali Sastra yang Hilang
- Memulai Penelitian dari Penghayatan Estetik terhadap Karya Sastra
Penelitian tidak boleh berangkat dari teori, tetapi dari pengalaman membaca yang utuh. Peneliti harus terlebih dahulu menyerap suasana batin, irama bahasa, keindahan metafora, dan kedalaman makna implisit dalam karya. Karya sastra bukan objek mati, melainkan teks yang hidup dan membuka ruang dialog personal. - Memahami Konteks Historis, Sosial, dan Kultural Karya Secara Empatik
Penelitian yang baik tidak semata mendeskripsikan struktur atau simbol, tetapi menyelami latar kemunculan karya: siapa pengarangnya, dalam situasi apa ia menulis, dan bagaimana realitas sosial atau spiritual memengaruhi pengucapannya. Penelitian semacam ini mengembalikan sastra pada fungsi awalnya—yakni cermin manusia dan masyarakatnya. - Menggunakan Teori Secara Terbuka dan Kritis, Bukan Sebagai Alat Pemaksaan
Teori hanyalah alat bantu—bukan kerangka pembelenggu. Fitrah sastra menolak penyederhanaan. Karena itu, pemilihan teori harus dialogis dengan teks, tidak mendikte teks. Bahkan, dalam beberapa kasus, pendekatan intuitif atau hermeneutik personal bisa lebih membebaskan dan produktif dibanding teori mapan. - Meneliti Unsur Intrinsik sebagai Jalan Masuk Menuju Hakikat Puisi atau Cerita
Menyelisik struktur larik, enjambemen, simile, alusi, dan simbol bukan hanya untuk mencatat teknik, tapi untuk menemukan cara khas pengarang membangun dunia dan menyentuh pembaca. Langkah ini menyambung estetika dan makna. - Menghadirkan Tafsir yang Terbuka dan Jamak
Fitrah sastra adalah kemajemukan makna. Maka, penelitian sastra yang baik adalah yang membuka banyak pintu tafsir, bukan menutup kemungkinan pembacaan lain. Peneliti sebaiknya menunjukkan ruang-ruang penafsiran yang dapat berkembang sesuai konteks pembaca baru, zaman baru, atau lensa budaya yang berbeda. - Menulis Laporan Penelitian sebagai Karya Sastra Turunan
Gaya penulisan penelitian sastra semestinya turut mencerminkan kedalaman sastra itu sendiri. Bukan sekadar data dan kutipan, melainkan juga narasi interpretatif yang menggugah dan argumentasi yang reflektif. Bahasa tulisan akademik pun seyogianya menjaga cita rasa estetis—sebagai bentuk tanggung jawab pada fitrah sastra. - Melibatkan Kembali Karya-Karya Sastra yang Terpinggirkan
Penelitian sastra yang berangkat dari fitrah juga perlu membuka mata terhadap teks-teks yang terabaikan: sastra daerah, sastra perempuan, sastra minoritas, dan puisi-puisi yang tidak dilirik pasar. Di sanalah letak “yang hilang” yang sesungguhnya—yakni suara-suara yang belum sempat bersuara. - Menjadikan Penelitian Sastra sebagai Sarana Pemuliaan Diksi dan Gagasan
Dalam tiap penelitian, peneliti sejatinya sedang memperlakukan sastra sebagai warisan batin manusia. Maka penghargaan terhadap diksi, kesetiaan terhadap semangat teks, dan kepekaan atas lapis-lapis makna harus menjadi dasar etis penelitian.
Dengan langkah-langkah ini, “menjemput kembali sastra yang hilang” bukan sekadar metafora, tetapi sebuah usaha konkret untuk membaca, meneliti, dan menulis sastra dalam ruh dan rohnya yang asli: sebagai nyanyian jiwa manusia yang tak habis-habis dimaknai.
Meminjam ungkapan Goenawan Mohamad, “sastra bukan tentang kebenaran, tapi tentang kemungkinan.” Maka janganlah kita mengurungnya dalam teori yang kaku dan hegemonik. Biarlah sastra bernapas sebagai puisi, sebagai nyanyian, sebagai dunia dalam kata-kata—sebagai ruang kemungkinan yang tak pernah selesai dijelajahi.
Penutup: Kritik atas Kritik
Penelitian sastra yang kehilangan sentuhan sastrawi adalah tragedi epistemik—sebuah ironi dalam dunia akademik yang semestinya menjadi ruang penghormatan terhadap keindahan, kompleksitas, dan kedalaman manusia. Dalam hiruk-pikuk tafsir ideologis dan jargon teoretik yang kaku, kita kerap lupa bahwa sastra bukan sekadar objek telaah, melainkan denyut kehidupan itu sendiri: ia bernafas melalui kata, bergetar melalui metafora, dan berdialog melalui imajinasi. Ketika penelitian sastra terlalu tergoda untuk menjadi politis, sosiologis, atau teknis semata, ia pun perlahan kehilangan hakikatnya sebagai bentuk pengalaman estetik dan eksistensial.
Kita telah melangkah jauh dari taman imajinasi, dan justru tersesat dalam lorong-lorong sempit yang membatasi makna pada fungsi, pesan, atau struktur kekuasaan. Paradigma yang semula ingin membebaskan makna kini malah mengekangnya. Dalam situasi ini, muncul kebutuhan mendesak untuk merestorasi hubungan antara teori dan teks, antara konteks dan bentuk, antara ide dan estetika. Kita perlu kembali pada kesadaran bahwa membaca dan meneliti sastra adalah tindakan ganda: menganalisis dan menghayati, memahami dan merasakan.
Sastra tidak boleh direduksi menjadi sekadar artefak budaya, data sosial, atau ladang ideologi. Ia adalah ekspresi manusia yang paling halus, ruang kebebasan yang menolak dikurung dalam kerangka tunggal. Penelitian sastra yang hidup adalah penelitian yang mampu membiarkan suara penyair berdialog dengan pembaca; yang tidak membungkam keindahan demi kejelasan akademik, tetapi justru memfasilitasi pertemuan antara pikiran dan perasaan, antara logika dan lirisme.
Dengan demikian, kritik atas kritik bukanlah penolakan terhadap pendekatan kritis, melainkan ajakan untuk menyempurnakan cara kita membaca. Kita tidak menentang teori, tetapi menolak kedangkalan yang mengabaikan substansi puitik. Kita tidak menolak konteks, tetapi mencurigai dominasi yang menafikan bentuk. Kritik sastra harus menjadi ruang dialektika, bukan doktrin. Hanya dengan begitu, penelitian sastra dapat kembali menjadi jembatan antara dunia teks dan dunia manusia—hidup, kompleks, dan senantiasa berkembang.
Referensi:
Barthes, Roland. (1977). Image, Music, Text. Fontana Press.
Eagleton, Terry. (2008). Literary Theory: An Introduction. Blackwell.
Jakobson, Roman. (1960). Closing Statement: Linguistics and Poetics.
Mohamad, Goenawan. (2001). Catatan Pinggir. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Spivak, Gayatri Chakravorty. (1988). Can the Subaltern Speak?
Teeuw, A. (1980). Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Valéry, Paul. (1957). The Art of Poetry.
——
*Tengsoe Tjahyono, Penyair