Kisah Sebab-Musabab Gempa Bumi di Mentawai
Oleh Devi Damayanti
Jika kita masih ingat, pada tahun 2010 lalu pernah terjadi gempa bumi besar sekaligus tsunami yang melanda Kepulauan Mentawai yang terletak di sebelah luar barat Sumatera. Gempa ini menghantam bagian barat Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Pada 25 Oktober 2010, dalam waktu satu malam gempa bersama tsunami menghilangkan nyawa lima ratusan jiwa manusia, membuat ratusan orang terluka, serta ratusan rumah tersapu bersih oleh gelombang. Setiap tahunnya, para penduduk yang dipindah ke daerah relokasi masih mengenang gempa dan tsunami tahun 2010 lewat peringatan khusus yang mereka adakan.
Ternyata, menurut ingatan orang Mentawai, gempa besar semacam ini memang terjadi rutin setiap 100-an tahun sekali. Orang Mentawai sudah tidak pernah menghitung lagi banyaknya gempa-gempa kecil yang seringkali hadir sebagai bagian dari hidup sehari-hari semua orang di Mentawai. Bagi orang Mentawai, gempa-gempa kecil biasa ini adalah pertanda bahwa Teteu (Kakek) Leluhur mereka sedang berkunjung menyapa keturunannya yang hidup di Mentawai saat ini.
Orang-orang Mentawai punya cerita-cerita turun-temurun yang menjelaskan tentang segala sesuatu yang ada dalam wawasan dunia Mentawai. Mereka selalu meyakini nenek moyang mereka berasal dari Pulau Siberut, pulau paling utara dari 4 pulau besar Mentawai. Hampir semua cerita rakyat tentang sebab-musabab dan asal-muasal berbagai hal ini lokasi kejadiannya berlangsung di Pulau Siberut sekitar saat peralihan zaman batu ke zaman perunggu.
Konon katanya di masa lampau, di Pulau Siberut hiduplah sepasang ibu dan bapak yang memiliki 3 orang anak laki-laki yang beranjak remaja dan seorang bayi laki-laki yang masih merangkak. Suatu hari, ibu dan bapak bermaksud mencari ikan tanpa membawa serta anak-anak. Jadi bapak berpesan pada anak-anak, “Aku akan mencari ikan dengan ibu sampai sore, kalian di rumah saja dan jaga adik bayi kalian baik-baik.” Mereka bertiga serempak menjawab, “Ya Ukui (Bapak), kami akan jaga adik baik-baik.”
Tidak lama setelah sampan ibu dan ayah mereka meluncur ke hilir, ketiga anak lelaki ini keluar rumah sambil membawa serta adik mereka ke tepi sungai. Di sungai mereka mandi-mandi dengan gembira sambil berenang dan tertawa keras-keras. Mereka juga mengajak adik bayi bermain air di tepi sungai yang dangkal. “Betapa menggemaskannya adik bayi kita ini” kata abang-abangnya. “Matanya bulat, pipinya montok, tubuhnya gemuk, dan dia selalu tertawa ketika kita gelitik perut dan kakinya.” Mereka bertiga senang sekali menggelitik adik bayi mereka bergantian sambil berenang-renang di sungai.
Namun, tiba-tiba saja setelah digelitik adik bayi mereka menjadi kaku tak bergerak. Mereka mencoba menggelitikinya lagi, tetapi tetap saja adik bayi mereka tidak bergerak. Mereka mengamati nafasnya tapi tidak ada hembusan nafas di hidung. Mereka dengarkan dadanya, tapi tidak ada suara berdetak dari jantung si adik bayi. Mereka bertiga saling bertukar pandang dengan panik.
Anak lelaki bungsu, yang bernama Si Goiso-Goiso berkata, “Gawat sekali, adik bayi kita meninggal. Bapak pasti akan membunuh kita semua nanti jika dia pulang!” Si Sulung menjawab, “Aku akan hilangkan jejak adik. Aku ambil bambu sekarang buat jadi obbug” (tabung bambu besar yang dipakai untuk memasak lauk-pauk, biasa juga disebut ogbuk atau ombuk dalam dialek lainnya). Si Tengah berkata, “Aku akan ikat semua kayu di rumah”, lalu diapun segera berlari dan mengikat kuat-kuat semua benda yang dapat dipakai bapak mereka untuk memukul.
Setelah Si Sulung membuat beberapa obbug dan SI Tengah kembali datang dari rumah, Si Sulung pun hendak beraksi. Dia memanggil Si Goiso-Goiso yang sedari tadi menjagai tubuh adiknya, “Hei Si Goiso-Goiso, bawa ke mari tubuh adik!” Lalu mereka bertiga memotong kecil-kecil tubuh adik bayi mereka, menyusunnya dalam beberapa obbug dengan tambahan daun-daun penyedap, lalu memasaknya seolah-olah sedang memasak daging buruan. Setelah semuanya masak, mereka membawa pulang kumpulan obbug berisi daging adik mereka ke rumah. Merekapun main-main di sekitar rumah saja.
Hari sudah hampir gelap ketika ibu dan bapak mereka pulang. Si Ibu segera mencari anak bayinya, “Mana adik kalian, mengapa tidak ada di rumah?” Si Sulung menjawab, “Di rumah Si Bajak, Ina (ibu). Tadi orang Si Bajak (paman) dan Si Maktua (istri paman) datang ke sini, jadi mereka ajak Si Adik ke sana.” Bapak mereka melihat ada banyak obbug di sudut dapur dan bertanya, “Lalu obbug sebanyak ini dari mana? Kalian masak apa?” Si Sulung dengan gugup menjawab, “Itu, mmm, itu obbug banyak itu otcai (jatah daging buruan) dari Si Bajak.”
Untuk sementara ibu dan bapak mereka percaya dengan jawaban Si Sulung. Ibu menyiapkan banyak sagu bakar: sipurut yang dibungkus daun sagu, maupun sinolat yang dibakar dalam bambu kecil, karena tahu ada banyak daging dalam obbug sehingga pasti seluruh keluarga berselera makan. Anak-anak menggelar tikar untuk alas makan dan menyusun tumpukan sagu bakar di pinggan kayu. Mereka duduk melingkar, bersiap makan malam bersama. Si Bapak mengambil satu buah obbug dan membelahnya untuk lauk makan sagu. Alangkah terkejutnya Si Bapak ketika melihat jari-jari anak bayinya di dalam obbug. Si Bapak berteriak marah, “Kalian membunuh adik bayi kalian rupanya! Awas kalian! Kubunuh kalian semua!”
Si Bapak mereka mencari kayu dan tongkat untuk memukul anak-anaknya, tapi tidak ada karena tadi siang semuanya sudah diikat kuat-kuat oleh Si Tengah. Ketiga anak itu langsung kabur melarikan diri secepat-cepatnya, menarik sampan yang tadi bapak mereka tambatkan di tepi sungai, dan segera mengayuh selaju mungkin ke arah hulu. Bapak mereka terus mengejar dengan berlari di tepi sungai, tapi sampan mereka terlalu cepat dan tidak bisa dikejarnya lagi.
Hingga menjelang subuh mereka terus berjaga mengendalikan sampan sampai jauh ke hulu. Setelah matahari terbit, Si Sulung berniat meninggalkan adik bungsunya. Tepat sebelum sampan tiba di kelokan hulu sungai yang deras, Si Sulung mengajak Si Tengah lompat dari sampan ke pinggir sungai sambil berseru pada Si Goiso-Goiso, “Aku dan Si Tengah mau jalan kaki ke dalam hutan mencari sesuatu yang bisa kita makan. Kau bawa saja sampan ini terus ke ujung hulu sungai! Nanti kita bertemu di sana.”
Secepat kilat dia dan Si Tengah langsung lompat meninggalkan Si Goiso-Goiso yang setengah mati sendirian di atas sampan menghadapi kelokan sungai yang deras. Syukur, Si Goiso-Goiso beruntung. Dia berhasil melewati kelokan deras itu dengan selamat meskipun lemas dan letih setelah memperjuangkan nyawanya sendirian. Dari jejak air keruh di rawa-rawa, dia melihat bahwa kedua abangnya tadi ada di sekitar situ, tak lama sebelum dia tiba. Dengan susah payah dia menyeret sampannya ke pinggir sungai. Si Goiso-Goiso mencoba menyusul sambil tetap menyeret sampannya.
Sepanjang jalan dia berseru memanggil kedua abangnya, “Bang! Abang! Wooi! Tunggu aku! Mau diikat di mana sampai kita ini? Bantu aku dulu!” Ternyata benar, dari jarak sepelemparan batu dia melihat kedua abangnya berjalan cepat-cepat di depannya. Kedua abangnya mendengar suara Si Goiso-Goiso, jadi Si Sulung menoleh ke belakang lalu berteriak sekuatnya, “Terserah kau lah! Ikat saja di kakimu!”. Si Sulung dan Si Tengah cepat-cepat berlari masuk ke hutan berbukit meninggalkan Si Goiso-Goiso dengan sampannya.
Si Goiso-Goiso membuat tali dari rotan yang dia dapatkan di hutan dan dia tambatkan kuat-kuat sampannya di batang pohon yang kokoh. Setelah yakin sampannya tidak akan hanyut, diapun masuk ke hutan menyusul abang-abangnya. Sepanjang jalan dia memperhatikan jejak kaki kedua abangnya sambil berteriak-teriak memanggil mereka, namun Si Sulung dan Si Tengah tidak juga tampak. Kedua abang Si Goiso-Goiso ternyata melihat ada sebuah pohon ailuppa (jambu hutan) yang besar dan buahnya lebat serta ranum. Tanpa mengetahui bahwa mereka telah berada di hutan yang dikuasai Si Guleng-Guleng, hantu raksasa yang diam di hutan itu, mereka berdua memanjat pohon itu. Dengan nikmat mereka memakan buahnya yang manis langsung di atas pohon. Mereka lega dapat beristirahat menghilangkan haus dan lapar setelah malam yang panjang.
Si Goiso-Goiso akhirnya tiba di bawah pohon ailuppa itu. Dia mendengar suara orang berbisik-bisik di atas pohon sedang mengunyah buah jambu. Setelah menajamkan telinga dan membaca jejak, Si Goiso-Gosio yakin bahwa orang-orang di atas pohon itu adalah kedua abangnya. Dia memanggil-manggil mereka, “Bang! Ini aku Bang, Si Goiso-Goiso!” Tetap saja kedua abangnya diam-diam mengunyah tak menjawab. Si Goiso-Goiso meminta, “Bang, jatuhkanlah ailuppa itu beberapa buah. Aku juga lapar.” Mereka masih tidak menghiraukannya. Keduanya tetap makan diam-diam saja. Si Goiso-Goiso berseru lagi, “Bang! Cepat jatuhkan. Lapar aku!”
Akhirnya abang-abangnyapun melemparkan buah ke bawah. Namun, yang mereka lemparkan adalah buah-buah sisa yang sudah habis mereka makan, sebagian lagi hanya biji-bijinya saja, dan mereka tertawa cekikikan di atas pohon. Si Goiso-Goiso jadi jengkel, dia berteriak, “Cepat turunkan buah yang bagus, Bang! Kalau tidak aku akan panggil pemilik pohon ini biar kalian berdua ditangkapnya!” Si Sulung menjawab, “Berisik sekali kau! Panggil saja! Kami tak mau memberikan ailuppa ini untukmu.”
Ditantang begitu, Si Goiso-Goiso berteriak, “Pencuriii! Ada pencuri! Ada pencuri makan buah jambu di atas pohoon! Pencuriii!” Teriakan Si Goiso-Goiso yang keras terdengar jelas di hutan yang sunyi. Mendengar ada pencuri yang memakan buah jambunya, Si Guleng-Guleng hantu raksasa itu tergopoh-gopoh keluar dari pondoknya sambil membawa kapak. Dengan langkah terhuyung-huyung karena badannya sangat besar, dia menuju ke pohon jambunya. “Mana pencuri? Mana dia? Siapa yang berani makan buah ailuppa punya Si Guleng-Guleng, hah?” tanya Si Guleng-Guleng dengan suaranya yang berat.
Si Goiso-Goiso menunjuk ke atas pohon, “Itu Kek! Pencurinya ada di atas pohon.” Si Guleng-Guleng mendongak dan melihat ada dua orang remaja sedang bersembunyi di balik dedaunan. Si Guleng-Guleng memicingkan matanya untuk membidik lalu melemparkan kapaknya tepat ke arah dada Si Sulung. Si Sulung jatuh seketika itu juga, mati. Si Guleng-Guleng mencabut kapaknya dari dada Si Sulung lalu melemparkannya ke arah Si Tengah. Seperti abangnya barusan, Si Tengah rubuh tanpa sempat mengelak lalu langsung jatuh dan mati.
Si Guleng-Guleng menoleh ke Si Goiso-Goiso yang terkejut melihat semuanya terjadi begitu cepat. “Itulah hukuman untuk pencuri yang makan ailuppa milik Si Guleng-Guleng. Kau anak baik, Nak. Memberitahuku ada pencuri. Kau mau aliluppa itu? Panjatlah dan ambillah sepuasmu.” kata Si Guleng-Guleng pada Si Goiso-Goiso. Si Goiso-Goiso menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Tidak, Kek! Aku tidak ingin makan aliuppa. Kakek saja yang makan ailuppa itu, biar aku jaga di bawah.” Air liur Si Guleng-Guleng terbit melihat ranum merah jambu hutannya, dan diapun berselera hendak memakan jambu itu. “Baiklah, aku saja yang makan kalau kau tak mau.” jawab Si Guleng-Guleng dengan suara beratnya.
Perlahan dengan susah payah dia memanjat karena badannya besar. Sampai di atas pohon, dia memakan buah jambunya dengan rakus. Perutnya besar sekali dan harus makan banyak jika ingin kenyang. Dia berencana menghabiskan semua buah jambunya itu langsung di atas pohon. Si Guleng-Guleng sibuk makan jambu dengan nikmat dan tidak menyadari di bawah pohon Si Goiso-Goiso bergerak mencabut kapak dari dada Si Tengah. Si Goiso-Goiso membidik dan melemparkan kapak itu tepat di perut besar Si Guleng-Guleng yang langsung jatuh dengan suara berdebum. Dia mati.
Si Goiso-Goiso menyejajarkan mayat kedua abangnya, lalu dia melangkahi mereka satu per satu. Setelah beberapa kali dia langkahi bolak-balik, terjadilah keajaiban! Kedua abangnya yang barusan mati terkena kapak Si Guleng-Gileng perlahan duduk terbangun macam orang bangun tidur. Perut mereka pun bersih tanpa bekas luka kapak yang menganga. Setelah kedua abangnya sadar, Si Goiso-Goiso bertanya pada Si Sulung dan Si Tengah, “Mengapa kalian sejak aku kecil selalu sering berbuat jahat padaku? Kalian sadarkah tidak, tadi kalian sudah mati oleh Si Guleng-Guleng? Lihat aku Bang! Tidak pernah pernah aku membalas perbuatan jahat kalian padaku.”
Kedua abangnya hanya bergumam saja sambil saling menatap tetapi tidak menjawab apa-apa pada Si Goiso-Goiso. Si Goiso-Goiso mengamati mayat Si Guleng-Guleng lalu mengajak kedua abangnya, “Bang, daripada kalian bengong saja begitu, lebih baik kalian bantu aku membereskan mayat Si Guleng-Guleng.” Mereka bertiga menarik mayat Si Guleng-Guleng lalu membujurkannya di balik pohon jambu besar tadi lalu menutupinya dengan daun pisang. Setelah itu mereka membersihkan lokasi sekitar pohon jambu agar terlihat tidak ada orang sebelumnya di situ. Kata Si Goiso-Goiso, “Nah, sekarang sudah rapi. Tetap waspada, Bang! Awasi sekeliling hutan ini, mungkin masih ada temannya Si Guleng-Guleng yang ingin membunuh kita” sambil dia mengajak kedua abangnya berjalan masuk lebih dalam ke hutan yang lebat.
Tak lama kemudian tibalah mereka di depan sebuah pondok tua yang besar. Si Goiso-Goiso berseru ke arah dalam pondok, “Anai leu itaaa! Anai leu ita!” Terdengar sahutan suara serak dari dalam, “Anai leu ita! Siapa itu di luar?” sambil si pemilik suara berjalan pelan berdentum-dentum. Dari luar pondok Si Goiso-Goiso dan kedua abangnya melihat sesosok raksasa perempuan berjalan mendekati mereka. “Apakah kalian melihat suamiku? Si Guleng-Guleng raksasa besar yang perutnya buncit dan makannya banyak? Ke mana dia ya? Masih belum pulang juga dia.” kata raksasa perempuan itu kepada ketiga remaja yang muncul di di depan pondoknya.
Si Sulung menjawab, “Ya Nek, tadi kami bertemu. Katanya dia perlu bantuan Si Nenek, makanya kami dimintanya datang memanggil Nenek agar mengambil nangka hutan besar yang Si Kakek sembunyikan dekat pohon jambu. Kata Si Kakek dia menyembunyikan nangka besar itu karena sudah masuk ke hutan untuk berburu.” Si Nenek itu senang, “Baiklah, aku ambil nangka itu sekarang. Kalian mau ikut makan di sini nanti, Nak? Masuk saja dan jagai pondok ini selama aku pergi” ajak si Nenek yang bersiap pergi dengan menyandang oore-nya.
Segera setelah Si Nenek menghilang dari pandangan, ketiga remaja ini masuk dalam pondok. Mereka menyembunyikan semua benda tajam dan alat yang bisa Si Nenek pakai untuk memukul, lalu mengatur strategi untuk menjebak Si Nenek. Sementara itu di dalam hutan, Si Nenek sudah melihat bungkusan daun pisang di belakang pohon dan bersiap memasukkannya dalam oore. Betapa terkejut Si Nenek ketika menyingkap daun pisang itu, sebab yang dia lihat adalah jasad suaminya sendiri. Si Nenek berteriak sekuat tenaga, “Astagaaaaa! Si Guleng-Guleng raksasaku mati!”
Si Nenek segera berbalik arah dan berlari ke arah pondoknya. “Sialan! Anak-anak sial itu menipuku! Pasti mereka yang membunuh Si Guleng-Gulengku! Awas mereka, akan mati semuanya di tanganku!” sumpah Si Nenek. Tiba di dekat pondok, dia langsung mengacungkan parangnya dan berlari mengejar Si Tengah yang sengaja berdiri celingukan di luar. “Anak setan kalian rupanya! Pasti kalian yang barusan membunuh suamiku dan sekarang berani-beraninya kalian menantangku di pondokku sendiri! Bangsaat!” Si Tengah segera berlari mengitari halaman pondok ketika melihat si Nenek mengejarnya. Si Goiso-Goiso yang bersembunyi di balik dinding pondok menjegal Si Nenek sehingga Si Nenek tersandung dan parangnya jatuh.
Si Nenek segera bangun lagi tanpa ingat dengan parangnya, apalagi di depan Si Sulung tiba-tiba muncul dari balik pohon dan mengejek Si Nenek yang sedang berlari terhuyung-huyung, “Ayo kejar Nek. Kejar kami, Nenek Tua Gendut!” Si Nenek semakin panas hatinya, “Ini ada anak setan satu lagi! Sialan! Kubunuh kalian semua dengan tanganku sendiri sekarang!” Dia terus mengejar Si Tengah dan Si Sulung, namun dua remaja ini berlari lebih gesit sambil sesekali menoleh ke belakang mengejek Si Nenek yang semakin terengah-engah.
Ternyata mereka sudah memutari pondok sekali lagi dan Si Nenek tanpa sadar terpeleset persis di atas parangnya sendiri yang tadi terjatuh. Karena parang itu menghadap ke atas, Si Nenek pun terjatuh tepat di atas mata parangnya dan mati seketika. Ketiga bersaudara itu menghela nafas lega. Mereka menyembunyikan mayat Si Nenek di balik pohon besar di belakang pondok. Karena lapar mereka pun menyalakan api dan menghabisi semua persediaan makanan yang ada di dapur Si Nenek. Setelah beristirahat sesaat sehabis puas makan dan minum, mereka bertiga pun melanjutkan perjalanan.
Mereka berjalan terus di hutan berminggu-minggu lamanya dengan memakan apa saja yang mereka dapatkan. Pada suatu hari akhirnya mereka tiba di hutan yang agak terbuka. Mereka mendapati sebuah bukit rendah yang hamparannya lebar dan rata namun terlindung oleh hutan lebat dengan suara gemericik aliran sungai kecil di dekatnya. Bergegaslah ketiganya menuju ke sana.
Mereka sama-sama melihat bahwa ini tempat yang sempurna untuk menetap. Si Goiso-Goiso berangan-angan untuk membentuk keluarga besar di tempat ini dengan sebuah rumah besar sebagai pusat keluarga mereka. Jadi dia mengajak, “Abang-abangku, ini tempat yang sempurna untuk kita mendirikan rumah baru. Daripada kita bertiga berpencar, lebih baik kita tinggal bersama dan mendirikan rumah besar yang nanti akan penuh oleh anak-anak dan keturunan kita.” Si Sulung dan Si Tengah sependapat dengan Si Goiso-Goiso. “Bagus juga usulmu itu, Dik. Baiklah mari kita tinggal bersama-sama. Kau setuju kan Bang?” kata Si Tengah sambil memandang Si Sulung yang sepakat menjawab, “Ya, kita tinggal di sini saja bersama-sama.”
Mereka membuat pondok sementara untuk tinggal menetap di lokasi baru ini. Mulailah mereka bertiga mengumpulkan bahan-bahan untuk membangun rumah. Mereka bekerja membersihkan lahan, memotong kayu dengan kapak batu, menyusun balok, menancapkan tiang-tiang, meraut rotan, merangkai atap daun, memasang dinding dan lantai, serta membuat tangga. Ketiga bersaudara ini masing-masing membuat kamar sendiri-sendiri dengan satu dapur dan beranda bersama.
Di sela-sela waktu mendirikan rumah, mereka juga bekerja mengusahakan ladang yang baru dan menanam pisang, keladi, serta aneka macam umbi-umbian. Mereka membuat sampan kecil dari sebatang pohon. Tinggal di dekat sungai memudahkan mereka untuk mengambil air serta mencari ikan dan udang. Jika perlu sagu mereka berdayung ke dekat rawa-rawa untuk menebang pohon sagu dan mengambil patinya. Jika ingin daging mereka masuk ke hutan untuk berburu tupai, musang, rusa, ayam hutan, dan babi hutan. Begitulah selama masa mendirikan rumah ini mereka bertiga hidup aman tanpa gangguan.
Ketika akhirnya rumah baru mereka jadi, Si Goiso-Goiso lalu menyarankan pada abang-abangnya, “Rumah baru kita sudah berdiri. Sekarang mari kita membuat kandang babi yang besar dan kuat. Pohon-pohon rindang yang masih ada ini jangan kita tebang semuanya untuk buka ladang dan buat kandang, kita perlu sebagiannya untuk ayam-ayam kita nanti bertengger.” Si Sulung menyanggah, “Ah, untuk apa buat kandang besar-besar, seekor babi saja kita tak punya.” Si Tengah menyambung, “Ya, pohon begini banyak cocok kalau kita mau pelihara banyak ayam, tapi kan nyatanya seekor ayam pun tak ada.” Si Goiso-Goiso tetap mengajak kedua abangnya membuat kandang dan membersihkan cabang-cabang pohon untuk tenggeran. Dia serius mengerjakannya sehingga kedua kakaknya terpaksa ikut.
Mereka masing-masing membuat kandang babi dan tenggeran ayam untuk diri mereka sendiri di lokasi yang mereka sukai. Si Goiso-Goiso membuat kandang babi yang besar dan kokoh yang setiap sambungannya dia ikat baik-baik. Luas kandangnya hampir sebesar pondok keluarga. Begitu juga pohon-pohon untuk tenggeran dia tata dan dia bersihkan sambil membayangkan banyaknya ayam yang akan tinggal di sekitarnya. Kedua abangnya membuat kandang-kandang kecil yang asal jadi. Pohon-pohon juga mereka hanya bersihkan ala kadarnya, tidak banyak dan tidak luas. Si Sulung dan Si Tengah mengejek Si Goiso-Goiso yang bekerja keras untuk babi dan ayam yang belum ada. Si Goiso-Goiso menepis ejekan keduanya. Kandang babi dan tenggeran ayamnya memang yang terakhir selesai dibandingkan mereka bertiga, namun buatannya yang terbesar.
Suatu pagi, Si Goiso-Goiso mengajak kedua abangnya ke hutan untuk memetik daun-daun bunga supaya nanti mereka simpan dalam ruangan masing-masing di rumah baru. Si Goiso-Goiso menjelaskan pada kedua abangnya, “Bang, nanti petik daun-daun bunga yang hijau dan segar ya lalu simpan di kamar. Kita merayakan rumah baru yang akan kita masuki dengan hiasan bunga.” Si Tengah dan Si Sulung saling berpandangan. Mereka menganggap Si Goiso-Goiso ini kurang pekerjaan. Mereka menolak dengan enggan, “Apa sih kau ini hei Si Goiso-Goiso. Kau sudah ajak-ajak kami buat kandang, bersihkan pohon buat tenggeran, padahal seekor babi dan ayam pun kita tak ada. Lalu sekarang kau ajak-ajak kami petik daun dan bunga. Kau sudah gila ya? Kau pikir kami ini kurang kerjaan, apa? Lebih baik kita pergi cari ikan saja.” Namun, Si Goiso-Goiso menahan langkah mereka ke sungai dan tetap mengajak mereka mencari daun ke hutan hingga akhirnya mereka ikut.
Di hutan Si Goiso-Goiso mencari bunga-bunga dan memperhatikan daunnya dengan teliti. Hanya daun-daun yang hijau dan segar sehabis kena embun pagi saja yang dia petik dan dia simpan baik-baik dalam lipatan cawatnya. Si Sulung dan Si Tengah sambil mengomel mengambil sembarangan daun-daun yang ada di sekitar bunga-bunga tanpa memperhatikan warnanya dan bentuknya, bahkan yang sudah kuning dan jatuh di tanah juga mereka ambil begitu saja sebab malas menuruti pesan Si Goiso-Goiso yang tampak tidak masuk akal.
Pulanglah mereka bertiga ke rumah dan menaruh daun-daun bunga yang mereka petik di kamar mereka masing-masing. Lalu Si Goiso-Goiso mengajak kedua abangnya bersama-sama pergi ke kandang babi. Tambah mengomel keduanya sepanjang jalan dari rumah ke kandang karena Si Goiso-Goiso semakin aneh-aneh saja. Tangan Si Goiso-Goiso menggenggam tengkorak babi dan tengkorak ayam.
Di depan kandang babi Si Sulung, dibantingnya tengkorak babi itu ke dalam kandang sambil berseru “Tulu!” Tiba-tiba muncullah babi-babi besar dan kecil, jantan dan betina, hitam polos dan belang memenuhi seluruh kandang Si Sulung. Di depan barisan pohon untuk tenggeran ayam, Si Goiso-Goiso membanting tengkorak ayam yang dipegangnya sambil berseru “Tulu!” dan kerumunan ayam langsung bertengger di pepohonan itu sampai penuh.
Terkejutlah kedua abangnya melihat babi dan ayam muncul begitu saja. Bersama-sama mereka menuju kandang babi Si Tengah dan Si Goiso-Goiso membanting lagi tengkorak babi sambil berseru “Tulu!” Lagi-lagi mereka melihat segala jenis babi aneka ukuran memenuhi kandang hingga kandang sempit itu makin sesak dan ada babi-babi yang tidak mendapat tempat. Di depan pohon-pohon untuk ayam Si Tengah, kembali Si Goiso-Goiso membanting tengkorak ayam sambil berseru “Tulu!” dan ayam-ayam bermunculan di dahan-dahan pohon hingga ada yang patah karena sesaknya.
Si Goiso-Goiso lalu pergi ke kandang babinya sendiri dengan diikuti kedua abangnya yang penasaran. Si Goiso-Goiso membanting tengkorak babi ke dalam kandangnya sendiri sambil berseru “Tulu!” dan sebagaimana yang sudah-sudah, penuhlah kandang besar itu oleh babi-babi kecil besar berwarna hitam putih abu-abu garis-garis belang-belang saling berdesakan sambil ribut menguik-nguik. Ketika babi-babi yang berada di luar kandang Si Tengah itu mendengar ada suara kuikan babi lainnya, pindahlah mereka yang tidak kebagian tempat itu ke kandang babi Si Goiso-Goiso yang berkali lipat lebih besar daripada kandang Si Tengah dan Si Sulung.
Di depan pepohonan untuk tenggeran ayamnya Si Goiso-Goiso membanting tengkorak ayam sambil berseru “Tulu!” dan seketika itu juga deretan pohon yang rapi berbaris dalam jumlah banyak itu ramai dipenuhi ayam warna-warni yang berkokok dan berkotek riuh rendah. Bahkan ayam-ayam dari wilayah pohon kakak-kakaknya yang tidak kebagian tempat bertengger ikut pindah ke wilayah Si Goiso-Goiso. Melihat Si Goiso-Goiso punya babi dan ayam yang jauh lebih banyak, muncul lagi penyakit iri hati kedua abangnya. Si Sulung dan Si Tengah saling berpandangan menahan geram mereka dalam diam. Bertiga mereka pulang menuju rumah dan naik menuju kamar mereka sendiri. Di dalam kamar mereka disapa oleh suara perempuan. Ternyata daun-daun bunga yang mereka petik berubah menjadi perempuan. Itulah istri mereka masing-masing.
Si Goiso-Goiso mendapat seorang istri yang cantik molek, muda, dan berkulit mulus cerah karena dia tadi memilih daun-daunnya dengan cermat dan teliti. Si Sulung dan Si Tengah kecewa melihat istri mereka ternyata tua dan keriput. Tadi mereka sembarangan saja mengambil daun-daun bunga yang kuning dan berguguran di tanah sambil mengabaikan pesan Si Goiso-Goiso untuk mengambil daun yang hijau dan segar. Iri hati mereka yang sudah muncul di kandang babi makin menjadi-jadi melihat istri Si Goiso-Goiso yang muda dan cantik dibandingkan istri mereka sendiri.
Bagaimanapun juga, mereka bertiga sudah punya rumah baru, ladang, ternak, dan masing-masing seorang istri. Jadi mereka mengadakan punen (pesta syukuran) atas semua ini. Si Sulung, Si Tengah, dan Si Bungsu hidup bersama mengusahakan ladang, mengurus ternak, dan berburu. Istri-istri mereka menangguk ikan dan udang di sungai sambil merawat kebun keladi untuk kebutuhan makanan mereka semua. Satu per satu istri mereka hamil. Rumah mereka pun makin penuh oleh anak-anak yang lahir setiap tahunnya.
Pada suatu sore para perempuan pulang dari ladang keladi sambil marah-marah bahwa sudah beberapa hari setiap kali ke ladang mereka mendapati banyak keladi mereka yang dirusak oleh babi-babi lain entah dari mana. Tiga bersaudara ini pun mengambil panah dan pergi ke ladang keladi untuk melihat babi yang dikeluhkan oleh istri-istri mereka. Mereka melihat bahwa betul ada babi-babi yang memakan keladi di ladang dan mereka mengikuti jejak pulang babi-babi itu.
Setelah cukup jauh membuntuti babi-babi, mereka melihat bahwa babi-babi perusak ladang mereka masuk ke kandang di dekat sebuah pondok kecil. Dari luar mereka berseru menyapa ke dalam pondok itu dan ada sepasang suami istri tua yang menjawab mereka. Terkejutlah ketiga bersaudara ini melihat tuan rumah ternyata ibu ayah mereka sendiri. Mereka saling berpandangan dan saling memberi isyarat agar pura-pura tidak kenal.
Tuan rumah memang tidak mengenali ketiga orang tamunya. Sesuai standar pergaulan, orang selalu saling menyapa satu sama lain dengan sebutan ibu, bapak, anak, meskipun mereka bukan kandungnya. Si Sulung membuka percakapan, “Bapak, babi-babi Bapak itu masuk ke ladang kami dan merusak banyak keladi. Tolong babi-babi Bapak itu dikandangkan. Kalau mereka datang lagi lalu makan keladi kami lagi, maka jangan salahkan kami kalau babi-babi Bapak itu kami panah semuanya.” Tuan rumah menjawab, “Baiklah Nak, saya akan kurung mereka, tapi mereka babi, tetap bisa kabur cari makan di luar meskipun sudah diberi makan. Kalau mereka masuk lagi ke ladang kalian, tidak apa-apa panah saja, tapi tolong kalian ikuti babi yang kena panah itu pulang supaya jangan mati sia-sia di hutan.” Mereka sepakat untuk menuruti pesan si Bapak lalu pamit pulang.
Beberapa hari kemudian, terjadi lagi serangan babi ke ladang keladi. Si Sulung langsung memanah babi-babi itu yang segera lari kocar-kacir dan terbirit-birit mencari jalan pulang. Kedua adiknya bergabung dengan Si Sulung untuk mengikuti babi yang terpanah itu. Benar saja, babi-babi ini kembali ke arah pondok yang sama. Di muka pondok itu Si Sulung marah-marah di tangga, “Bapak, lihat ini babi-babi Bapak datang menghabiskan keladi di ladang kami lagi. Kalau Bapak tidak bisa mengurung mereka, biar kami panah saja semuanya sampai habis.”
Tuan rumah menjawab, “Jangan Nak, jangan dipanah semua babi-babiku itu. Mereka sudah kukurung dalam kandang tapi entah bagaimana tetap saja bisa keluar. Sekarang kita masak saja babi ini dan makan bersama sebagai ganti rugi keladi kalian yang dimakannya.” Sepakatlah mereka dengan tawaran yang diajukan tuan rumah. Bersama-sama mereka menyembelih babi itu, lalu mereka bersihkan untuk dimasak dalam obbug. Mereka memakannya bersama dengan Si Ibu dan Si Bapak Tuan Rumah yang tetap belum mengenali anak-anak mereka. Selesai makan, mereka pamit lagi pulang.
Namun, keesokan harinya Si Bapak kebingungan mengapa setengah dari babi-babinya menghilang. Diapun pergi mencari dengan mengikuti jejak-jejak mereka hingga tiba di tempat tiga bersaudara itu. Si Bapak menjelaskan pada mereka, “Babi-babiku setengahnya pergi dari kandangku. Kuikuti jejak mereka hingga tibalah aku di sini. Heran sekali aku padahal sudah kukandangkan mereka semua, tapi tetap saja bisa kabur lagi dan perginya selalu ke tempat kalian ini.” Si Sulung menyarankan, “Panggil saja babi-babi ini Pak, kalau benar punya Bapak pasti mereka mau ikut pulang.” Si Bapak menjelaskan, “Sudah kupanggil babi-babiku ini sejak tadi, tapi tetap saja mereka tidak mau mendengar.”
Si Sulung bertanya “Apakah Bapak mengerti mengapa babi-babi Bapak ini selalu datang ke tempat kami? Si Bapak menjawab, “Tidak Nak, aku masih heran mengapa mereka bisa kabur dari kandang.” Si Sulung menjawab, “Pak, babi-babi Bapak saja mengenali kami sehingga mereka selalu mau ke sini. Kami ini anak-anak Bapak yang dulu kabur dari rumah karena adik bayi kami meninggal tanpa sengaja tapi waktu itu Bapak terlalu marah hingga mau membunuh kami semua.” Si Tengah menambahkan, “Benar Pak, kami ini mengenali Bapak dan Ibu sejak pertama kali kita bertemu di pondok Bapak, tapi Ibu dan Bapak tidak mengenali kami lagi.” Mendengar penjelasan itu Si Bapak menangis sekeras-kerasnya. Dengan terharu dia merangkul anak-anaknya yang juga menangis karena pertemuan ini. Si Goiso-Goiso membujuk bapaknya, “Bapak tinggal saja dengan kami di sini, kita jemput Ibu sama-sama. Kita bersatu lagi. Ibu dan Bapak sudah punya tiga menantu dan banyak cucu di sini.”
Si Bapak setuju, “Ya, mari kita jemput ibumu sekarang, Nak.” Berangkatlah mereka kembali ke pondok Si Bapak. Setelah mendengarkan penjelasan mereka semua, Si Ibu yang gembira bukan kepalang langsung setuju untuk pindah ke rumah anak-anaknya. Semua barang mereka kemasi, dan semua ternak juga mereka bawa. Sebagai ungkapan syukur atas bersatunya mereka kembali sebagai keluarga yang lengkap, mereka mengadakan punen pasamba’at agar semua roh mereka tidak ada lagi yang tertinggal di tempat lama dan semuanya selaras hidup bersama-sama di tempat baru.
Demikianlah beberapa tahun lamanya mereka hidup sentosa sebagai keluarga besar. Namun, setelah sekian lama hidup bersama semakin dirasa rumah mereka itu sempit dengan bertumbuhnya anak-anak mereka . Si Bapak memanggil ketiga naknya, “Selagi aku masih hidup, baiklah sekarang kita membangun sebuah uma yang besar dan luas untuk memuat semua keturunan kita. Jika aku sudah mati nanti mungkin saja kalian tidak tahu lagi semua aturan yang harus ditaati agar pembuatan uma kita lancar tanpa kendala.” Anak-anaknya setuju dengan usul Si Bapak sebab membangun uma besar memang perlu waktu yang lama sedangkan orangtua mereka semakin menua.
Mulailah mereka menentukan lokasi, membuka lahan, serta mengumpulkan semua kayu-kayu besar yang terbaik sambil mengikuti semua aturan dan pantangan dalam proses pembuatan uma. Sayangnya, meskipun mereka bertiga bekerja bersama, Si Sulung dan Si Tengah malah semakin benci pada Si Goiso-Goiso dan istrinya karena nampak jelas bahwa ibu dan bapak mereka lebih menyayangi Si Goiso-Goiso dengan istri dan anak-anaknya daripada menyayangi mereka berdua dan istri anak mereka. Ketika mereka masih mengerjakan kayu dan mengumpulkan bahan-bahan uma, terjadilah kemalangan: ibu dan bapak mereka meninggal berurutan karena telah tua.
Setelah rangkaian acara berkabung selesai, mereka bertiga kembali melanjutkan persiapan pembangunan uma sesuai pesan Si Bapak. Belasan bulan kemudian akhirnya semua bahan terkumpul dan posisi tiang-tiang pancang sudah mereka tentukan. Saat itulah Si Sulung berdiskusi dengan Si Tengah tanpa mengajak Si Goiso-Goiso. “Siapa yang akan turun menggali lubang untuk menancapkan tiang utama?” tanya Si Sulung. Si Tengah langsung menjawab, “Si Goiso-Goiso yang turun dan kita akan buat Si Goiso-Goiso tetap di dalam tanah untuk selamanya.” Sepakatlah kedua saudara itu untuk mencelakakan Si Goiso-Goiso lagi.
Istri Si Goiso-Goiso merasakan firasat, jadi dia berpesan pada suaminya, “Besok kalian akan mulai mendirikan uma. Berhati-hatilah dengan kedua abangmu, mereka bisa saja mencelakakan dirimu.” Si Goiso-Goiso menenangkan istrinya, “Tidak akan ada apa-apa, seandainya mereka mau mencelakakanku pun aku tetap tidak akan mati. Tenanglah.” Keesokan harinya mereka bertiga menggali di titik tengah lokasi uma. Si Sulung berkata pada Si Goiso-Goiso, “Kita harus membuat lubang ini lebih dalam lagi agar bisa memancangkan tiang utama. Sekarang bergantian saja kita masuk menggali. Kau lebih dulu masuk nanti kau naik barulah Si Tengah akan menggantikanmu.” Si Goiso-Goiso setuju, “Baiklah, aku yang pertama” katanya. Lalu turunlah dia sambil memegang batu galinya.
Setelah Si Goiso-Goiso masuk, dia lanjut menggali lebih dalam lagi. Kedua abangnya menurunkan tiang utama, “Ukurlah, kedalamannya sudah pas atau belum.” kata Si Sulung. Si Goiso-Goiso menyambut tiang itu di bawah, namun kedua abangnya dari atas bersama-sama menumbukkan tiang besar itu ke tubuh Si Goiso-Goiso sekuat tenaga sambil berseru gembira “Lu lu o! Lu lu o!” seolah-olah mereka baru mendapatkan hasil buruan yang besar. Mereka gembira karena yakin Si Goiso-Goiso sudah mati seketika itu juga. Ternyata,dari dalam tanah Si Goiso-Goiso menjawab, “Lu lu o!” Kedua abangnya mendengar seruan itu, tapi mereka tak mengacuhkannya.
Istri dan anak-anak Si Goiso-Goiso amat sedih karena Si Goiso-Goiso tewas. Si Sulung dan Si Tengah melanjutkan pendirian uma mereka, perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit, hingga akhirnya berdiri juga seluruh bangunan. Setelah selesai memasang atap uma, mereka merencanakan punen untuk peresmian uma mereka yang baru. Bersama seluruh keluarga besar dan tetangga-tetangga mereka pergi berburu, mengumpulkan keladi dan pisang, membuat sagu, menangkap ikan dan udang, hingga semua bahan makananan itu pasti berlebih untuk acara pesta peresmian uma.
Sebelum punen, Si Goiso-Goiso muncul dalam mimpi istrinya, “Besok, kau dan anak-anak tak perlu ikut punen peresmian uma baru karena aku akan mengguncangkannya. Kalian sembunyi saja di kubangan babi dekat rumpun pisang yang agak jauh dari uma.” Keesokan harinya ketika mereka mau melakukan acara punen, istri Si Goiso-Goiso mendatangi kedua abang iparnya, “Aku ini janda dan anak-anakku yatim, aku tidak perlu ikut acara punen uma ini karena kami berkabung kehilangan suami dan ayah kami saat kalian berpesta. Berikan saja jatah daging dan ikan kami sebab kami akan diam di kubangan babi jauh dari acara kalian ini.” Si Sulung dan Si Tengah menyetujui permintaan istri Si Goiso-Goiso dan meminta para perempuan memberinya jatah makanan yang langsung dia bawa keluar.
Acara pesta punen berlangsung meriah. Berkuali-kuali daging babi, ayam, dan ikan direbus sebagai lauk, juga sangat banyak obbug berisi daging dipanggang di atas bara. Semuanya untuk makan peserta punen. Selesai upacara mereka akan bersiap untuk makan lalu menari bersama. Tepat saat air masakan daging itu mendidih semuanya, Si Goiso-Goiso membuat guncangan yang sangat besar sehingga bangunan uma besar itu masuk ke dalam tanah. Atap dan tiang-tiangnya jatuh menimpa semua orang yang ada di dalam, kuali-kuali berisi air mendidih semuanya tumpah dan apinya membakar orang-orang yang sudah kejatuhan atap uma. Semua orang menjerit berlarian menyelamatkan diri tapi tak bisa apa-apa karena bangunan uma sudah terkubur.
Hanya istri dan anak-anak Si Goiso-Goiso saja yang selamat. Mereka melanjutkan hidup tanpa saudara-saudara yang jahat. Dengan kesaktiannya, meskipun dari dalam bumi, Si Goiso-Goiso membantu kehidupan istri dan anak-anaknya hingga mereka bertambah banyak dan menurunkan lebih banyak lagi orang Mentawai selanjutnya. Si Goiso-Goiso tetap tinggal di dalam tanah sebagai roh gempa bumi. Orang-orang Mentawai menyebutnya “Teteu” (kakek) dan hingga kini sewaktu-waktu Si Goiso-Goiso masih tetap datang menyapa keturunannya. Jika ada guncangan-guncangan di Bumi Mentawai maka orang-orang menyebut bahwa Teteu mereka sedang berkunjung.
Catatan: Sumber utama penulisan ulang kisah ini adalah buku Bruno Spina: Mitos dan Legenda Orang Mentawai (Jakarta: Balai Pustaka 1981) dan artikel Panulis Saguntung: Kearifan Tata Ruang Uma bagi Ketahanan Bencana dan Ekonomi Mandiri Tradisional Mentawai dalam Jurnal Pajigiat Vol 2 No 1 Juni 2021 ISSN 2775-3603
*Penulis adalah pekerja sosial