“TOUR DE SEGO” : Nilai, Laku, dan Ritme Bersepeda
Melangsir dari The Jakarta Post edisi 1 Agustus 2020, pada masa-masa awal “new normal” pandemi Covid-19, masyarakat Indonesia dihadapkan dengan sebuah fenomena yang dikenal sebagai bike boom, yakni meningkatnya penggunaan sepeda dalam kegiatan sehari-hari. Bahkan pada bulan Juni tahun 2020, peningkatan penggunaan sepeda di Jakarta sudah mencapai 500%, jika dibandingkan dengan bulan Oktober tahun 2019. Ketatnya peraturan pemerintah dalam rangka menekan laju persebaran Covid-19, membuat banyak fasilitas publik yang ditutup, termasuk salah satunya yaitu transportasi umum.
Untuk merespon kondisi tersebut, masyarakat mulai memilih berbagai alternatif baru, terutama yang berkaitan dengan mobilitas. Sepeda pada akhirnya menjadi alternatif populer bagi sebagian besar orang, karena selain untuk menghemat pengeluaran dan mempermudah mobilitas, dengan bersepeda juga dapat menjaga kebugaran tubuh dan kesehatan mental.
Di Yogyakarta, para pecinta sepeda disatukan salam sebuah wadah yang dikenal dengan Bike To Work (B2W). Visi utama dari gerakan tersebut adalah untuk menciptakan kualitas hidup yang lebih baik dengan bersepeda, dengan misi utama untuk meningkatkan jumlah pengguna sepeda dalam aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu dalam kampanyenya, gerakan tersebut mendukung berbagai aktivitas bersepeda termasuk berkesenian yang melibatan sepeda.
Hubungan antara seni dengan bersepeda diterjemahkan oleh seorang seniman Yogyakarta bernama Ismu Ismoyo, kedalam sebuah pameran bertajuk “Tour de Sego”. Pameran tersebut telah berlangsung sejak tanggal 21 Februari 2023, yang akan berlanjut hingga 12 Maret 2023 mendatang, bertempat di Kebun Buku, Jalan Minggiran 61 A, Yogyakarta.
Dalam catatan pengantarnya, Ismu Ismoyo menjelaskan bahwa “Tour de Sego” sendiri adalah parodi dari cara berkendara kita yang bergerak terburu-buru, serba ingin cepat dan praktis. Adanya ketepatan dalam melakukan perjalanan memenuhi kehidupan tanpa meninggalkan keseimbangan, menjadi ‘nilai’ utama yang ia petik dan pelajari dari bersepeda. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa:
“Perjalanan bersepeda memungkinkan merekam memori secara lambat dan berulang ulang. Sangat pas dengan kebiasaan membuat drawing berseri. Beberapa obyek yang saya tangkap saat bersepeda di rangkai ulang di kertas gambar…”, (1/02/23).
Sebelum menggelar pameran ini, Ismu Ismoyo yang merupakan seorang seniman mural telah melahirkan berbagai karya yang sebagian besar berada di Yogyakarta. Beberapa diantaranya yaitu mural bertuliskan “Menanam Untuk Anak Cucu Kita”, yang terletak di tepi Jalan Ngadinegaran, Mantrijeron, Yogyakarta (2013), serta mural bertuliskan “Dua Puluh Ribu Rupiah” dengan ornamen batik, yang terletak di Prawirotaman, Yogyakarta (2016). Seperti banyak karya yang lain, dua mural ini syarat akan simbol-simbol yang merepresentasikan persoalan-persoalan lokal yang waktu itu sedang terjadi dan hangat dibicarakan.
Sementara itu, pada pameran “Tour de Sego” ini, Ismu Ismoyo berusaha untuk mengabadikan kegiatan bersepeda dengan menggunakan perspektif budaya, yakni sebagai sebuah ‘tradisi’ yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Tingginya laju pembangunan kota membuat jalanan kian hari menjadi kian sesak dan macet oleh kendaraan bermotor. Oleh karena itu, Ismu berharap bahwa maraknya pembangunan dan berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak menggerus budaya bersepeda di masyarakat. Terakhir, mengutip dari Noer Cholik dalam catatan pengantarnya bahwa:
“Pameran Tour de Sego menjadi bukti bahwa pilihan bersepeda dan beraktivitas akan memunculkan karya seni sebagai representasi bertemunya endorfin dengan interaksi sosial di dalam keruangan lingkungan, sekaligus sebagai pengingat kita untuk terus mengayuh dan menemukan hikmah bersepeda,” pungkasnya pada 13 Februari 2023.
*Lesi L.