SD Mangunan, Dirancang untuk Melawan Hukum Rimba Dunia Pendidikan
Oleh FX Domini BB Hera
Dua dekade telah berlalu pasca berpulangnya Romo Y.B. Mangunwijaya (1929-1999), rohaniwan serba bisa yang selalu gelisah pada ketidakadilan yang menimpa sesamanya. Banyak gagasan dan karya telah dilahirkannya. Menjelang akhir hidupnya, SD Eksperimen Mangunan menjadi pernyataan sikap dan perlawanannya terhadap hukum rimba di dunia pendidikan maupun pengajaran yang tidak ramah bagi anak-anak miskin.
Terhenyak sekaligus terkejut. Demikian ekspresi Prof. Dr.-Ing. Wardiman Djojonegoro, Mendikbud RI 1993-1998, saat diberitahu ada dua fotonya berukuran besar masih terpasang di Wisma Kuwera – Jl. Gejayan, Yogyakarta, markas Romo Y.B. Mangunwijaya (1929-1999) saat memimpin SD Eksperimen Mangunan.
Kedua potret itu mengabadikan suasana peresmian SD Kanisius Eksperimen Mangunan, Kalasan, Yogyakarta tahun 1994. Sebuah SD yang digagas untuk diabdikan bagi kaum miskin dengan kurikulum non-konvensional tanpa memandang latar SARA anak didik.
Hubungan Mangunwijaya dengan Wardiman sendiri dimulai sejak awal dekade 1960-an saat keduanya kuliah di kota yang sama, yakni di Aachen, Jerman Barat. “Menyesal saya tidak bisa membantu finansial sekolah Mas Romo. (Karena) SD masih menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat.”, ucap lirih Wardiman pada Oktober 2016 silam dalam perjalanan antara Solo-Purworejo. Sedari mereka masih berusia muda, Wardiman bersama pelajar Indonesia lain di Aachen seperti B.J. Habibie (kemudian Presiden RI, 1998-1999) bersepakat menyapa Mangun dengan sapaan Mas Romo.
SD Eksperimen Mangunan yang masih lestari hingga hari ini merupakan salah satu harta karun dan warisan pendidikan Romo Mangun di bumi Yogya. Keberadaan sekolah tersebut turut menjadi monumen bagi sejarah pendidikan Indonesia yang mengabdikan karya bagi anak-anak miskin. Kaum yang rawan, rentan, dan rapuh mendapat akses pendidikan.
Arsitek Pendidikan Kaum Miskin
Terdidik sebagai arsitek, pada akhirnya Mangunwijaya kecewa pada pendidikan arsitektur di Indonesia. Kekecewaan Romo Mangun hingga pada batas kata ‘kegagalan’. Mayoritas arsitek tidak memberanikan diri membuat rumah-rumah sejahtera hingga membenahi perkampungan kumuh. Impian kebanyakan arsitek masih membuat gedung pencakar langit hingga bangunan megah secara fisik namun tanpa jiwa di dalamnya.
Pemberdayaan masyarakat dan renovasi perumahan layak huni di bantaran Kali Code yang dilakukan Romo Mangun merupakan pernyataan tegas sikapnya.
“Perkecualian pasti ada, namun perkecualian selalu sedikit sekali”, diksi mengena yang pernah ditulisnya sendiri. Pada saat bersamaan tidak sedikit kaum miskin yang menjadi tumbal pembangunan fisik ekonomi.
Melihat banyaknya arsitek seperti itu dan kegagalan pendidikan arsitektur, ia bertolak pada tingkat pendidikan pertama: Sekolah Dasar. Kepedulian pendidikan Romo Mangun tidak saja berasal dari latar belakang ayah-ibunya yang masing-masing seorang guru, melainkan ia meyakini pendidikan adalah kunci untuk mengangkat kaum miskin. Ia merancang dan mengawal sekolah dasar yang diadakan untuk melawan hukum rimba dunia pendidikan yang sering mengalahkan hingga tidak memberi ruang bagi anak-anak miskin.
Hal pertama yang realistis ia garap ialah melatih dan mendampingi para guru sebagai pengembang pelajaran. “Kita semakin tidak punya guru lagi dalam arti (yang) sejati. Memang di sana sini ada satu dua guru-guru sejati. Tetapi seumumnya kita hanya punya penatar atau instruktur.”, ungkap Romo Mangun dalam dokumenter produksi Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta tahun 1995.
Romo Mangun meyakini bahwa kelas merupakan sanggar kreatif dan bukan ruang steril yang pasif. Di sekolah ini bukan rangking tinggi maupun ijazah yang dikejar, melainkan justru kesetiakawanan sosial. Tidak ada murid yang bodoh dalam kredo Romo Mangun dan sekolah yang ia selenggarakan.
Tidak hanya berfokus pada guru dan anak didik, Romo Mangun secara intensif berdialog dengan orang tua-wali murid. Hal itu dilakukan guna memperoleh masukan dan persoalan apa saja yang dialami anak-anak didiknya dalam keluarga. Tampaknya ia sangat menyadari bahwa sekolah mula-mula ialah keluarga.
Lima Mata Pelajaran Khas Mangunan
Sekalipun SD Mangunan kini tidak lagi didominasi oleh anak-anak miskin, para pegiat pendidikan di sana terus mengembangkan konsepsi pendidikan kritis sang pendiri.
Dinamika Edukasi Dasar (DED), pengelola SD Eksperimen Mangunan, berusaha setia menghayati ‘pohon pendidikan’ yang digagas Romo Mangun. Pelajaran Sejarah dan Geografi berada pada akar guna membentuk orientasi diri dan identitas.
Sains, Matematika, dan Bahasa menempati posisi batang. Secara khusus Romo Mangun membagi tahapan proses belajar mengajar yang menyesuaikan jenjang pra sekolah dan pendidikan dasar dalam mata pelajaran bahasa.
Berbagai kesenian sebagai ungkapan jiwa berikut citra manusia menempati ranting dan dedaunan. Pohon pendidikan ini disinari rembulan budi etis Pancasila dan surya religiusitas. Lima mata pelajaran khas SD Mangunan tetap dipertahankan.
Pertama, ‘Komunikasi Iman’ yang bukan seperti pelajaran agama kebanyakan. Kedua, ‘Membaca Buku Bagus’. Kegiatan ini jauh sebelum kebijakan Mendikbud Anies Baswedan (2014-2016) membaca buku selama 15 menit dimulai. Membaca buku bisa seputar tokoh yang memberi keteladanan atau peristiwa yang memberi makna.
Ketiga, ‘Membaca Meja’ berisi pelbagai informasi menyerupai majalah dinding yang kini dilaksanakan satu semester sekali. Keempat melalui ‘Musik Pendidikan’ anak didik diajak menyadari bahwa dirinya sendiri ialah sumber dan pencipta musik. Anak didik mula-mula diarahkan untuk menghasilkan suara yang harmonis lengkap dengan ekspresi seperti bertepuk tangan, bersiul, maupun kreativitas lainnya. Melalui musik anak didik diajak mengenali dirinya sendiri hingga ia mantap bermusik.
Kelima ‘Kotak Pertanyaan’ merangsang anak menulis pertanyaan dan memasukkannya dalam sebuah kotak. Anak yang pandai bukanlah anak yang pintar menjawab namun yang pintar bertanya, demikian kepercayaan Romo Mangun.
Anak didik dilatih merumuskan pertanyaan sebagai tanda ia berpikir. Jangankan pada tingkat SD, pada tingkat perguruan tinggi sekalipun setelah dosen selesai membahas dan forum diberi kesempatan bertanya, belum tentu mahasiswa berani bertanya secara langsung atau berebut tanya pada kesempatan awal.
Romo Mangun tidak menafikan bahwa hal yang terkait pengetahuan, informasi, persekolahan, hingga penyelenggaraan pendidikan merupakan perihal besar yang tak lepas dari percaturan politik. Pengajaran dan pendidikan haruslah tetap mengabdi kepada anak-anak.
Kini sesudah dua dekade kepergian sang pendiri, SD Eksperimen Mangunan telah melaju usia lebih dari seperempat abad. SD Eksperimen Mangunan juga telah bertambah dengan unit TK dan SMP. Sekolah Eksperimental Mangunan bernasib sama seperti Taman Siswa sepeninggal Ki Hadjar Dewantara (1899-1959) dan Perguruan Rakyat pasca Mr. Sunario Sastrowardoyo (1902-1997) dan Sugondo Djojopuspito (1904-1978).
Sekolah-sekolah tersebut masih tegak berdiri dan tetap konsisten menjadi sekolah swasta. Tidak berupaya menjadi negeri milik pemerintah. Otomatis upaya pendanaan sekolah dilakukan secara mandiri. Dinamikanya sejak awal pendirian hingga kini masih terus menorehkan tonggak-tonggak bagi sejarah pendidikan Indonesia dan tetap harus menjawab tantangan zaman yang semakin tidak bertambah mudah.
*FX Domini BB Hera merupakan sejarawan dan editor buku “Urip iku Urub: Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey (Penerbit Buku Kompas, 2019, 2021). Kegiatannya yang terakhir ialah menjadi produser pelaksana film dokumenter “Sylvia Saartje, Lady Rocker Pertama Indonesia” (2021, 48 menit 27 detik, dapat diakses gratis via Youtube).