Puisi-Puisi Tjahjono Widijanto

PENANGSANG DI PANTI KUDUS

kesenyapan menjulang ini menjelma bibir waktu yang tipis, ciuman kelabu yang beku dalam jarak yang terpancang begitu angkuh.,bibir siapa yang kini berani menyambutnya dengan seribu gairah yang resah?
di kejauhan pasir di pesisir nampak bagai butiran kunang-kunang dengan kerlipnya yang malas. tak ada lagi darwis yang menari di tengah kota yang suci atau pengelana dengan kuda perkasa bersama jubah dengan rumbai-rumbai gagah meneriakan aksara yang pecah mengambang di udara dibawa angin menelusup di sela-sela ruang dan tulang. pengembaraan musafir terpilih yang keras juga romantis, kisah para pewarta langit perambah jalan perkasa dari leluhur yang dilahirkan di atas jung-jung perkasa
ziarah cuma menyisakan sejumput kisah melumut di tengah udara yang kering, ranting-ranting terbakar menyimpan kenangan yang hangus oleh cuaca ,“Djakfar, kaulah kenangan yang ambyar berserakan bersama musim yang terus berjalan!”

di pucuk sunyi menjulang kulihat kembali santrimu menghunus keris tapi perlahan runtuh ke bumi dan sejarah menikammu dengan hati-hati dan sempurna, teramat sempurna di ulu hatimu, lalu bayang-bayangmu mengendap dalam senyap bersama geramang tahlil para penziarah yang bergoyang-goyang mabuk dalam syahwat tak tuntas-tuntas.
sejarah yang lebih kejam dari rajam, yang lebih kabut dari maut menudingmu di antara tatapan mata para petakziah yang memerah lelah bersama bulan yang bersiap menelan ujung menara,
-“Penangsang santriku, mengapa tak kau asah tajam kerismu ?”

 

GANDRING

Kupahat kutuk di bilah karatan ini
mantram-mantram yang ditanam
dalam pamor walang sinuduk
dengan genggam hulu kayu cangkring
kutuk yang dihanyutkan air kali
menjelajahi waktu demi waktu

Kupahat serapah di lancip besi
bersama mantram aji-aji
serupa rajah di lancip besi
aku menitipkan masa depan
mengabadi dalam jejak
dapat dibaca sembari minum kopi
betapa para pemburu dilahirkan di tanah ini
syajarah selalu roboh oleh kapak para penebang
yang mengendap-endap di balik bayang-bayang

Kupahat kutuk di lancip dingin ini
disediakan bagi para petualang
yang tak pernah mau layu
dalam genggam waktu
membiarkan ruh-ruh bergemuruh
menyambut siapa saja yang pergi
mengabadi dalam kutuk yang beku

Ngawi, 2019

 

AJISAKA

–tuan, mana kau pilih nyawa atau aksara?

maka selepas senja buram itu
langit tak henti berkabung
dua jagoan lenyap diserap halimun
meninggalkan rajah menua
bersama musim yang insomnia
berharap abadi dalam lipatan

nafas-nafas waktu memburu serupa hantu
membayang di tiap tikungan
siapa masih sudi mengeja alfabet ini
yang lahir dengan mahar nyawa
dipuja kaum satriya serupa mantram keramat
para jawara, sudra dan praira ditabalkan
jadi pahlawan yang ditumbalkan

tuan, apa benar aksara ini milik kita
atau cuma milik para satriya
pangeran lembut nan tampan
bersama putri-putri jelita
tanpa keringat dan air mata

darah kawula dan jawara
mengabadi dalam amis yang pilu
dan tuan tertawa pada sayap-sayap malam:
“bahasa ini milik satriya bukan kawula
mampus kau dirajam mimpi!”

Ngawi, 2019/202

 

HANACARAKA

ini cuma masalah tafsir, tuan,
kau di ujung sana aku di kutub lain menaksir aksara
lidah api yang keluar dari mulut titisan para dewa
dan kita sepasang kadang berseberang dalam tarung
yang kejam pada lurung-lurung gaduh mengguruh.
sebelumnya telah kubayangkan kau menunggu di terminal
menyambut dengan sebuah pelukan alit, cipika cipiki,
selfie lalu pulang bersama. nyatanya tak.
kita bersikukuh dalam tafsir-tafsir kejam sedingin lancip keris

ini cuma persoalan tafsir, tuan
maaf kami beda menangkap isyarat
karena kita bukan pendeta waskita
bukan satriya titisan dewa
cuma petarung silsilah para jawara
karena itu jangan paksa kami seia menafsir
mantram mantram rumit dalam kuasa bahasamu

Ngawi-Jakarta, 018/019

 

DEWATA CENGKAR

apa salahku berwujud raksasa?
aku lahir di tanah ini
kalau boleh kuminta
tentu akan kupilih rupa
wajah halus tampan satriya
bukan denawa dengan taring lancip
mengapa pula kau sampai di negeriku
musyafir yang disesatkan samodra
tersangkut di karang karang lautku

apa yang salah dengan wajah raksasaku
berabad di negeriku musim datang tanpa cedera
tanpamu musyafir lata berwajah satriya
bunga dan buah tumbuh silih berganti
tunas tunas selalu setia menjelma batang
tentu wajah tampan bukan alasan
kau datang mengangkat pedang
lalu menguburku jauh di kedalaman samodra
tanpa sempat kau tanyakan
berapa besar cintaku pada negeriku

apa yang salah dengan wujud raksasaku?
apa kau cemburu melihat cintaku
pada negeri ini seluas bentangan samodra
sedang kau sekedar pelancong tanpa KTP
cintamu pada negeri sendiri cuma sebatas selokan
karena itu kau tinggalkan negerimu
menyendiri dalam ingatan sunyi yang pilu
dan perlahan melupakan namamu

Ngawi, 2019/2020

NUBUAT POHON ASAM
*Baradah

aku lahir dari kutuk
doa tua yang membonsai tubuh
memisahkanku dari genggaman langit bapa angkasa
belenggu yang berpinak sepanjang gelisah nafas tak pernah lunas terbalas
tempat sunyi yang menyerah pada kehendak berkarat
batang tubuhku yang kuat perkasa
hanyalah si terkutuk dengan jiwa nelangsa
menggumpalkan kekalahan dalam samadi tak terperikan
menjinjing waktu bersama darah meleh di pinggang
menunggu penebang mematahkan tulang-tulangku

aku lahir dari kutuk
mantram yang membelenggu dahan rantingku
mengurung rinduku pada nikmat liukan ujung badai
juga bisikan cinta dari pucuk kabut di tangga langit
terbungkuk-bungkuk jadi si tua diterpa dingin dan mimpi buruk

aku lahir dari kutuk
berkabar pada cuaca yang datang dan pergi
dalam kubangan waktu yang gelisah dalam sejarah
bersama ingatan-ingatan kecut serupa pecut
menganyam senja, jarak dan peristiwa
berkawan hantu tua penunggu jalan yang juga tua
merajam bunyi menjadi sunyi

 

LUNGKAN*)

Pohon keramat tempat dewa-dewa menaburkan azimat
dipucuk-pucukku orang suci menaiki tangga langit
daun-daun bersayap seerti sajak-sajak rindu
mencari tambatan sauh untuk berlabuh

Dalam lemir daunku kugelar sebuah peta
amsal perjalanan yang diterjemahkan cahaya purnama
warna putih yang melumuri serabut-serabut hijauku
seperti kelokan sungai sejarah asa usul air susu ibu

Simpanlah rindumu pada helai daun-daunku
menyimpan rahasia cahaya sepanjang masa
bersembunyi dalam gericik sungai rerimbun belukar
selubung mantram-mantram paling rahasia
tempat di mana kau bisa menafsir waktu
yang begitu angkuh dalam dekapan
timbunan misteri paling musykil
dalam ingatan-ingatan yang mengerdil
tapak-tapak jejak makin samar dilacak

Dalam gembuk daunku
kusimpan cahaya meski kau tak pernah tahu
karena kini kau begitu asing pada purnama
juga makin asing dengan wajah sendiri
yang makin samar dirajam waktu

*)Pohon yang dianggap keramat di desa Banada, Talaud Sulawesi Utara. Pohon ini ketika bulan purnama daunnya yang hijau berubah menjadi putih.

Banada, 05017

 

POHON-POHON DI GOA PINTU TUJUH

rerimbun batu-batu rengkah
batang, sulur-sulur pohon dan tengkorak
tumbuh dalam bongkah-bongkah karang
adalah kata-kata yang di tiup angin laut

berabad para ksatria porodisa
mencatat kedatangan dan kepergian
di jalan-jalan setapak dan sunyi belukar
besama parang dan bedil-bedil tua

berabad petualang dan ksatria
mengarung laut muncul dari balik kabut
sajak-sajak pecah di nisan goa-goa tak punya nama
dan air mata adalah juga kata-kata

berabad, di akar-akar menjulur di sela-sela batu rengkah
ksatria-ksatria porodisa memilih kubur sendiri
dalam sunyi nyala api menulis kata-kata
sajak-sajak yang tak akan hapus dari ingatan
di Arengkaa, dalam rerimbun batu rengkah
akar, batang, dan sulur daun-daun
bertumbuhan dalam keras perut karang
menjadi perahu ingatan tak pernah khianat

 

DASAMUKA

pada siapa gemuruh anugerah birahi ini kuruntuhkan?
lalu serbuk-serbuk cintaku menempel pada pucuk-pucuk menara
dan ujung langit beranjak surup menanggalkan tubuh yang fana menggigil
membaca biografinya sendiri sebelum mengutuki gurun yang membara

siapa yang nanti akan lahir kembali
menandai amsal cuaca, berhala berhala yang terisak
mengoyak takdir kusam tak kuasa menyimpan kosa kata
cinta tinggal tergenang sesial air comberan yang sia-sia
kenangan sejarah busuk selalu dikutuk sumpahi waktu

siapa sanggup membaca jantungku yang bungkuk
menafsiri takdir langit yang melayang bagai dendam
serupa mamtram yang rajin digumam selepas malam
malaikat-malaikat membiarkannya tersesat
o, rasa rindu yang menjelma tenung di selembar kabut
aku akan menjaring memahatmu di karang-karang waktu

“percayalah doaku akan menjelma bandang yang bergetar sepanjang malam…”

 

*Penyair Nasional dan Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ini lahir di Ngawi, 18 April 1969. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai media nasional. Buku-bukunya a.l: Eksotika Sastra: Kumpulan Esai Telaah Sastra (2017); Metafora Waktu: Kumpula Esai Budaya (2017) Dari Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (2011), Penakwil Sunyi di Jalan-jalan Api (2018), Wangsit Langit (2015), Janturan (Juni, 2011), Cakil (2014), , Menulis Sastra Siapa Takut? (2014),, Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ (Kepustakaan Populer Gramedian dan Dewan Kesenian Jakarta, 2010), Compassion & Solidarity A Bilingual Anthology of Indonesian Writing (UWRF 2009), dll. Diundang dalam berbagai acara sastra, a.l:, Cakrawala Sastra Indonesia (Dewan Kesenian Jakarta,2004), memberikan ceramah sastra di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (Juni, 2009), Festival Sastra Internasional Ubud Writters and Readers Festival 2009), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), dll. Memperoleh Penghargaan Sastra dari Badan Pusat Bahasa (2011) dan Penghargaan Seniman dari Gubernur Jawa Timur (2014)Memenangkan berbagai sayembara menulis a.l: Pemenang II Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2004), , Pemenang Unggulan Telaah Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2010), Pemenang II Sayembara Pusat Perbukuan Nasional (2008 dan 2009), Pemenang II Sayembara Esai Sastra Korea (2009).