Sajak-Sajak Warih Wisatsana
MITOMANIA
Yang paling jenaka adalah diriku
setiap petang mengunjungi semua orang
membayangkan mereka sebagai dinding
atau selembar cermin berbagi murung
Mereka merasa pangeran budiman
samaran rubah gunung yang lembut hati
Seakan sungguh dalam diriku
tersembunyi boneka kikuk terkasih
sepenuh hari ingin dilindungi dan dicintai
Berkali kukisahkan tupai sebatang kara
tertidur bahagia di pohon tua tepi belantara
dalam naungan rasi bintang cemerlang
yang tak pernah ingkar janji
mengelilingi bumi seratus tahun sekali
Bila mereka mulai sanksi akan ceritaku
seketika kutanyakan teka-teki ini
Mengapa di segala cermin sekalian dinding
selalu berlapis bayang
tak dapat diterka wujud rupa sebenarnya?
Sungguhkah rubah yang sesat di pedusunan
akan jinak oleh belas kasih dan uluran kebaikan
seturut dongeng ibu yang dulu berkali dituturkan?
Mungkin mereka ragu atau bahkan haru
terkenang masa kanak berlimpah sukacita
melamunkan hari tua tak bahagia
Berpura memahami betapa setiap wajah
menyimpan wajah lain, muslihat atau siasat
tak lebih permainan jerat
tali temali nasib dan peruntungan
yang datang berulang
Tapi sungguhkah kita tak menyadari
kawan sepenanggungan setiap hari
mengandaikan diri
seekor ikan kecil
dalam botol kecil
hanya kuasa mengibaskan ekor sesekali
Yang paling jenaka adalah aku
setiap petang mendatangi cermin dan dinding
merasa bahwa wajah semua orang
tak lebih si culas nan cerdas
Ataukah si cerdik tak hendak licik, berlapis tipis
dalam remang pandang dalam samar bayang
Serupa tupai dan rubah bersembunyi dalam diri
KEMOLEKAN LANDAK
Kepada Muriel Barbery
Sungguh tak ada nama kita di sini
Percuma merunut kata
hingga akhir cerita
Bukankah kita lalat tak ingin putus asa
berkali membenturkan diri ke kaca
berulang terbangun dini hari
mencari padanan arti
menimang bunyi
Menemukan gua tersembunyi dalam kata
dengan remang cahaya di ujungnya
Jalan berliku ke masa lalu
di mana kau dan aku meragu
bertanya selalu
Pada diri siapakah cermin ini terpahami?
Tapi semalaman tak kunjung kita temukan kiasan
bagi ular yang semusim melingkar di belukar
Atau buah apel dalam ingatan
yang membusuk perlahan
di mana seekor ulat merelakan rumah raganya
sebelum terbang jadi lebah kasmaran
bercumbu sekali lalu mati sendiri
Semalaman tak juga kita temukan
pengandaian sempurna bagi sang juru jaga
Landak molek
yang menyimpan duri dalam diri
menahun di batin tak tersembuhkan
Berulang kita menimbang
meluluhkan arti dan bunyi
agar kisah ini direnungi berkali
mengalir dari kamar ke kamar
bagai tulisan pesan orang mati
Mengalir seturut kelana kucing tua
yang tidur di sembarang taman
mengikuti dari kejauhan
dua perempuan paruh baya
terdiam
menyeberangi malam
Sungguhkah setiap hari mereka menunggu
seseorang mengetuk pintu
sambil menghapal derik jangkrik
dalam haiku
yang tak kunjung
sehening petang
Seraya minum teh
meresapi kehampaan
Tapi tak ada yang menyadari
di lantai tertinggi gedung menjulang ini
seorang bocah melankolia
jemu pada ibu
Membayangkan bunuh diri setahun lagi
Tak kuasa ia melupakan bunga violet muda
hiasan aneka pakaian dalam
selembut jaring laba-laba
yang mengelabui mata
Sederas ingatan cemas
seharian menghanyutkan ibu ke dalam cermin
Ya, tak ada nama kita di sini
Percuma merunut kata
hingga akhir cerita
Semua ini bermula dari lelaki tua
berharap terlihat selalu bijaksana
dengan segala mungkin
ingin putri terkasihnya
menjelma si jelita panggung semalaman
Kiasan sempurna bagi landak molek
yang menyembunyikan duri dalam dirinya
ESTATUA DE LA SANTA MUERTE
Kami kenakan topengmu sepanjang jalan ini
dalam arakan nyanyian dan pujian bagi si mati
Bukankah hidup begitu menjemukan
Siang malam bergegas
siang malam menderas
selalu seperti sungai-sungai
berakhir begitu saja di lautan
Maka biarkan si mati
menari riang tak henti hingga dini
bersama maut terkasih yang merindu dirimu
Si mati yang kini berdiam dalam diri kami
berdendang beriringan
bersulang memuja petang
terbang melayang seringan burung enggang
melintasi hutan pualam malammu yang hilang
berseru pada pohonan
agar rindang meninggi
berseru pada bunga liar agar mekar mewangi
Sebab tak ada yang sesenyap tatap gaibmu
kami rayakan dirimu sepanjang jalan
tanpa kias kata dan ucapan selamat pagi
tanpa kilau cermin pelipur umur yang percuma
Kepada anak yang terisak dilupakan ibunya
kami kekalkan dentang lonceng tua di tikungan
berulang bertepuk tangan berbagi salam
mengusap linang muram di pipinya yang ranum
Kepada dara jelita yang tertawa manja
kami kuyupkan tubuh wangi mereka
dengan rahasia pujian mawar mati
bertanya berkali kenapa dada indah ini
tak dibiarkan terbuka
segalanya akan lebih sederhana
tak ada lagi selubung bayang
yang mengelabui pandang
tak ada lagi mata tergoda
menduga sesuatu yang tak nyata
Sebab tak ada yang segaib wajah kudusmu
Kami rayakan dirimu sepanjang hidup
Paham akan hari, berserah dalam diam
Seperti batu penyendiri
di dasar danau gunung tinggi
bersama maut terkasih yang selalu merindu
CANDI
Candi. Bayangan candi
Gugusan waktu lampau
yang menggenangi dirimu
Terpaku di situ diriku, patung letih
yang tidur dengan mata layu terbuka
dan mulut pucat menganga
Terpahat dalam prasasti
segalanya seolah abadi
di mana aku kelak akan lahir kembali
bertahun tak henti mencari sumber air suci
Kini kendi itu berlumut di bahuku
merindu perigi
tempat dulu kakek membimbingku
menyusuri tepi sungai meniti ngarai
menemui engkau ibu terpuji segala padi
Berenang menyeberangi sungai tua ini
arus deras mana lagi yang menyeretku
Ayah tak pernah mengajari
bagaimana menyelamatkan diri
dari banjir bandang dari puting beliung
suratan langit yang tak tertolak ini
Demikian rahasia itu tersembunyi di dalam kendi
terpahat lumut di kaki candi
agar kisah ini ditulis dan dibaca lagi
PAUS BIRU
Seekor paus biru terdampar dini hari
Masih sempat kusaksikan dari kejauhan
linang terakhir cahaya matanya
memudar samar lalu meredup lenyap
Tubuhnya yang anggun bergetar perlahan
seketika terdiam terayun ombak tanpa gerak
Apa yang dibayangkannya sebelum mati
sahabat-sahabat tercinta yang ingkar janji
kawan senasib yang begitu saja meninggalkannya
Ataukah ia sengaja mendamparkan diri
kecewa putus asa entah oleh apa dan mengapa
tergoda mengakhiri hidup yang dirasa percuma?
Bersama genang bayangnya yang surut menghilang
anganku terhanyut gelombang berkelana di dasar lautan
terbawa secercah cahaya yang entah berasal dari mana
mungkin terlahir dari denyar terakhir sebutir bintang
Barangkali demikian pula hidup bermula di sini
di kedalaman yang tak terbayangkan ini
tercipta segalanya dari makhluk-makhluk kecil
hewan tumbuhan tak bermata tak bernama
Kusaksikan mereka di sela karang dan ganggang
melayang perlahan di tengah runtuhan candi
undakan batu meninggi juga ruang semadi
di sini di kedalaman yang tak terpahami ini
Tapi di palung mana ia dilahirkan?
Berapa umur sebenarnya?
Mungkin saja ibunya
masih menunggu di teluk seberang
Berulang mengirim suara rahasia
memanggil nama kecilnya
KAWAN
kita mewaktu
sesabar air
menembus batu
*Warih Wisatsana, bergabung dalam Sanggar Minum Kopi (SMK) di Denpasar, aktif menyelenggarakan apresiasi sastra keliling Bali termasuk lomba cipta dan baca puisi. Menekuni dunia jurnalistik sedini tahun 1984, mendirikan jurnal sastra budaya CAK, sempat mengelola ruang sastra sebuah koran di Bali. Meraih Taraju Award, Borobudur Award, Bung Hatta Award, Kelautan Award, SIH Award, dan pada tahun 2020 menerima Anugerah Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali.
Diundang sebagai pembicara dan membaca karya pada festival nasional dan internasional, semisal Istiqlal International Poetry Reading (1995), Pesta Sastra Utan Kayu Internasional Literary Biennale (2003 dan 2009), Winternachten Den Haag (1997), Inalco Paris (1998), Ubud Writers and Readers Festival, Printemps des Poetes (Indonesia-Perancis), Surabaya Festival Internasional, Poetry and Sincerity (Festival Puisi Internasional Dewan Kesenian Jakarta), Jakarta International Literary Festival (JILF): Bersama Joko Pinurbo di Utan Kayu ( 2002), Tegal Mas Island International Poetry Festival (2020), Puisi Cinta untuk Indonesia persembahan Balai Pustaka dan Titimangsa Foundation (2020). Diundang dalam Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) 2020 di Tanjungpinang, Bintan.
Puisinya diterjemahkan ke bahasa Belanda, Italia, Inggris, Jerman, Portugal, dan Perancis. Buku kumpulan puisi tunggalnya; Ikan Terbang Tak Berkawan (Kompas, 2003), May Fire and Other Poems (Tiga Bahasa, Lontar, 2015), Batu Ibu (KPG, 2019) meraih Lima Besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018 dan Buku Puisi Rekomendasi Tempo 2018, Kota Kita (Sahaja Sehati, 2018) merupakan Lima Besar Buku Puisi Pilihan Anugerah Hari Puisi 2018. Kelananya di Paris dibukukan dalam Rantau dan Renungan II (KPG dan Forum Jakarta – Paris, 2002) bersama 20 seniman dan budayawan lainnya, antara lain: Toeti Heraty, Sitor Situmorang, Rahayu Supanggah, Slamet Abdul Syukur, dll.
Ia juga editor buku, semisal: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (Michel Picard), Waktu Tuhan – Made Wianta (2008), Buna: Suka Duka Sang Kelana, dan lainnya. Tim penulis sejumlah buku seni rupa; Srihadi Soedarsono, pelukis Van Oel, pelukis Affandi, pelukis Paul Husner, pelukis Hanafi, Biografi pelukis Tedja Suminar, dll. Pernah berkolaborasi dengan perupa seperti Made Wianta, Nyoman Erawan, koreografer Nyoman Sura, koreografer Miroto dan lainnya, serta sebagai sutradara pertunjukan, antara lain: Odipus Sang Raja bersama koreografer Nyoman Cerita dan Nyoman Wenten. Sempat menjadi koordinator budaya Lembaga Kebudayaan Perancis, Alliance Francaise (AF) Denpasar, kini sebagai kurator Bentara Budaya. Bersama Jean Couteau menulis buku biografi Agung Rai (Museum ARMA). Sebagian esainya hadir pada laman: www.wisatsana.wordpress.com.