Membaca Panggung Konflik NU: Retaknya Cermin dan Kegagalan Mawas Diri
Oleh: Gus Nas Jogja*
Nahdlatul Ulama (NU) lahir bukan dari rahim konsensus politik yang kering, melainkan dari tetesan “air mata istikharah” dan “getaran wirid para kekasih Allah”. Secara filosofis, ia adalah sebuah barzakh—ruang antara yang menghubungkan kesucian cita-cita langit dengan realitas bumi yang berdebu. Namun, dalam lensa empiris dan deskriptif hari ini, kita melihat sebuah pemandangan yang paradoksal: sebuah rumah besar yang jendelanya terbuka lebar –Panggung Depan–, sementara di lorong-lorong gelapnya –Panggung Belakang–, sedang terjadi pergulatan yang melelahkan.
Konflik ini, jika kita raba dengan jemari batin, bukanlah sekadar perebutan kursi kayu, melainkan krisis Ontologi Kehadiran. NU sedang bertanya pada dirinya sendiri: “Siapakah aku di hadapan zaman?” Apakah ia seorang penjaga moral yang sunyi, ataukah ia mesin kekuasaan yang berderu?
Panggung Depan: Estetika Keteraturan yang Rapuh
Di panggung depan, kita menyaksikan pertunjukan teatrikal yang megah. Diksi “Khittah,” “Kemandirian,” dan “Kedaulatan” disuarakan dengan nada yang gagah. Ini adalah wilayah Eksoteris organisasi. Di sini, para aktor mengenakan jubah intelektualisme dan hukum formal sebagai perisai.
Namun, secara sosiologis, panggung depan ini sering kali menjadi medan Simulakra. Kebenaran tidak lagi dicari pada hakikat, melainkan pada siapa yang paling fasih menyusun narasi di depan kamera. Ada upaya sistematis untuk memoles wajah organisasi agar tampak tanpa cela (perfeksionisme administratif), namun di saat yang sama, ia kehilangan kehangatan pelukan ibu yang selama ini menjadi jati diri NU bagi Nahdliyin di desa-desa terpencil.
Panggung Belakang: Labirin Hasrat dan Bayang-Bayang
Masuk ke panggung belakang, kita menemukan aroma yang berbeda. Di sinilah “politik rasa” bermain. Di ruang-ruang tertutup, bahasa yang digunakan bukan lagi bahasa kitab kuning yang teduh, melainkan bahasa kalkulasi: angka-angka dukungan, peta pengaruh, dan strategi penundukan.
Secara filosofis, panggung belakang adalah tempat bagi Shadow Self atau bayangan diri organisasi. Carl Jung pernah mengingatkan bahwa setiap entitas yang besar memiliki bayangan yang gelap. Jika panggung depan adalah cahaya yang menyilaukan, maka panggung belakang adalah bayangan yang panjang. Konflik saat ini terjadi karena bayangan itu mulai menelan cahayanya sendiri. Kepentingan faksional dan sentimen historis antara “pemilik darah” (dzurriyah) dan “pemegang mandat” (struktur) menjadi api yang membakar kelambu pemisah antara kedua panggung tersebut.
Elegi Akar Rumput: Menangisi Retaknya Piring Porselen
Bagi warga Nahdliyin di akar rumput, konflik elit adalah sebuah kesunyian yang menyakitkan. Mereka adalah pemilik sah dari doa-doa yang melangit, namun mereka sering kali hanya menjadi penonton dalam drama yang tidak mereka tulis skenarionya.
Secara sosiologis, terjadi Alienasi Massa. Warga yang merawat tahlil dan manaqib di surau-surau kecil merasa terasing dari perdebatan elit yang menggunakan istilah-istilah langit namun berbau bumi. Mereka melihat piring porselen organisasi sedang retak, dan mereka takut pecahan itu akan melukai kaki mereka yang telanjang saat sedang khusyuk berkhidmat.
Kembalinya Sang Guru: Membaca Fatwa dalam Hening
Mari kita panggil kembali ruh perjuangan melalui suara-suara suci masa lalu:
1. Hadratusyaih Hasyim Asy’ari: Sang Jangkar Kedamaian
Mbah Hasyim dalam Muqaddimah Qanun Asasi tidak hanya menulis hukum, beliau menulis sebuah “Puisi Persaudaraan.”
“Janganlah kalian menjadi seperti pemintal benang yang mencerai-beraikan tenunannya setelah ia kuat.”
Secara filosofis, Mbah Hasyim memandang perselisihan sebagai hijab (penghalang) menuju Tuhan. Beliau mengingatkan bahwa jika panggung depan dihiasi dengan caci maki atas nama kebenaran, maka sebenarnya kita sedang membangun berhala di atas reruntuhan ukhuwah.
2. Kyai Wahab Chasbullah: Sang Penari di Atas Gelombang
Kyai Wahab mengajarkan kita tentang Dialektika. Beliau adalah maestro panggung depan dan panggung belakang. Beliau lincah dalam berpolitik, namun hatinya tetap tertambat pada tiang pancang spiritualitas. Bagi Kyai Wahab, organisasi adalah perahu, bukan tujuan. Konflik hari ini sering kali terjadi karena kita menganggap perahu adalah tujuan, sehingga kita rela saling melempar penumpang demi menguasai kemudi.
Sintesis: Menuju Kepemimpinan yang Menangis
Kepemimpinan di NU seharusnya bukan kepemimpinan yang “memerintah,” melainkan kepemimpinan yang “mengasuh” (Paternalistik-Sufistik). Secara filosofis, seorang pemimpin NU adalah seorang Abid (hamba) yang sedang menyamar menjadi Rais (pemimpin).
Konflik ini hanya bisa diredam jika para aktor bersedia meruntuhkan dinding antara panggung depan dan panggung belakang, lalu duduk bersimpuh di “Panggung Sepertiga Malam.” Di sana, tidak ada kamera, tidak ada tepuk tangan, dan tidak ada lawan politik. Yang ada hanyalah rintihan hamba di hadapan Sang Pencipta Jam’iyyah.
Menenun Kembali Kain yang Cabik
Membaca panggung konflik NU hari ini adalah membaca kerinduan akan ketulusan. Kita membutuhkan sosiologi yang berjiwa dan filsafat yang membumi. Konflik adalah dinamika, namun jika ia kehilangan ruh spiritualnya, ia hanya akan menjadi tumpukan ego yang kering.
Sudah saatnya NU kembali ke “Khittah Kedalaman”—sebuah ruang di mana panggung depan dan panggung belakang melebur dalam satu tarikan napas pengabdian. Biarlah dunia melihat NU sebagai taman bunga yang rimbun, tempat di mana perbedaan warna kelopak tidak membuat akar saling mencengkeram untuk membunuh, melainkan saling menguatkan untuk menopang batang yang satu.
Anatomi Organisasi: Tubuh yang Lelah dan Jiwa yang Bertarung
Secara empiris, ketegangan antara PBNU dan elemen pendukungnya—termasuk hubungan pasang-surut dengan PKB—adalah cerminan dari Krisis Fungsionalisme dalam tubuh organisasi. Jika kita merujuk pada pemikiran Talcott Parsons mengenai sistem sosial, sebuah organisasi membutuhkan Latency –pemeliharaan pola– agar tetap stabil. Namun, ketika PBNU mencoba melakukan re-sentralisasi kekuasaan (panggung depan) guna memutus ketergantungan pada patronase politik tertentu, terjadi guncangan hebat pada sistem Integration yang selama ini mapan.
Data menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, NU mengalami “obesitas struktural”. Munculnya berbagai lembaga dan badan otonom yang bergerak secara semi-independen menciptakan banyak “panggung belakang” kecil yang sulit dikontrol oleh pusat. Konflik yang meledak hari ini adalah upaya paksa untuk menyatukan panggung-panggung tersebut ke dalam satu komando. Secara sosiologis, ini adalah pertarungan antara Sentralisme Organik melawan Pluralisme Tradisional yang selama ini menjadi ciri khas kaum sarungan.
Dialektika Kepemimpinan: Karisma versus Birokrasi
Kepemimpinan di NU saat ini sedang berada di persimpangan jalan filosofis antara Wilayah (kewalian) dan Manajerial. Di panggung depan, publik menuntut akuntabilitas dan transparansi layaknya organisasi modern. Namun, di panggung belakang, ketaatan tanpa rezab (sami’na wa atha’na) kepada sosok Kiai tetap menjadi mata uang utama.
Konflik pecah ketika “Bahasa Birokrasi” digunakan untuk mengeksekusi “Keputusan Karismatik”. Ketika seorang tokoh diberhentikan atau sebuah struktur dibekukan melalui surat keputusan (SK) yang dingin, terjadi luka pada tubuh spiritual jamaah. Di sini, nilai-nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam berorganisasi sering kali terbentur oleh dinding ego sektoral.
Menghadirkan Kembali Spiritualitas Kyai Wahab: Falsafah “Tali Allah”
Kyai Wahab Chasbullah pernah berpesan tentang pentingnya menjaga “Tali Allah” dalam berorganisasi. Secara filosofis, pesan ini adalah antitesis dari pragmatisme panggung belakang. Beliau memandang organisasi sebagai manhaj (jalan) untuk mencapai kemaslahatan publik (al-maslahah al-ammah).
Dalam lensa deskriptif yang lebih puitis, Kyai Wahab adalah pelukis di atas air. Beliau mampu menari di tengah badai politik tanpa membiarkan setetes pun air laut membasahi hatinya yang jernih. Konflik hari ini kekurangan sosok Diplomat Langit—mereka yang mampu bicara keras di panggung depan untuk menegakkan kebenaran, namun mampu menangis dan merangkul lawan di panggung belakang untuk menjaga persaudaraan.
“Janganlah karena kebencianmu pada suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil.” Pesan langit ini seharusnya menjadi kompas bagi elit PBNU. Jika panggung depan hanya diisi dengan narasi “menghukum” atau “menertibkan”, maka NU akan kehilangan jati dirinya sebagai Ibu Besar yang merangkul semua anak-anaknya, betapapun nakalnya mereka.
Kondusifitas Nahdliyin: Antara Takzim dan Kebingungan
Warga Nahdliyin adalah pemilik saham langit di organisasi ini. Secara empiris, loyalitas mereka tidak tergoyahkan, namun secara psikologis, mereka sedang mengalami Disonansi Kognitif. Di media sosial –perpanjangan panggung depan–, mereka melihat para tokoh pujaan mereka saling melempar sindiran. Di ruang privat –panggung belakang–, mereka mendengar selentingan tentang perpecahan yang lebih dalam.
Ketidakpastian ini menciptakan lubang hitam dalam spiritualitas kolektif. Jika kondisi ini dibiarkan, dikhawatirkan akan muncul generasi “NU Kultural” yang apatis terhadap struktur karena merasa bahwa “PBNU bukan lagi tempat mencari berkah, melainkan tempat mencari posisi.” Ini adalah ancaman sosiologis terbesar bagi keberlangsungan NU di abad kedua.
Konklusi Filosofis: Melipat Panggung, Menemukan Sujud
Membaca panggung konflik NU adalah membaca sebuah cermin yang retak. Kita tidak bisa hanya menyalahkan cerminnya, kita harus memeriksa wajah yang terpantul di sana. Esai ini bukan sekadar kritik, melainkan sebuah doa deskriptif agar para pemimpin kembali ke meja perjamuan ruhani.
Secara filosofis, resolusi konflik ini tidak akan ditemukan dalam pasal-pasal AD/ART yang kaku, melainkan dalam kembalinya Akhlakul Karimah ke singgasana tertinggi organisasi. Panggung depan harus dibersihkan dari debu kesombongan, dan panggung belakang harus diterangi dengan cahaya kejujuran.
Biarlah NU tetap menjadi samudera yang luas. Samudera tidak pernah menolak sampah yang dibuang ke dalamnya, namun samudera memiliki cara sendiri untuk memurnikan dirinya melalui badai dan ombak, hingga akhirnya kembali tenang di bawah rembulan khidmah.***
Rujukan Ilmiah
1. Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Anchor Books. (Dasar analisis dramaturgi).
2. Asy’ari, Hasyim. Risalah Muqaddimah Qanun Asasi. Jombang: Maktabah Turats. (Fondasi spiritual-legal).
3. Baudrillard, J. (1981). Simulacra and Simulation. University of Michigan Press. (Analisis realitas media).
4. Bruinessen, M. V. (1994). NUTradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. LKiS. (Data empiris sosiologis).
5. Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. Free Press. (Otoritas Karismatik vs Legal).
6. Parsons, Talcott. (1951). The Social System. Routledge. (Analisis stabilitas dan integrasi organisasi).
7. Chasbullah, Wahab. (Dokumen Sejarah). Pidato-pidato dalam Muktamar dan Pertemuan Syuriah. (Arsip Pribadi Keluarga/LTN).
8. LSI (Lembaga Survei Indonesia). (2024). Survei Kepuasan dan Loyalitas Warga NU terhadap Kepemimpinan Nasional. (Data Empiris).
9. Al-Ghazali, Imam. Ihya Ulumuddin: Kitab Adab al-Suhbah wa al-Mu’asyarah. (Rujukan filosofis etika berorganisasi).
10. Zuhri, Saifuddin. (1987). Berangkat dari Pesantren. Gunung Agung. (Perspektif sejarah dan ruh perjuangan).
———
*Gus Nas Jogja, budayawan.




