Kesadaran Diri dan Sejarah?

Oleh: Mudji Sutrisno SJ*

 

Di mana tempat sejarah dalam peradaban manusia? Sejak kapan semesta sebagai tempat atau ruang di mana manusia hidup, baik sebagai individu pelaku (baca: subjek penentu tindakan dan lakunya dengan pertimbangan budi dan kemerdekaan kehendak maupun sebagai bagian kelompoknya (baca: anggota sebuah masyarakat atau kelompok sosial) mulai dihayati sebagai tempat menuliskan sejarah? Sejak kapan pula rentangan waktu lalu diisi manusia menjadi riwayat peristiwa yang diberi makna dan arti?

 

Ada 2 jawaban mendasarnya. Pertama, sejak tumbuhnya kesadaran sebagai proses menyadari diri sebagai aktor untuk menghayati hidup. Kesadaran itu muncul manakala budi manusia mampu mengambil jarak dan menafsirkan realitas dalam cahaya budi untuk merajut kebudayaan. Artinya, ia tidak mau dikungkung oleh siklus alami yang mengepung-nya dan tertunduk oleh alam semesta. Namun manusia mau menafsir semesta realitas dalam terang atau cahaya budinya yang menjadi kesadarannya.

 

Kesadaran adalah lentikan cahaya “Aufklaerung”, harafiahnya,  kesadaran yang menjadi terang bercahaya. Jaman ini bersamaan dengan bangkitnya kembali atau lahirnya kembali penafsiran atas realitas berdasar fajar budi dan tidak mempercayai begitu saja penjelasan mitis dari keyakinan, kepercayaan atau agama bahwa realitas penafsirannya dan pengolahannya berdasar wahyu atau penjelasan mitos-mitos ilahi.

 

Dalam tahap-tahap proses bertumbuhnya kesadaran manusia, van Peursen membagi 3 tahapan awalnya mitis (dikepung dan dibenamkannya kesadaran manusia oleh siklus semesta, sehingga penghayatan waktu adalah siklus dan belum ada sejarah di sini). Kemudian tahap ontologis, saat budi cerah dengan rasionalitas manusia ambil jarak dan merentangn tafsiran realitas dalam kebudayaan rasional hingga menenun tahap ketiga yaitu fungsional. Artinya, alam itu berdasar fungsinya.

 

Namun kemana arah tahapan-tahapan ini? Kesadaran waktu lalu menjadi linier atau garis lurus dan dimulai dengan titik awal kelahiran kemudian dimaknai dan diberi arti hingga waktu menjadi rentangan sejarah yang ditulis peristiwa-peristiwanya untuk kepentingan dan nilai makna subjek manusia pelakunya.

 

Mulai fajar budinya kesadaran diurai lebih jernih sejalan pemakaian budi untuk falsifikasi (menguji kesahihan dan datum/fakta kebenaran berdasar pengalaman atau empiris dan mana yang merupakan kebenaran abstraksi konseptual hasil analisis kognitif budi manusia) maka disebut verifikasi (menetapkan tahap-tahap kebenaran mulai dari indrawi, pengalaman; kebenaran keyakinan karena percaya dan kebenaran positif karena diuji bisa diinderawi dengan 5 indra dan bisa dibuktikan sebagai emperia (pengalaman) oleh tokoh Auguste Comte dalam ilmu-ilmu positif (yang “meletak” riil di depan mata kita!).

 

Auguste Comte menunjukkan jenjang-jenjang tangga menyadarnya kesadaran dari perkembangan tangga dasar era teologis (yang percaya penjelasan dan tafsir realitas berdasar agama kepercayaan) lalu ke tangga berikut yaitu tahap metafisik, artinya, filsafat metafisis dan abstraksi teoretis sebelum fisika menjadi sumber penjelasan gejala-gejala semesta dan tafsir semesta alam. Proses kesadaran terus berkembang ke tahap/era ilmu pengetahuan ilmiah positif eksperimental, di mana, penjelasan realitas disumberkan pada ilmu pengetahuan eksperimental positif.

 

Dari paparan di atas, tempat sejarah manusia merupakan kristalisasi kesadaran manusia yang dengan budinya menyadari dirinya menjadi subjek pelaku yang menuliskan proses hidup dalam rentang waktu dan ruang semesta untuk diberi makna.

 

Namun kemampuan memberi makna rentang waktu menjadi sejarah, ditentukan oleh bercahayanya atau fajar budi kesadarannya yang melepaskan diri dari kungkungan penjajahan mitos, kebekuan tindasan yang mengungkung orang hingga tidak berani berpikir sendiri sebagai aktor (sapere aude: berani berpikir mandiri) dan proses-proses pencerahan edukasi (pendidikan) hingga manusia tidak menjadi objek jajahan kekuasaan /kekuatan lain di luar dirinya.

 

Kekuatan yang semakin disadari manusia dengan kesadaran fajar budinya itu ternyata tidak hanya menguasainya secara mitis, tetapi menentukan dan membuatnya tidak merdeka menentukan langkah dan penafsirannya sendiri terhadap alam realitas. Kekuatan itu oleh Michel Foucault diteliti sudah dimulai dalam asal muasal setiap pengetahuan dan berwajah pendisiplinan ketika pemahaman manusia sedang ia bangun dalam arkeologi pengetahuan. Bahkan setiap pengetahuan yang pada inti kecilnya adalah episteme sudah memuat penaklukan pendisiplinan sejak dari diskursus atau wacana. Mengapa?

 

Karena dalam wacana, si subjek yang merasa memiliki pengetahuan sudah berkepentingan menundukkan  lawan wacana untuk menerima pengetahuannya. Sejak dari diskursus hubungan timpang antara pemilik makna atau pengetahuan dengan peserta wacana sudah merupakan hubungan kuasa menguasai di kekuasaan penafsiran makna atau isi pengetahuan. Relasi kekuasaan itulah yang membuat terjadi hegemoni transfer pengetahuan menjadi pendisiplinan untuk penundukan.

 

Pertanyaan mendasar konteks sejarah sebagai wujud nyata kesadaran manusia pelaku untuk menuliskan proses hidup bangsanya (dalam sejarah bangsa) dan proses hidup individualnya (dalam autobiografi) menjadi amat bermasalah dan kritis setelah kesadaran diri manusia sendiri dibenturkan pada relasi kekuasaan dalam era ilmu pengetahuan (Comte) di mana pemilik pengetahuan merupakan penguasa monopoli tafsir makna dan “episteme”!

 

Apalagi pada era dekade-dekade ini di mana realitas kita secara tuntas dan total sudah diberhalalkan (fetisisme) barang-barang produksi dengan citra konsumsi dan konsumsi barunya baru dan beli-belilah terus karena dengan itu Anda bercitra maju, modern dan tidak ketinggalan jaman? Dilanjutkan dalam istilah kritis Georg LUKÄCS (1885-1975), yaitu pembendaan atau reifikasi untuk menunjuk proses dimati-bekukan dalam pembendaan unsur-unsur atau dimensi-dimensi kesadaran manusiawi karena komoditifikasi produk-produk kapitalisme.

 

Masih bisakah sejarah dituliskan bermakna dan bernilai arti tahap-tahap pencerahan peradaban manakala  tantangannya adalah rakus dan merajalelanya kekuasaan  materialisasi (pembendaan) dan pemberhalalan konsumsi komoditi terus menerus? Pula ketika penentu penulisan sejarah adalah tangan-tangan monopoli kekuasaan dan hegemoni-hegemoni penafsir tunggal kebenaran makna? Alias para penguasa politik dan penguasa modal?

 

Tugas menulis sejarah dari kesadaran pencerahan budi demi peradaban menjadi semakin berat ketika rakyat banyak ternyata merupakan mayoritas para korban yang dengan bisu dan diam dijadikan korban oleh penguasa dalam sejarah huruf besar.

 

Karena itu tantangan sejarah huruf-huruf kecil dan sejarah-sejarah peradaban berada di depan mata dan hidung kita manakala batu ujian kebenaran sejarah tetap sama tidak berubah yaitu suara rakyat tetap tidak diperjuangkan alias sejarah rakyat tidak ditulis lantaran didengarpun hanya pada saat kempanye dan janji pemilu?

Ukurannya: semakin ditenun menjadi peradaban atau semakin merosot ke kebiadaban?

 

——–

*Mudji Sutrisno SJ, budayawan.