Puisi-puisi Abdul Wachid B.S.

BALADA JARO ROJAB

 

1.

Fajar Rajab merayap pelan

bukan cahaya, melainkan luka tipis

yang menetes dari pucuk bambu.

 

Kabut turun seperti makhluk

yang mencari pemiliknya,

menyelusup ke akar, menembus dada

Masjid Saka Tunggal

yang berdiri bagai bayangan purba

menjaga rahasia yang tak boleh diucap.

 

Lelaki Cikakak berderap,

membawa bambu, panen, doa

langkah mereka seperti suara arwah

yang mengetuk pintu bumi.

 

Di sela embun,

nama Kiai Mustholih

menggemakan langkah-langkah yang tak terlihat,

seperti seseorang yang berjalan di belakang

namun tak pernah terlihat bayangannya.

 

2.

Bambu dibelah.

Suara retaknya seperti tulang

yang membuka rahasia lama.

 

Tangan bekerja tanpa suara,

tetapi tanah mendengar

ia bergetar tipis,

seperti menahan sesuatu

yang ingin bangkit.

 

Pukulan kayu menghantam udara,

menciptakan gema yang melompati langit,

membangunkan malam dari ketenangannya.

 

Setiap batang bambu

menyimpan cahaya gelap,

cahaya yang lahir dari doa

dan nyeri masa lalu.

 

 

3.

Tubuh dibersihkan di sungai.

Air meliuk seperti ular bening,

menghapus bayangan yang tak sempat ditebus.

 

Sungkem di pusara leluhur

tanah berdenyut,

bunga jatuh seperti mata kecil

yang mengawasi.

 

Ziarah bukan perjalanan,

tetapi pintu yang mulai retak.

Doa berubah menjadi jembatan yang rapuh,

dan setiap detak jantung

menjadi langkah yang tak terdengar

di antara dua dunia.

 

4.

Gunungan tumpeng dan hasil bumi diarak,

bergetar seperti bukit kecil yang punya napas.

 

Rebana ditabuh

bunyinya seperti memanggil

makhluk yang menunggu di balik kabut.

 

Barzanji melesat ke udara,

menjadi cahaya hitam

yang memantul di dinding-dinding malam.

 

Slametan menjadi tarian panjang,

manusia dan alam terhubung

dalam irama yang tak dipahami,

tetapi dirasakan sampai ke tulang.

 

5.

Masjid Saka Tunggal ditutup malam.

Namun malam itu bukan langit

ia seperti makhluk besar

yang merunduk, mendengar, dan menahan napas.

 

Pengajian mengalir,

ayat naik seperti asap dari dunia bawah.

Tahlil seperti langkah-langkah

yang mendekat pelan dari kejauhan.

 

Adat dan iman

bercumbu dalam bayang,

menciptakan cahaya yang retak

namun hidup.

 

6.

Setiap Rajab, bambu menunggu.

Ia berdiri seperti penjaga

yang tak pernah tidur.

 

Embun jatuh sebagai pesan,

angin membawa nama yang hilang,

dan doa merayap di antara daun

seperti makhluk yang mencari rumahnya.

 

Suara kayu menghantam bumi,

membangunkan sesuatu

yang telah berabad-abad tertidur.

 

Getarnya masuk ke tulang,

ke jantung, ke ketakutan terdalam manusia.

 

7.

Di sela angin,

ada nyanyian yang tidak dimiliki siapa pun.

Bayangan lelaki memanjang,

seperti jalan yang tak berujung.

 

Gunungan bergerak seperti tubuh,

rebana menjadi detak jantung desa,

dan suara bambu

menjadi makhluk yang menari dalam gelap.

 

Perempuan menanak doa,

bukan nasi

dan aroma itu naik

seperti kabut yang tahu rahasia manusia.

 

8.

Malam menebal.

Saka Tunggal berdenyut

seperti jantung bumi yang terluka namun hidup.

 

Doa menancap di udara,

menciptakan lingkaran yang tidak terlihat,

tetapi membentengi jiwa.

 

Setiap Rajab adalah luka yang sama,

dan cahaya bambu adalah obatnya.

Manusia dan alam

menari dengan bayangan mereka sendiri

dan kadang bayangan itu bergerak lebih dulu.

 

9.

Fajar kembali memotong gelap

bukan dengan cahaya,

tetapi dengan suara yang sangat pelan

seperti bisikan dari dunia yang lain.

 

Bayangan bambu menari di sawah,

seperti huruf doa yang belum selesai ditulis.

 

Gunungan tersenyum pada rembulan

yang hampir padam

ada rahasia yang mereka bagi,

rahasia yang hanya dimengerti

oleh tanah dan langit.

 

Kayu, doa, hati

semua menyatu seperti satu tubuh besar

yang sedang mencari arah pulang.

 

Rajab di Masjid Saka Tunggal

bukan ritual

tetapi makhluk yang hidup,

yang menelan waktu,

menyimpan nama,

dan menuntun manusia

kembali ke cahaya yang gelap

dan gelap yang mengandung cahaya.

 

2025

 

 

 

 

BALADA GREBEG SURAN

 

1.

Di antara kabut Baturraden yang turun

seperti tirai teater purba,

gunungan berdiri

diam, tetapi seperti makhluk

yang sedang menahan napasnya sendiri.

Embun Sura menetes dari puncaknya

seperti air mata bumi

yang tak pernah selesai menangisi manusia.

Para lelaki mengangkatnya dengan bahu gemetar,

bukan karena beratnya,

tetapi karena ada suara kecil

yang terdengar dari dalam:

suara biji yang saling memanggil nama leluhur.

 

2.

Kentongan dipukul

duk… dug-dug… duk…

suara itu menabrak batang bambu,

meloncat ke bukit,

kembali ke dada manusia

yang tiba-tiba seperti retak dari dalam.

Gunungan bergerak dalam iringan hadrah,

dan setiap hentakan rebana

membuat bayangan di tanah

seakan hidup dan mengikuti langkah manusia.

Anak-anak yang menonton gemetar

bukan takut,

tetapi seakan mereka sedang melihat

masa lalu mereka sendiri.

 

3.

Dua malam sebelum Suran,

pusaka dibuka dari selubungnya.

Cahaya kecil keluar dari ujung keris

seperti lidah yang hendak berbicara.

Penjamas membasuhnya dengan air kembang,

tapi air itu justru bergerak sendiri,

naik ke permukaan,

seakan ingin menyentuh langit-langit pendapa.

Wayang kulit dimainkan,

dan ketika tokoh pertama muncul,

bayangannya tiba-tiba memanjang

hingga menembus atap rumah

seolah ruhnya tidak rela hanya hidup dalam kulit lembu.

 

4.

Arak-arakan memasuki desa.

Gunungan diturunkan di tengah halaman

dengan cara seperti manusia menurunkan jenazah

yang belum tentu mati.

Tumpeng roboh,

buah-buahan berguling,

dan daun-daun jati berputar

seakan sedang menari memanggil angin.

Tangan-tangan meraih berkah

dengan gerak yang setengah pasrah — setengah takut,

karena siapa pun tahu

bahwa benda-benda itu

kadang lebih hidup daripada manusia yang memakannya.

 

5.

Anak-anak pecah dalam tawa,

tapi tawa itu memantul ke lembah

seperti suara dari dunia lain.

Perempuan mengisi piring

dengan gerakan yang anehnya seperti ritual penyembuhan,

seolah setiap suapan yang mereka siapkan

bisa menambal hati yang baru saja patah.

Para tetua duduk membungkuk,

meraba jarinya sendiri,

karena mereka merasakan sesuatu lewat pori-pori:

nama kakek-nenek mereka

berjalan melewati kulit mereka

menuju dada.

 

6.

Obor dinyalakan.

Cahaya pertama langsung membuat

gunungan tampak seperti gunung sungguhan.

Api menari liar,

sesekali seperti membentuk wajah,

kemudian lenyap

tak ada yang berani menyebutkannya.

Dupa naik,

menganyam malam

seperti jaring yang ingin menangkap

seluruh isi langit.

Langkah manusia menjadi ritme panjang

yang terdengar seperti:

“Allaaah… Allaaah…”

meski tidak seorang pun mengucapkan apa pun.

 

 

7.

Fajar Sura datang tanpa suara.

Gunungan tersenyum

atau tampak seperti itu

ketika embun memantulkan cahaya.

Sawah-sawah membalasnya dengan gemuruh kecil,

dan angin turun seperti sedang mencari seseorang.

Doa keselamatan mengalir

dari mulut orang-orang yang terbangun,

mengalir ke sungai,

ke lereng,

dan kembali ke tubuh mereka sendiri

seperti sungai yang tahu jalan pulang.

 

8.

Malam turun lagi.

Tidak ada manusia yang menggerakkan musik,

tetapi musik tetap terdengar,

pelan,

dari balik pepohonan.

Gunungan tinggal bayangan raksasa

yang bergerak sedikit

meski angin tidak lewat.

Orang-orang pulang dengan langkah berat

bukan karena lelah,

tetapi karena ada sebagian doa mereka

yang tertinggal di tanah

dan enggan dilepas oleh bumi.

 

9.

Sura tidak selesai.

Ia masuk ke celah kuku,

ke bau rambut,

ke lipatan baju yang tidak dicuci seminggu.

Ia mengendap di napas,

di dada,

di malam-malam ketika manusia tiba-tiba terbangun

karena merasa ada yang memanggilnya.

Grebeg Suran adalah perjalanan pulang

yang tidak pernah selesai

ritual yang menolak mati,

doa yang terus berkelana

mencari tubuh untuk disinggahi,

dan akhirnya menemukan

rumah kecil yang bernama

manusia.

 

2025

 

 

 

 

BALADA SLAMETAN BANYUMASAN

 

Senja turun tergesa, menumpahkan warna

pada halaman yang masih bau kapur dan daun jati.

Tikar digelar terlalu cepat; debu naik sedikit,

seperti roh kecil yang ingin mengintip dari sela lantai.

Perempuan di dapur memotong tempe

dengan gerakan yang tampak diwariskan nenek moyang

pelan, sakral, tidak tergesa,

seakan ia sedang menyelamatkan sesuatu

yang rapuh dari dalam hidupnya.

Lelaki duduk, melipat lutut dengan pasrah,

sementara lampu teplok menunduk

seakan paham doa akan segera mencari rumahnya.

 

Baki berkat ditutup daun jati basah embun,

dan aroma kayu masuk dari pintu depan

seolah membawa berita tentang orang-orang

yang pernah duduk di tikar yang sama.

Anak-anak mengintip,

matanya bulat seperti pertanyaan yang belum lahir.

Para tetua menarik sarung,

mengusap dada,

mencoba menenangkan sesuatu di dalam mereka

yang sejak siang tadi bergolak diam-diam.

Udara seperti menahan napas

menunggu kata pertama dilisankan.

 

Begitu “laa ilaha illallaah…” dilesatkan ke udara,

rumah itu memanjang perlahan menuju langit,

tiang-tiang kayunya berdetak

seakan mendengar rahasia asal-usul manusia.

Tanah di bawah kaki bergetar tipis

bukan gempa,

melainkan rindu yang pulang dari jauh,

membawa jejak arwah yang pernah tinggal di tubuh ini.

Ayat-ayat turun satu-satu,

dingin seperti hujan pertama di ladang kering,

dan wajah-wajah yang menunduk

disentuh cahaya kecil

yang menghidupkan kembali nama ibu,

nama bapak,

nama-nama yang tak pernah mati

meski hanya tersisa sebagai bisikan di ruang dada.

 

Slametan tidak menyalakan obor;

orang-orang yang merunduk itu sudah cukup terang.

Piring kecil bergetar

bukan karena angin,

melainkan karena seseorang di pojok

menahan tangis yang tak ingin ia sebut namanya.

Doa memanjat dinding kayu,

menyelinap lewat celah jendela,

mengunjungi kebun singkong,

menyentuh atap seng,

lalu kembali turun

untuk bersandar di bahu siapa saja

yang sedang merelakan lukanya menjadi tanah.

 

Berkat dibuka perlahan:

ketupat lembut, sambal teri yang menghentak,

jenang yang menyalakan ingatan lama.

Setiap rasa adalah peristiwa,

setiap gigitan membawa wajah yang pernah dipeluk

tetapi kini hanya hidup di ruang ingatan paling sunyi.

Anak-anak tertawa keras,

dan justru dari tawa itu

orang dewasa bisa menaruh beban

yang mereka pikul sepanjang hari

walau hanya sekejap,

walau hanya senipis embun.

 

Para lelaki bangkit pelan,

seperti tanah baru selesai mengajarkan mereka sabar.

Perempuan menata baki kosong

dengan gumam syukur

yang terdengar lebih jujur

daripada doa panjang yang barusan dilantunkan.

Kursi bambu digeser,

mengeluarkan suara kecil

yang entah kenapa terdengar seperti musik,

mengajari manusia

bahwa Tuhan pun mendengar

suara yang tidak disengaja.

 

Malam menempel di jendela,

lampu teplok mengerjap seperti mata sepuh

yang masih ingin menjaga garis nasabnya.

Doa terakhir turun pelan,

mengunci pintu takdir dengan lembut,

dan halaman mendesah lega

seperti seseorang yang baru selesai mengakui

kesedihannya.

Satu per satu orang pulang,

membawa remah doa

yang menempel di jari-jari mereka,

seperti tanah yang ikut ingin diajak pulang.

 

Slametan tidak pergi bersama langkah kaki.

Ia menetap di dada,

seperti bara kecil yang tak mau padam.

Anak kecil tertidur

memeluk kotak berkat

lebih erat daripada bonekanya sendiri.

Para tetua duduk di beranda

dengan senyum yang hanya dimiliki

oleh mereka yang sudah berdamai

dengan kehilangan.

 

Dan ketika lampu teplok hampir padam,

angin lewat sekali,

mengangkat daun jati yang tertinggal di lantai.

Tidak ada yang melihatnya,

tetapi cukup bagi slametan

untuk menutup dirinya sendiri,

seperti kitab tua

yang menyimpan umur Banyumas

di sela halaman yang harum tanah.

 

2025

 

 

 

 

BALADA ANGGUK BANYUMASAN

 

Rebana pertama yang disentuh malam

bergetar seperti hati yang baru bangun:

bunyi tipisnya menggeser kabut,

membuka lorong kecil

tempat para penari muncul

dengan wajah yang membawa ingatan jauh

dari desa-desa yang tak tercatat peta.

 

Di tangan para pemanggul wirid,

rebana menjadi penunjuk jalan,

setiap “dhum” adalah langkah turun dari langit,

setiap “tak” adalah seruan halus

yang menabrak dada penari

hingga kepala mereka mengangguk

seakan menyetujui sesuatu

yang hanya dipahami diam.

 

Malam menahan napasnya.

Rebana kedua menyusul,

mengirimkan gelombang yang merambat

melalui lutut, pinggang, tengkuk penari;

gelombang yang tiba-tiba

membuat tanah mendekat ke tubuh mereka,

seakan bumi ingin mendengar

apa yang dibisikkan di dalam getarannya.

 

Ketika rebana ketiga menyala,

para penari tak lagi menari,

mereka seperti berjalan di dalam mimpi

yang diciptakan oleh suara:

mimpi di mana gerak menjadi doa,

dan anggukan adalah kunci

yang membuka ruang paling sunyi

di balik tulang rusuk.

 

Satu tubuh terhuyung.

Rebana memukul dirinya ke dalamnya,

membangkitkan zikir yang tersimpan

di celah-celah napasnya.

Ia rebah tanpa luka,

namun wajahnya terang

seperti seseorang baru melihat

pintu yang selama ini ia cari.

 

Penonton tidak bersuara.

Malam merapat lebih dekat,

mengintip dari celah bambu

bagaimana rebana keempat

menarik garis tipis dari tanah ke langit,

garis yang harus dilalui penari

dengan langkah genting,

karena sekali saja mereka ragu,

cahaya itu akan mengecil

dan lenyap seperti nyala terakhir lampu minyak.

 

Irama menguat: dhumtak… dhumtak… dhum

Dan kini rebana berubah menjadi angin,

mengelilingi tubuh-tubuh itu

seperti sesuatu yang menjaga

dan menguji sekaligus.

Sorbannya melayang,

mata penari berkaca,

dan debu terangkat

seakan ikut menziarahi suara.

 

Saat puncak tiba,

rebana berhenti sekejap,

hening itu panjang,

lebih panjang dari hitungan manusia.

Lalu satu dentum baru lahir

seperti kelahiran pertama dunia:

menerangi wajah para penari

yang mendongak

seakan mendengar salam

yang turun dari ketinggian yang lain.

 

Maka Angguk malam itu

menjadi kitab tanpa huruf,

dan rebanalah penafsirnya.

Dari awal hingga akhir,

rebana tidak hanya dibunyikan,

ia adalah saksi yang membimbing

pengembaraan para penari

menuju ruang di mana tunduk

adalah bahasa,

dan anggukan adalah kunci rahasia.

 

Dan setelah semua usai,

rebana diletakkan perlahan.

Debu turun kembali ke tanah,

lampu petromaks berkerlip kecil,

 

 

dan semesta menutup diri

seperti doa yang baru saja

menemukan tempatnya.

 

2025

 

 

*Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur.  Wachid lulus Sarjana Sastra dan Magister Humaniora di UGM, kemudian lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. Abdul Wachid B.S. menjadi Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto. Buku terbarunya : Kumpulan Sajak  Nun (2018), Bunga Rampai Esai Sastra Pencerahan (2019), Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus: Keindahan Islam dan Keindonesiaan (2020), Kumpulan Sajak Biyanglala (2020), Kumpulan Sajak Jalan Malam (2021), Kumpulan Sajak Penyair Cinta (2022), Kumpulan Sajak Wasilah Sejoli (2022), Kumpulan Sajak Kubah Hijau (2023), Sekumpulan Esai Sastra Hikmah (2024), Buku Puisi Balada Kisah untuk Anak Cucu (2025). Melalui buku Sastra Pencerahan, Abdul Wachid B.S. menerima penghargaan Majelis Sastrawan Asia Tenggara (Mastera) sebagai karya tulis terbaik kategori pemikiran sastra, pada 7 Oktober 2021 (tepat di ulang tahunnya yang ke-55).