Hikayat Perupa dalam Sinema # 7: Hiruk-pikuk Maestro Nadera, dan Kisah “Jero Makendang” yang Malang
Oleh Agus Dermawan T.*
Ada satu lukisan yang berlari ke sana ke mari mencari posisi. Namun drama nasib membuat lukisan itu merana. Apa benar lukisan Beratha Yasa punya suratan takdir? Percaya nggak percaya. Ada pula perupa yang hidupnya seperti komedi, namun namanya menjulang tinggi. I Gusti Bagus Made Nadera namanya.
————
Kesialan “Jero Makendang”
PADA suatu siang tahun 2018 melayanglah sesampul surat I Wayan Beratha Yasa. Ia adalah jurnalis pariwisata sekaligus pelukis yang menempuh pendidikan di Universitas Udayana, Bali. Pria kelahiran Badung tahun 1944 ini adalah penerima Penghargaan Seni Kerta Budaya, serta Penghargaan Seni Dharma Kusuma dari Gubernur Bali.
Melihat pekerjaan dan reputasinya, semua orang meyakini apa yang terselip di dalam amplop besar itu ada hal-hal yang menarik. Ternyata tak keliru. Dalam belasan halaman ia menuliskan sejumlah pengalamannya sebagai pelukis, dari yang sedkkit manis sampai yang banyak pahit.
Yang tertulis di bawah ini adalah kisah perjuangannya sebagai seniman “medioker”kala berusaha jadi seniman level utama.
Syahdan pada 2009, Yan – begitu panggilan I Wayan Beratha Yasa – tertarik untuk melukis Ir. Jero Wacik, SE. Inspirasi melukis timbul karena Yan melihat Jero main kendang atau makendang, mengiringi taris baris, yang ditayangkan salah satu TV lokal. Saat itu Jero Wacik sebagai Menbudpar (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata), yang dijabat sejak 2004. Yan menganggap Jero – yang seniman – sangat cocok memimpin kementerian itu. Maka ia pun melukis Jero dengan serius, di atas kanvas berukuran 75 x 65 sentimeter, dengan bahan cat minyak. Di situ Jero digambarkan makendang dengan latar tari barong dan tari baris.

I Wayan Beratha Yasa alias Yan, dalam satu tayangan video. (Sumber: SegaraArt)
Tapi, di samping alasan kekaguman atas kemampuan berkesenian Jero, ada alasan sampiran sehingga Yan melukis Jero Wacik.
“Terus terang saya juga bermaksud memperkenalkan diri saya sebagai pelukis, selain juga sebagai wartawan tabloid BTN atau Bali Travel News. Apalagi Pak Jero sering hadir pada acara yang THK (Tri Hita Karana) Awards yang diselenggarakan Made Berata Ashrama, pimpinan tabloid BTN, tempat saya bekerja,“ tulis Yan.
Pada tahun 2009 acara THK diadakan lagi. Menurut rencana, lukisan “Jero Makendang” itu akan diserahkan sebagai kenang-kenangan oleh Pimpinan BTN di sela-sela acara penyerahan THK Awards. Tapi, apa pasal, acara THK dibatalkan lantaran Made Berata Ashrama mendadak meninggal dunia. Dengan begitu acara penyerahan lukisan juga tidak terjadi. Namun Yan tetap ingin menyerahkan lukisan itu kepada Jero sang Menbudpar, pada kemudian hari, Begitu rencana penyerahan rapi tersusun, eh, Jero mendadak dialihtugaskan sebagai Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral). Yan mengurungkan niat. Dan lukisan pun disimpan di rumah.
Namun pada minggu-minggu selanjutnya Yan berpikir untuk menyerahkan lukisan itu secara langsung ke rumah Jero di daerah Batur. Dalam bayangannya, ketika Jero pulang dari Jakarta ke Batur, lukisan itu bisa dilihat dan kemudian secara resmi diterima.
Di Batur, menurut protokol yang sudah tersusun, lukisan bakal diterima Gede Pitana, staf Jero. Namun sebelum lukisan diserahkan, Yan harus menyampaikan foto lukisan dan biodata dirinya kepada Gede. Dan Gede lantas menyampaikan foto lukisan dan biodata itu ke Jero di Jakarta. Beberapa hari kemudian Gede mengabari Yan bahwa Jero akan menerima lukisan itu kapan-kapan, dengan seremoni kecil penyerahan. Yan diminta bersabar menunggu.
Sambil menunggu kabar lanjut, Yan bersama keponakan berangkat dari rumahnya di Desa Kapal menuju ke kediaman Jero di Batur, yang berjarak sekitar 57 kilometer, pada Mei 2010. Lukisan dibawa dalam bungkusan rapi. Maka di Batur lukisan pun diterima dengan senang hati oleh Nyoman Kumpul, keluarga Jero. Tapi, sambil menerima, Kumpul mengatakan bahwa ketika pulang ke Bali, Jero nyaris tidak singgah di rumah itu, karena selalu memilih tinggal di hotel. Apabila tidak di hotel, Jero sekali waktu tinggal di rumahnya yang lain, di Taman Griya, Jimbaran, Kuta Selatan. Maka beberapa hari kemudian lukisan “Jero Makendang” Yan tersebut diboyong oleh keluarga Jero ke Taman Griya.

I Wayan Beratha Yasa sedang berpameran di sepanjang gang menuju rumahnya. (Sumber: Antara News, Bali)
Lima bulan sudah berjalan, Yan ingin tahu nasib lukisannya. Bersamaan dengan itu ia ingin melihat rumah Jero Wacik di Taman Griya. Yan pun berangkat ke sana pada akhir September 2010. Di situ Yan berjumpa dengan Gede Notes selaku tuan rumah. Lukisan tersebut terlihat dipajang di lantai dua rumah mewah itu. Yan lega.
Beberapa hari kemudian Yan berkontak lewat telpon dengan Gede Notes, menanyakan bagaimana tanggapan Jero atas lukisan itu. Gede Notes mengatakan bahwa belakangan Jero tak pernah mampir ke rumah Taman Griya. Karena sang menteri memilih tidur di hotel. Dengan begitu berarti Jero tidak akan pernah melihat lukisan Yan. Atas kabar itu Yan tentu saja jengkel. Lalu lukisan pun dengan berat hati dibawanya pulang.

Pelukis I Wayan Beratha Yasa alias Yan sedang melukis. (Sumber: Henny Handayani, Bali Art Catalogue)
Di lain setting, alkisah Yan kenal dengan Agung Mastika, Kepala Bagian Humas PLN (Perusahaan Listrik Negara) Wilayah Bali. Agung tahu bahwa Yan melukis Jero. Agung lalu mengabarkan bahwa pada 12 Mei 2012 akan ada acara pertemuan antara warga Batur dengan Jero Wacik di Museum Geopark Gunung Batur, di Penelokan, Kintamani. Pertemuan itu disponsori oleh PLN. Yan ditawari, bagaimana apabila lukisan “Jero Makendang” diserahkan di sela-sela acara sebagai tanda terimakasih dari PLN. Maksud baik Agung Mastika diterima Yan dengan antusias. Yan pun menggotong lukisannya ke Gedung Geopark Gunung Batur.
“Saya memang yakin Pak Jero akan menerima lukisan itu dengan gembira!” kata Yan.
Acara penyerahan sudah dirancang secara khusus oleh protokol. Yakni dilakukan pada saat istirahat makan siang.
Tapi acara itu mendadak batal, lantaran begitu selesai lunch Jero dan rombongan langsung ngeloyor meninggalkan ruang makan, tempat lukisan sudah disiapkan. Yan melongo melihat keadaan.
“Rasanya, saya sangat kasihan terhadap diri sendiri, dan terhadap lukisan itu,” kata Yan.
Yan dan Agung Mastika lantas didekati oleh ajudan Jero Wacik. Si ajudan menyatakan mohon maaf karena Jero tidak berkenan menerima lukisan itu. Alasannya: karena di situ banyak wartawan. Sehingga kawatir lukisan itu dianggap gratifikasi. Dikatakannya bahwa Jero berjanji akan menerima lukisan itu secara pribadi, nanti pada suatu kali. Yan agak memerah wajahnya, gusar dan kecewa bukan main.
Yan lalu membawa pulang lagi lukisan itu, untuk kemudian dititipkan di Museum Geopark, di bawah pengawasan Kepala Museum, Ibu Desak.
Tujuh bulan kemudian, November 2012, Desak mendadak berinisiatif mengirimkan lukisan itu lewat jasa paket ke tempat tinggal Jero Wacik di Jakarta. Yan kecewa, karena Desak tidak berkonsultasi dulu dengan dirinya. Setelah kekecewaan itu, kenyataan pahit kembali didapat. Menurut Desak, setelah tiba di kediaman Jero di Jakarta lukisan itu ditolak oleh penjaga rumah, karena Jero dianggap tidak pernah memesan lukisan. Maka lukisan pun dikirim balik ke Bali, ke alamat rumah Desak di Kota Bangli.
Lalu plesetan lagu Cucak Rowo pun berdengung di telinga Yan.
Kucoba coba melempar duren
duren kulempar, mangga melesat
Kucoba beri lukisan keren
Lukisan ditolak, luka kudapat…..
Heeeiit!, pengembaraan lukisan belum selesai, lho. Atas bantuan Wayan Merta Joni, yang tercatat sebagai Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bangli, lukisan “Jero Makendang” diambil dari rumah Desak. Lukisan malang itu lantas diajak “istirahat” beberapa waktu di rumah Merta. Tapi, mungkin karena mendadak terbebani oleh tanggungjawab menyimpan lukisan, Merta berubah pikiran: menyarankan agar lukisan itu diserahkan kembali ke rumah Jero Wacik di Batur. Anehnya Yan oke saja. Sehingga bersama Merta ia serahkan lukisan itu, dan kembali diterima dengan baik oleh keluarga Jero.
“Secara material saya sama sekali tak mengharap apa-apa dari Jero Wacik. Karena lukisan itu saya bikin untuk hadiah!” kata Yan. Meskipun dalam hati ia berkata: “Apabila lukisan saya dikoleksi Jero Wacik, daftar kolektor prestisius dalam porto folio saya akan bertambah. Saya akan lebih populer.”
Akhirnya lukisan itu terpajang di rumah Jero. Happy ending! Walaupun Jero Wacik ternyata tak pernah melihat lukisan itu. Karena belum sampai sang Menteri balik ke rumahnya di Batur, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah menangkapnya. Jero Wacik dituduh korupsi dan masuk bui.
Ooooo, betapa malang nasib lukisan “Jero Makendang”! *
Referensi:
- Surat panjang I Wayan Beratha Yasa kepada saya, tertanggal 17 Agustus 2018.
- Seniman Wayan Beratha Yasa Pameran Lukisan di Rumahnya, Antara News, Bali, 20 Juli 2017.
- Percakapan dengan I Wayan Beratha Yasa.
——–
Hiruk-pikuk Maestro Nadera
IDA Bagus Made Nadera sejak tahun 1950-an disebut sebagai pelukis besar Bali. Ia setara dengan Ida Bagus Made Widja dan Ida Bagus Made Poleng. Atas reputasinya yang hebat, pada 1988 Nadera mendapat hadiah Wija Kusuma dari Kabupaten Gianyar. Juga memperoleh anugerah seni Dharma Kusuma dari Pemerintah Daerah Bali.
Namun setunggi-tingginya diangkat, Nadera tetap tidak tahu siapa dirinya.
“Saya ini ‘kan orang yang tidak tahu apa-apa, dan ikut-ikutan saja. Kalau ada yang ngajak saya masuk sumur, saya kecebur sumur. Bila ada yang ngajak ke langit, saya naik ke langit,” katanya.
Apa yang ia katakan ada benarnya. Bahkan ia tidak tahu kapan tahun kelahirannya. Apalagi tanggal dan bulannya.

Ida Bagus Made Nadera
Nadera berasal dari Banjar Tegallinggah, Desa Bedahulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Ada yang menganggap Nadera lahir 1908. Beberapa tetangga mengatakan 1910. Sejumlah familinya menyebut kira-kira 1913. Ada yang meyakini ia lahir tahun 1915. Teman sepermainannya mengatakan bahwa Nadera lahir dalam masa Perang Dunia II, 1914 sampai 1918. Atas berbagai tahun itu Nadera cenderung memilih tahun 1910 atau 1915. Itu pun, katanya, kalau menghitung umur, harus dikurangi 5. Lho, mengapa begitu? Nanti ada kisahnya.
Atas kekacauan tahun lahir ini ia minta dimaklumi, karena catatan kelahiran orang-orang Bali pada zamannya cuma dituliskan di sebatang tiang rumah. Sehingga ketika rumah itu direnovasi, catatan tersebut bisa aus atau hilang dari pandangan. Bahkan tak kecil kemungkinan “tiang akta kelahiran” itu keluar terpental, ketika rumah itu direnovasi total.
Nadera menempuh pendidikan hanya sampai kelas dua sekolah rakyat. Lantaran pendidikannya minim, ia tak bisa bekerja di mana-mana, sehingga setiap harinya cuma luntang-lantung saja. Namun sahabat ayahnya melihat Nadera berpotens sebagai anak rajin. Sehingga Nadera pun diajak bekerja sebagai office boy, atau “juru mereresik ring kantor” di Kantor Distrik di Blahbatuh. Di sela-sela waktu mereresik kantor ia melukis di kertas. Lantaran dianggap berbakat, ia lantas diminta untuk bekerja sebagai “asisten” seorang guru seni di Sekolah Rakyat di Desa Buruan.
Tetapi tugas ini tidak berlangsung lama lantaran sang guru tiba-tiba dialihtugaskan sebagai pemungut pajak, yang di Bali disebut tigasana atau sedahan. Lucunya, Nadera juga ikut jadi pemungut pajak. Pekerjaannya sebagai guru seni pun ditinggalkan.
Ketika bekerja sebagai pemungut pajak, Nadera berjumpa dengan teman sepantarannya yang bekerja sebagai pengrajin perangkat upacara. Ia pun ingin jadi pengrajin, dan pekerjaan sebagai sedahan ditinggalkan Tapi itu pun tak lama. Karena ia mendadak bertemu dengan sahabat yang khusyuk belajar membaca kitab-kitab kuno agama Hindu dalam bahasa Kawi. Nadera tertarik. Pekerjaan sebagai pengrajin pun disisihkan. Kitab kuno ia dalami sampai ahli.
“Saya akan jadi ahli kitab Kakawin,” katanya.

Kitab-kitab lontar koleksi Ida Bagus Made Nadera. (Sumber: Agus Dermawan T)
Tapi hasratnya lagi-lagi berubah ketika pada tahun 1936 ia mendengar ada kelompok seni lukis Pita Maha di Ubud. Nadera segera bergabung. Di Pita Maha Nadera menemukan jalan sejati karirnya. Sehingga Rudolf Bonnet dan Walter Spies, pendiri organisasi itu, menugasi Nadera melukis di atas kanvas sepanjang sembilan yard, atau sekitar delapan meter. Sebuah karya yang sampai sekarang dianggap terpanjang dalam sejarah seni lukis tradisional Bali. Tugas ini dijalani dengan sukses. Nadera lalu diminta jadi guru di perkumpulan itu.
Kehidupan ala kutu loncat Nadera memang seru. Dan keseruan itu juga tergambar dalam hikayat perkawinannya. Pada tahun 1942 ia menikah dengan Ida Ayu Made Pangga. Berlangsung sebentar dan bercerai. Kemudian menikah lagi dengan Ida Ayu Alit. Perkawinan ini awet sehingga membuahkan tujuh anak. Belum puas, ia lalu memungut Ida Ayu Oka sebagai isteri ketiga, dan dikaruniai seorang putra. Mungkin terlalu bahagia, Nadera lantas menyunting isteri keempat, Ida Ayu Candri.
Selanjutnya, mungkin empat dianggap bukan angka baik, maka ia membulatkan menjadi lima. Lalu dilangsungkanlah perkawinannya yang ke lima, dengan Desak Rai. Percaya nggak percaya, semua perkawinan tambahan itu dihadiri oleh para isteri lamanya. Bahkan oleh Ida Ayu Made Pangga, yang sudah bercerai.
Namun tak cuma kebahagiaan berkawin-kawin yang mendatangi nasib Nadera. Kemalangan juga pernah datang beruntun-runtun.
Pada tahun 1941 ayah Nadera wafat. Ia sedih bukan main. Tahun 1942, guru yang sangat ia hormati, Walter Spies, tewas dalam kapal Van Imhoff yang dibom oleh Jepang di Selat Makassar. Tahun 1943 ibunda Nadera juga tutup usia. Tahun 1944, lukisan adikaryanya yang berpanjang sembilan yard itu, mendadak hilang tak diketahui rimbanya. Tahun 1945, pasca Indonesia Merdeka, Rudolf Bonnet, sahabat yang paling dia cintai, diusir dari Indonesia, dan pulang ke Belanda.
“Itu limang warsa peteng (lima tahun yang gelap) bagi saya. Karena itu, tahun-tahun tersebut tak pernah saya hitung dalam kehidupan saya. Sehingga, untuk hitungan usia selalu saya kurangi lima…”

Ida Bagus Made Nadera sedang dilukis oleh Tedja Suminar. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Lukisan-lukisan Nadera apik, magistik, ekspresif, dan surealistik. Meski menghadirkan atmosfer seni lukis Ubud, gaya lukisan Nadera dianggap beda dengan lukisan Ubud kebanyakan. Kolektornya tersebar di seluruh dunia. Presiden Sukarno juga menggemari, sehingga beberapa lukisan Nadera terpajang di Istana Kepresidenan.
Nadera termasuk pelukis yang sabar dan bergembira-ria. Namun pada suatu kali ia mendadak marah.
Syahdan pada menjelang 1990 pasar seni lukis ciptaan maestro Bali tradisional mulai menggeliat. Lukisan para pelukis Bali yang ada dalam buku LPKPS (Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno) menjadi parameter. Maka nama Nadera termasuk banyak diburu.
Namun sayangnya, nama Nadera dalam kitab besar itu hanya tertulis “Ida Bagus Made” saja, tanpa “Nadera”. Sementara dalam khasanah seni lukis maestro Bali tradisional, terkenal nama Ida Bagus Made Poleng, yang dalam buku LPKPS juga tertulis Ida Bagus Made saja. Sedangkan publik menengarai, kepopuleran Ida Bagus Made Poleng (yang eksentrik) jauh lebih moncer. Maka publik pun mengira bahwa lukisan Nadera dalam buku LPKPS itu adalah lukisan Poleng. Pasar pun ramai-ramai mendatangi Poleng.
“Ini kesalahan Negara yang bikin rugi. Nama saya ditulis tidak lengkap, sehingga menguntungkan Poleng. Judul lukisan saya dalam buku itu, yang ditulis Tarian Bali, juga keliru. Saya tidak terima,” kata seniman yang mengoleksi amat banyak kitab lontar ini.
Padahal, kata Nadera lanjut, “Kecintaan Presiden Sukarno atas lukisan tradisional Bali berawal dari melihat lukisan saya, lewat fotografi Dronkers yang dimuat dalam buku Bali-Atlas Kebudayaan tahun 1953.”
Untuk menuntaskan kejengkelan, pada tahun 1990 Ida Bagus Made Nadera mencipta lukisan berjudul “Sunda Upasunda”. Lukisan yang persis dengan lukisan “Tarian Bali” karyanya yang ada dalam koleksi Presiden Sukarno. Di satu sisi lukisan itu ia menulis: “Koleksi Presiden Sukarno.”
Lukisan ini lantas populer di mata kolektor yang datang ke rumahnya. Banyak yang mau membeli dengan harga berapa saja. Namun Nadera tidak mau menjual. “Saya akan melepas lukisan ini, apabila Presiden Sukarno mengijinkan,” katanya. Padahal Sukarno telah wafat tahun 1970.
Pada kurun ini Nadera juga menyarankan agar pelukis Bali yang bernama awal “Ida Bagus Made” agar disebut dan ditulis nama panggilan subyeknya saja. Misalnya Ida Bagus Made Togog, dipanggil Togog saja. Karena “Ida Bagus Made“ hanyalah sebutan yang merujuk kepada kasta dan sistem penamaan keluarga. Nadera pun merunut nama-nama pelukis terkenal yang ber“Ida Bagus Made” itu.
Ida Bagus Made Tibah, Ida Bagus Made Tantera, Ida Bagus Made Djatasura, Ida Bagus Made Lanus, Ida Bagus Made Bala, Ida Bagus Made Raka, Ida Bagus Made Dupam, Ida Bagus Made Mawar, Ida Bagus Made Putra, dan seterusnya.
Dan memang, hampir semua pelukis itu punya panggilan: Made!

Bagian dari lukisan Ida Bagus Made Nadera. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Nadera tutup usia pada September 1998, dalam insiden jalan raya. Kala itu ia sedang mengiringi seorang pegawainya yang sedang mengantar lukisannya ke galeri. Lukisan itu ditenteng di sepeda motor. Sementara Nadera yang sudah sangat tua (dikurangi 5 tahun), dengan dibonceng sepeda motor oleh familinya, mengiringi dari belakang. Pada suatu momen ia melihat dari kejauhan lukisan di sepeda motor pegawainya terposisi miring, dan beresiko terjatuh atau kabur di bawa angin. Motor Nadera berusaha mengejar pegawainya untuk memberi tahu itu. Namun motornya meliuk-liuk dan selip. Ia terjatuh di jalan raya. Kepalanya terhempas ke aspal. Nadera, pelukis yang heboh itu, pergi untuk selamanya.
Dengan berkisah tentang Ida Bagus Made Nadera, sinema berkesempatan menelusuk kehidupan sudut desa dan kampung Bali seabad lalu sampai 1990. ***
Buku acuan pilihan:
- Profil Seniman Gianyar, Humas Kabupaten Daerah Tingkat II, Gianyar, Bali,1996.
- Ida Bagus Made Nadera, A Balinese Painter of Pita Maha, Agus Dermawan T, ARMA – Agung Rai Museum of Art, Ubud, Bali, 2008.
- Pita Maha: Gerakan Seni Lukis Bali 1930-an, Wayan Kun Adnyana, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2018.
- Pengantar Koleksi Museum Neka, Yayasan Dharma Seni Museum Neka, Ubud, Bali, 1992.
- Modern Indonesia Art, From Raden Saleh to Present Day, Koes Karnadi (ed), Koes Art Books, Denpasar, Bali, 2010. – Percakapan dengan Ida Bagus Made Nadera, sejak 1973.
*Agus Dermawan T. Pengamat seni. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana-istana Presiden RI.





