Wayang
Oleh Mudji Sutrisno SJ*
1. Asal Usul Wayang
Yang dimaksud ‘wayang purwa’: pertunjukan wayang yang ceritanya bersumber pada Mahabarata dan Ramayana (Cfr. Ir. Sri Mulyono, Wayang, Gunung Agung, Jakarta, 1978, hal.5). Tentang wayang dipakai dasar berpijak:
- Disertasi DR. Godard Arend Johannes Hazeu, 1997 di Leiden berjudul “Bijdrage tot de kennis van het Javaansche tooneel”.
- Tulisan DR. Willem Huibert Rassers 1931, “Over den oorsprong van het Javaansche tooneel”.
- Tulisan Kusumadilaga 1930, “Sastramiruda”; “Mangkunegara” 1931; RMAA Tjakranegara 1906; Ranggawarsita, Pustaka Raja. Cfr. Ir. Sri Mulyono, Wayang, Gunung Agung, Jakarta, 1978, hal.7).
Pertunjukan bayang-bayang Jawa sudah ada sejak ribuan tahun dalam kehidupan Jawa (Rangkum Ir. Sri Mulyono berdasarkan catatan DR. Hazeu, Sri Mulyono, ibid idem, hal.30, Hazeu hal.38). Bahwa dalam prasasti 782 (860 M) oleh Prof. Kern sudah ada istilah ‘juru batata’ atau ‘dalang’ untuk mempertunjukkan bayang-bayang. DR. Cohen Stuart menjelaskan dalam prasasti Kowi Caka 786, ada ‘haringgit-abanyol’: pelawak (Cfr. Ir. Sri Mulyono, Wayang, Gunung Agung, Jakarta, 1978, hal.21). Sejak Airlangga 950 Caka = 1028 M atau abad XI, sudah ada di Kerajaan Kediri pertunjukan bayang-bayang, dengan penulis Tantu Pagelaran mengenai asal usulnya yang diperkirakan saat para dewa turun ke bumi (Cfr. Ir. Sri Mulyono, Wayang, Gunung Agung, Jakarta, 1978, hal.21). Menurut DR. Brandes, wayang sudah dikenal orang Jawa sejak tahun 700 Caka, 778 M.
Ir. Sri Mulyono membagi tarikh wayang jadi 5 zaman, yaitu:
- Zaman prasejarah.
- Zaman kedatangan Hindu.
- Zaman kedatangan Islam.
- Zaman Penjajahan.
- Zaman Merdeka.
(Cfr. Ir. Sri Mulyono, Wayang, Gunung Agung, Jakarta, 1978, hal.40-41).
Cerita atau kisah wayang yang dipahatkan dalam candi adalah sebagai berikut:
- Candi Lara Jonggrang ± 856, memuat kisah Ramayana.
- Candi Prambanan ± 856, memuat kisah Kresna.
- Pemandian Jalatunda ± 977, memuat kisah sayembara Drupadi.
- Gua Selomangleng abad X, memuat kisah Arjuna Wiwaha.
- Candi Jago Tumpang ± 1343, memuat cerita Tantri, Kunjara Karma, Partayana, Arjuna Wiwaha, Kresnayana.
- Gua Pasir Tulungagung ± 1350, memuat Arjuna Wiwaha.
- Pantaran Blitar ± 1197-1454, memuat cerita Sawitri dan Ramayana.
- Tegawangi di Kediri ± 1370, memuat kisah Sudamala, Dimana Sadewa Bersama Punakawan dan Durga.
- Kedaton Gunung Hyang ± 1370 dengan memuat cerita abad XV, kisah Rama, Bima Suci, Mintaraga dan cerita Panji.
- Candi Sukuh ± 1440 M, memuat cerita Sudamala, kisah Gameda, Bima Suci.
(Cfr. Ir. Sri Mulyono, Wayang, Gunung Agung, Jakarta, 1978, hal. 158-159).
2. Mengalami kehidupan dan mensyukurinya adalah oase seni ritual nusantara kultural yang menjadi Indonesia dalam memuliakan, merayakan hidup dan membuatnya terus harmonis, terus indah sehingga semesta terus tetap ayu senantiasa layak untuk dilangsungkan oleh penghuninya. Di Indonesia, ada seni yang telah berlangsung lama dalam merawat kehidupan, memuliakannya yaitu upacara ritual syukur kepada Sang Pencipta. Ada pula seni yang diciptakan sebagai ritus oleh komunitasnya untuk menghormati hidup, sekaligus memohon berkah selamat selama menapaki tahap-tahap kehidupan = mulai dari kelahiran, menjadi anak, dewasa, akil balik, menikah dan kematian sebagai kembalinya manusia ke sumber kehidupannya. Disini ritual yang dihayati adalah wayang kulit. Wayang merupakan visualisasi bayang dan raga boneka dari kulit yang memberi ajaran kebijaksanaan hidup melalui karakter-karakter tokoh-tokohnya dan memberi tuntunan ajaran hidup baik dengan estetika hidup memilih yang baik melalui harmonisasi mengalahkan yang jahat, menata chaos menjadi kosmos untuk estetika guna.
Ada 3 lapisan falsafah Jawa mengenai menghayati kehidupan ini.
Lapisan pertama merupakan pandangan asal mula manusia dalam siklus jagat atau “sangkan Paraning Dumadi” (asal dan tujuan akhir hidup).melalui wayang, orang belajar mencari tuntunan hidupnya, maknanya dengan menonton wayang. Gunungan melambangkan pohon kehidupan. Keindahan warna tokoh-tokoh wayang di depan layar dengan warna merah indah raksasa, warna putih satria dan keindahan tatah kulit berseni diperuntukkan bagi anak-anak sampai remaja dengan mata indrawi anak-anak yang menyukai yang eksotis dari warna-warni wayang kulit di layar depan. Di layar belakang, dibalik lampu minyak bergetar, duduklah para orang tua, para orang dewasa melihat “bayang-bayang” (=wayang) yang dipantulkan layar hitam putih bayangan yang harus ditonton dengan mata hati roh sejatinya manusia. Roh ini suksma manusia dalam wujud bayang-bayang bila mampu menguasai emosi, raganya.
Lapis kedua falsafah jawa memuat acuan laku dan tindakan bijaksana dalam kontrasnya dengan laku jahat yang ditradisikan dalam ajaran hidup memetik buah dari perilakunya sendiri (“ngunduh wohing pakarti”). Dalam siklus semalam pertunjukan wayang kulit untuk ajaran etos hidup ini ditarik tepat setelah tengah malam, ketika perang batin awal antara yang baik dan buruk bertopeng semu sebagai perang semu (perang kembang) godaan harta, kuasa, nikmat diwakili raksasa cakil melawan Arjuna di hutan belantara saat ksatria mencari ilmu kebijaksanaan hidup. Setelah perang semu, terjadilah perang benar-benar dengan dibunuhnya sumber yang jahat oleh ksatria. Dari huru-hara, kacau, chaos lalu ditata kembalilah harmoni semesta dan keselarasan alam dipulihkan dan kehidupan kembali harmonis.
Lapis ketiga falsafah jawa merupakan jalan hening perjalanan menziarahi kebahagiaan hidup yang dikenyam, dihayati batiniah bila manusia sebagai hamba (kawula) menyatu dengan Gustinya (Tuhan Penciptanya) sebagai manunggaling kawula Gusti. Proses ini dihayati dengan rasa (hati yang bermata peka) yang intuitif mengiyakan, menghayati kesatuannya dengan asal dan tujuan hidup. Bersatulah jagat kecil manusia dengan jagat besar. Perjalanan hening batin dan intuitif rasa inilah yang dalam pengalaman estetika wayang dicoba dirumuskan dengan bahasa pengalaman rasa kagunan. Rasa kagunan merupakan penggambaran pengalaman menghayati menonton wayang sekaligus sebagai tontonan dan tuntunan bagi makna hidup dimana secara rasa teralamiah keselarasan irama gamelan pengiring wayang, tampilnya layar sebagai simbol pentas kehidupan dalam cerminan baik-buruk, namun yang baik selalu memuat keburukan sebaliknya yang buruk memuat kebaikan pula. Rasa kekaguman ini adalah rasa hati (terdalam) terhanyut dalam meditasi seakan saling bercermin antara perang wayang sampai harmoninya dengan kehidupan si pirsawan. Raos kagunan aggambar sami keraos kadugining manah, kesengsem nyumerepi lampahaning satunggal gesang” (Wira pustaka, 1914. 251 hal; Millema 1933, hal 101 -132; Hazeu, 1915, 112 hal, “Kawruh Asalipun Wayang”; Nayawirangka III, 1937, “Kawruh Kajejeran”).
3. Wayang ‘Tuntunan’ kah?
3.1. Dalang dan Wayang
Membahas wayang kulit tidak bisa lepas dari pemelaku wayang itu sendiri, serta penentu nuansa yang diberikan di dalamnya. Subjek ini adalah dalang. Sampai kini bisa disepakati adanya dua macam dalang dalam perkembangan pewayangan baik sebagai pentas tontonan maupun corong tuntunan bagi yang mau menikmati wayang sambil merenungkan ajarannya.
Ada yang disebut dalang “sakral” dan ada pula dalang “kontemporer“. Yang pertama lebih tampil sebagai penyaji wayang dengan sengaja memberi tekanan, garis bawah dan nuansa pada falsafah hidup serta ajaran mengenai baik-buruknya tingkah laku hidup manusia. Dalang sakral ini tampil dalam konteks religiositas dan paling jelas sisanya dalam acara dan upacara “ruwatan” demi menjadi perantara rahmat keselamatan bagi yang meminta acara tersebut. Dalang macam ini kini semakin langka.
Menurut seorang pakar wayang, pelindung paguyuban wayang se-Indonesia (Senawangi) yaitu P. Soetopanitra, pada zaman dahulu dalang-dalang sakral ini bermatiraga dahulu serta lelaku sebelum mementaskan wayangnya. Dia merenungi apa yang di balik bayang itu, watak-wataknya, ajarannya, simbolisasinya dengan cara mencernanya lalu menyatukannya ke dalam dirinya dan baru kemudian mengekspresikannya dalam pentas.
Pengekspresian ini berstruktur dan disebut “pakeliran” atau struktur adegan. Untuk dalang sakral struktur pakeliran ini penuh makna simbolis dan religius karena itu pemahamannya pun tidak cukup hanya berdasar penguasaan teknik pertunjukannya. Misalnya, “jejer” atau adegan satriya (ksatria) bisa dipastikan dalam pakeliran akan muncul pk. 24.00 malam: tengah malam. Hal ini ada maknanya. Dalam jagad Jawa, pandangan dunia Jawa, tengah malam dihayati dan dipandang sebagai saat teduhnya teduh, heningnya hening, semuanya lebur dalam keheningan (“sirep babar pisan“). Saat ini angin berhenti mengalir kencang lalu menjadi sepoi nyaris berhenti dan suara menghening. Nah pada saat hening begini (yang dalam jagad Jawa dihayati sebagai suci), ditampilkanlah sang ksatria: sebuah citra jatidiri manusia sempurna. Dia tampil diiringi dan didampingi oleh para punakawan.
Para punakawan ini merupakan gambar pendamping suci, berwajah antara yang ilahi dan manusia, antara ada dan tiada, antara teratur dan kacau, antara buruk dan baik. Wajah luar menampilkan keterbatasan manusia dalam menggambar karya ilahi dalam wujud manusia. Merekalah bapa spiritual umat manusia yang sekaligus pengabdi manusia-manusia luhur. Mereka ini penuntun-penuntun manusia.
Mereka datang dari atas dengan kehendak baik untuk menolong, mendampingi, menghibur, menyegarkan yang layu. Keburukrupaan, kepenyotan wajah dan wujud luar (“wadhag“) mereka mau menunjukkan bahwa mereka ini bukan berasal dari jagad lumrah seperti umumnya manusia. Mereka dimasukkan dalam kelompok ketiga dari pembagian 3 kelompok watak wayang oleh C. Geertz. Kelompok watak pertama: para yang ilahi (dewa-i dengan ketua Bathara Guru dan Durga istrinya). Lalu yang kedua adalah kelompok bangsawan atau ksatria raja. Dibagi dalam dua watak yaitu Pandawa sebagai yang diagungkan dan Kurawa sebagai lawannya. Kemudian menyusul para punakawan sebagai kelompok ketiga, pelindung dan teman perjalanan para Pandawa.
Dalam adegan goro-goro, ukuran kelumrahan dijungkir-balik, ukuran tata krama dibalikkan dengan lelucon bahkan dewa pun bisa dikentuti. Adegan ini merupakan tipe ketiga dari episode-episode struktural yang pokok dalam wayang setelah tipe pertama (wawan bicara antara para bangsawan) dan diplomasi gagal mencapai kata sepakat lalu disusul tipe kedua yaitu perang antara keduanya. Episode goro-goro menjembatani keduanya dalam penampilan cara mengkritik yang sangat khas dalam jagad Jawa.
Namun satu yang selalu menjadi tugas para punawakan ini: agawe seneng, menggembirakan mereka dengan kehadiran dan banyolan sehingga para ksatria tetap tegar dan teguh dalam hidup mencari kebenaran dan memperjuangkan apa yang adil.
Menarik sekali untuk dicatat bahwa munculnya episode goro-goro ini juga tengah malam bersama dengan tampilnya citra manusia luhur. Tetapi lebih menarik lagi untuk mengamati lalu menghayati bahwa pada tengah malam yang hening suci itu, begitu satria dan para punakawan muncul, lawan antagonis dialektis kekuatan lain juga langsung datang mengacau! Jagad hening selalu ditantang, dibuat gonjang-ganjing (kacau) oleh chaos yang berasal dari yang jahat: baik dalam figur-figur raksasa, cakil, Bilung, Togog dan semuanya ini menjadi antek-antek para Kurawa.
Yang hendak ditegaskan dalam alam pikiran di sini adalah bahwa yang hening, tata, suci selalu mendapat tantangan musuh dari yang chaos. Para ksatrialah dengan bantuan para punakawan dan para bijak yang mesti menghadapinya agar tata itu kembali tenteram. Para dalang sakral memahami dan menghayati pandangan-pandangan di balik pakeliran ini. Soal yang langsung muncul: adakah dalam kontemporer juga menghayati yang sama?
Kalau diamati secara cukup jeli, ada beda tajam antara kedua jenis dalang ini dalam memapar wayang di layar. Kecenderungan dalang kontemporer akhir-akhir ini kurang memperhatikan pakeliran.
Hal ini terbukti pada pengaturan kapan episode ksatria dimunculkan berikut goro-goronya menurut sikon (situasi kondisi) dan tergantung pemesan. Bila perlu, demi tujuan pemesan, adegan goro-goro dimajukan. Atau yang paling ekstrem, semuanya mau diisi dengan goro-goro plus pemadatan sari cerita demi pesanan. Oleh karena fenomen kurang perhatian terhadap pakeliran dan pementasan episode berdasar pesanan atau pula seringnya terjadi pemadatan-pemadatan kisah wayang inilah maka disinyalir bahwa wayang memang cenderung menjadi sekadar tontonan. Hal ini masuk akal sebagai kesan lantaran pandangan kosmis dan latar religius sang waktu serta saat hening di baliknya seakan ditinggalkan. Padahal disanalah porsi tuntunan itu mengendam dan berada.
Dalam kupasan di atas tadi, kita bisa melihat bagian mana yang lalu hilang surut (yaitu wayang sebagai tuntunan) dan mana yang lebih menonjol tampil (tontonannya). Apalagi ditambah dengan model dalang yang berpentas sebagai tukang cerita yang mau menggelarkan wayang dari teknik skenario cerita lalu digarap secara teknis pula dengan penguasaan gendhing/lagu pengiring yang cenderung terpaku pada skenario pesanan atau tematis. Kecondongan ini bila tidak dilay ani hati-hati akan mengeringkan wayang dalam bagan teknik pentas tontonan dan melupakan struktur adegan yang mempunyai latar pandangan religius di dalamnya (atau lebih tepat di baliknya). Dalam hal ini lalu kita digelitik oleh satu pertanyaan tajayn: apa bedanya antara dalang dengan sutradara teater atau drama?
3.2. Tema Hidup Oleh Wayang
Sudah kita lihat, tema dasar wayang adalah perang tanding antara yang baik dan jahat, antara yang terang (“padhang“) dan yang gelap (“peteng“). Soalnya adalah mana yang akhirnya menang? Bisakah tata itu setiap kali dikembalikan pada keteraturan meski sekian kali pula, keheningan suci itu selalu diganggu oleh “chaos” lagi dan lagi?
Dalam usaha lebih memahami wayang sebagai tuntunan, dalam jagad Jawa yang dirangkum dengan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, terdapatlah pakeliran tetap yang mau memberitahu siapa saja bahwa dalang jagad ini terdapatlah perang tanding antara kuasa gelap dan kuasa baik. Dalam struktur waktu, bisa kita amati bahwa sebelum fajar menyingsing dalam setiap lakon (dari kata lelaku) wayang, dua pertiga atau 70% perang tanding itu seakan-akan dimenangkan oleh yang jahat, oleh kehendak si titah (ciptaan). Namun yang menarik, setiap lakon pula memberitahu kita bahwa pada akhirnya yang menang selalu kehendak sang Pencipta (yang ilahi). Dan itulah yang terjadi. Demi jelasnya, kita mau mengambil salah satu lakon saja yaitu Parta Krama (perkawinan ksatria penengah Pandawa yang bernama Arjuna atau Parta).
Dalam lakon ini, jejer atau adegan kelir pertama berkisah mengenai Kresna yang bertanya, apakah persiapan perhelatan untuk perkawinan adiknya yaitu Sembadra (Rara Ireng) sudah siap. Menurut pakem pakeliran, Rara Ireng ini pasti akan nikah dengan Raden Arjuna. Dan itulah “karsaning Jawata“: kehendak dari sang Pencipta. Akan tetapi, belum selesai episode pembicaraan (episode pertama), ternyata tiba-tiba datang Baladewa (kakak Kresna sendiri yang notabene berafiliasi dengan Kurawa) yang berniat mau menikahkan Rara Ireng dengan Burisrawa dari kalangan Kurawa. Inilah usaha/kecenderungan ke chaos itu: kehendak si titah yang mau mengacau “karsaning Jawata“.
Kresna ragu lantaran Baladewa adalah saudara tuanya meski ia tahu mana itu yang benar. Maka pemecahan soalnya dilakukan dengan sayembara. Lalu wayang masuk ke episode kedua yaitu sayembara untuk mengadu kekuatan serta kesaktian: yang menang akan mendapatkan si Sembadra atau Rara Ireng. Episode ini menarik karena di sana tampak jelas perang tanding antara yang baik dan yang jahat.
Yang pantas dicatat, pada akhir kisah (setelah melalui berbagai perang tanding antara kehendak titah dalam hal ini disimbolkan oleh si Baladewa dan Burisrawa melawan kehendak yang ilahi bahkan sampai saat agak pagi sebelum fajar), yang menang tetaplah kehendak yang ilahi. Arjuna akhirnya kawin dan mendapatkan Sembadra atau Rara Ireng. Hanya mereka yang menuruti kehendak yang ilahi inilah yang akan terus hidup. Namun juga tertampil jelas betapa selalu ada saja usaha-usaha yang mau menggoncangkan, menggusur kehendak yang ilahi itu dengan kehendak ciptaan. “Liding dongeng“, akhir lakon atau kisah: yang “padhang” (yang baik), yang terang akan menang. Bila ini terjadi maka tata dunia tenteram kembali.
Dalam lakon ini, kembali para punakawan berperan sebagai penuntun ksatria Arjuna yang tiap kali menasihati dan menegaskan bahwa yang sudah ditata oleh yang ilahi itu mesti diiyakan. Bila tidak, tata dunia ini akan terus goncang, bumi akan terus “gonjang-ganjing“.
Isi pokok wayang sudah kita lihat melekat tidak hanya dalam sastra kisahnya tetapi juga dalam struktur, episode, simbol serta pandangan jagad di belakang wayang itu sendiri. Mementaskan wayang dalam keutuhan pemahaman macam ini tidak selalu bisa mulus sempurna. Maka bisa dimengerti mengapa bila hanya salah satu episodenya yang ditonjolkan entah itu goro-goro, leluconnya atau menjadikannya sebagai salah satu corong tertentu, berakibat peletakan ke belakang sisi tuntunan dan pengedepanan (mengedepankan) sisi tontonannya. Mana yang akan menonjol keluar? Jawabannya semoga tidak lagi di simpang jalan lantaran kita tahu betapa erat kaitannya antara dalang, wayang: struktur dan falsafahnya serta tujuan pentas itu sendiri.
4. Wayang Tontonan atau Tuntunan?
Ketika Arjuna mesti berhadapan dengan saudaranya seibu dalam perang Bharatayudha yaitu Karno, dia dihadapkan pada pilihan nilai antara kewajiban seorang ksatria dengan nilai tali persaudaraan. Dengan bantuan Kresna, akhirnya kewajiban ke ksatriaanlah yang diemban untuk dilaksanakan. Bila benar konflik nilai bisa digelar begitu tajam hitam lawan putih seterang-benderang itu maka pilihan nilai relatif memang lebih mudah ditimbangkan. Namun soalnya: benarkah kenyataan hidup yang menantang kita untuk memilih selalu hitam-putih tajam semacam itu? Tidakkah kebanyakan berwarna abu-abu yang kabur dan butuh pertimbangan sungguh untuk dipilih? Ketika dalam perang yang sama Bima berhadapan dengan Dursasana, orang dibuat bertanya antara kewajiban Bima sebagai ksatria yang membunuh Dursasana dengan cara membunuh si Dursasana dan menyerahkan darahnya untuk keramas Drupadi yang pernah dinodai dan dipermalukan oleh Dursasana. Cara membunuh semacam ini, dengan merobek-robek Dursasana: masihkah berkait dengan ksatriaan dalam perang ataukah karena pemenuhan kewajiban memenuhi sumpah?
Dua contoh tajam di atas cukup kiranya untuk menegaskan peran wayang sebagai tuntunan dan bukan hanya tontonan. Sisi tuntunan dari wayang memang menjadi persoalan sentral lantaran di sana isi, nilai dan konflik-konflik nilai wayang sebagai tuntunan dalam menghayati hidup menantang orang untuk serius memikirkan pesan dari wayang itu.
Tidak dapat disangkal bahwa wayang di satu pihak merupakan seni pertunjukan. Dari sisi ini saja dengan mudah kita mengerti aspeknya sebagai tontonan. Dengan tontonan, maka publik memang berhak menemukan segi “leisure“-nya, sisi eksotisnya tak hanya sedap di mata, enak di telinga tetapi pula lucu lawak menyegarkan yang diharap mampu mengenyahkan seluruh kepenatan hidup rutin. Tetapi, wayang mempunyai pula sisi simboliknya, mistiknya, pesannya, ajaran dan tuntunannya.
Seperti setiap kenyataan yang cirinya kasat mata dan berada di balik bayang cenderung ditafsir lewat yang “wadhag“, yang tampak dengan mata, maka isi atau pesan pokok wayang pun mengalami kesulitan yang sama.
Padahal bila mau menyelam ke kedalamannya, wayang dari struktur waktunya sudah simbolis menunjuk tahap-tahap penting dari proses kehidupan. Struktur gendhingnya pun merupakan satu lingkaran hidup dari kelahiran (gendhing I: cucur bawuk), bayi muda (gendhing II: pare anom/padi muda, mulai tampil) (gendhing III: sri katon yang berarti mulai tampak), (gendhing IV: sukma ilang: meninggal lalu disaring dalam “ayak-ayak“), (gendhing V), kemudian tahap bergegas menuju yang ilahi (gendhing “slepeg”: age-age), “sampak” sebagai gendhing VII, artinya jalannya sudah rata setelah diterima Tuhan dan yang terakhir gendhing “suwuk pancer 6“: menyatu rasa dengan Tuhan sendiri. Demikian juga struktur warna simbol dari wayang-wayang itu sendiri: dari simbol raksasa yang jahat, pembuat onar yang merah dengan lawannya para ksatria yang hitam dan menuju ke yang pandhita putih. Struktur kanan-kiri jejer itu sendiri sudah simbolik: kiri, merah, simbol yang jahat sedang yang kanan, putih, simbol yang baik.
Sisi inilah yang kerap tercampur dengan penampilan wayang sebagai tontonan yang “gggeeerr“, apalagi bila struktur waktu yang simbolik hanya dihabiskan untuk “goro-goro“. Mudahkah menampilkan jati wayang dalam sisi tuntunan ini?
Tidak mudah, inilah jawaban langsungnya. Pertama, karena alasan “A.P.S.” (Asal Penonton Senang). Tekanan yang diberikan pada pentingnya memuaskan penonton akan cenderung mendorong sang dalang untuk menomorduakan struktur simbolik waktu dari wayang hingga berhenti dan berkubang pada “goro-goro” saja. Pada hal fase “goro-goro” hanya merupakan salah satu episode masa puber seorang muda, maka di sanapun ia ditantang dengan godaan-godaan si cakil, raksasa dalam merenung siapa kau — ke mana arah hidupku (sangkan paraning dumadi) yang semestinya terus dibantu oleh sang pandhita. Maka perangnya pun hanya “perang kembang”: perang sebagai bunga hidup, belum perang sungguh-sungguh. Bila si dhalang berhenti di episode ini dan melansir terus “goro-goro” lalu wayang memang akan sungguh tampil sebagai tontonan dan tipislah tuntunannya.
Kedua, sisi mistik dan simbolik wayang membutuhkan komunikasi untuk dikenal dan dirasakan. Di sini, apresiasi wayang menjadi penting lantaran bahasa simbolik dan wujud simbol-simbol itu amat kontekstual kultural menurut zamannya. Untuk kultur yang sudah selalu biasa dengan realisme, yang serba konkret, yang langsung tampak-inderawi, tidak mudah menangkap simbolik dan abstraksi di baliknya. Maka yang langsung inderawi ditangkap adalah yang langsung bisa ditangkap dengan 5 indra, yang realis-konkret. Di sini sisi tontonan dengan mudah ditangkap. Kesukaran menampilkan makna simbolik wayang amat kentara kalau kita amati kecenderungan dalang-dalang aktual kini yang mau mengkonkretkan wayang. Contohnya: kaki dalam wayang purwa ditatah menyatu dengan gapitnya dan disungging tak bisa bergerak kini dilepas, dibuat bisa digerakkan sehingga bisa menendang dengan jurus silat tertentu. Lha fenomen ini terang mudah ditangkap secara realis tanpa perlu simbol, namun apakah itu soalnya?
Di sini tantangan untuk memberi aspirasi wayang dengan seluruh simbolisasinya maju ke depan untuk diolah agar generasi-generasi baru yang hidup dengan simbol-simbol zamannya sebagai zaman baru tetap mampu menangkap lantaran diberitahu, lantaran disediakan komunikasi dan apresiasi.
Ketiga, sisi tuntunan dari wayang amat melekat dengan sisi panggungnya. Bentangan kosmos atau jagad/semesta dengan tiga dimensi ruang yang simbolis itu tidak begitu saja ditangkap langsung oleh penikmat wayang atau penonton. Panggung dunia di mana terus terjadi perang antara yang jahat dengan yang baik, di mana yang baik menjadi pemenang dan dunia tenteram kembali itu kerap lebih mudah ditangkap dalam satu dimensi sempit realis. Apakah “gunungan” ditangkap sebagai pohon kehidupan atau sekedar salah satu boneka kulit dengan gambar gunung yang setiap kali menuntup raksasa yang mati? Hal ini pun menunjuk ke kesulitan menangkap antara yang realis bisa dilihat mata dengan yang simbolis dalam dimensi jagad raya panggung wayang. Kebanyakan yang terjadi, orang berhenti pada yang paling mudah dilihat dengan mata “wadhag“.
Bila paparan di Atas menunjuk pada kesulitan nyata menangkap sisi tuntunan wayang, pertanyaan kita lalu: mengherankan apabila sisi tontonannya yang menonjol?
Tantangan bagi kita semua: bila wayang mau terus digali dikembangkan maka sisi tuntunannya butuh perhatian dalam penggarapan. Dengan penggalakan apresiasikah? Dengan pembahasan aspek pesan dan nilai wayangkah? Atau secara sederhana terus-menerus menjembatani jurang komunikasi dalam menangkap simbolisasi tadi? Sebab, kesulitan menangkap nilai dan pesan di balik simbol akan menjadi kendala/rintangan proses identifikasi tokoh-tokohnya. Padahal simbol-simbol generasi sekarang yang di kota-kota sudah berkisar ke angka-angka, tokoh ruang angkasa, matematika komputer serta keasyikan memencet-mencet tombol kode mesin. Lalu?
5. Pilihan Nilai Dalam Wayang
Sukrasana – Seta: “Sejenak bijak”
Kamar tamu rumah seseorang memang merupakan sebagian cermin penghayatan kehidupan pemiliknya. Maka, bila kita mau sedikit kenal cita-cita atau sebagian yang sedang dijalani oleh penghuninya, silakan melihat bagaimana cara menghias atau gambar-gambar hias apa yang terpancang di kamar tamunya.
Rekan saya ini menaruh tokoh wayang Sukrasana dan Seta di kamar tamunya. Sukrasana, adik Sumantri yang kontras baik wujud fisiknya maupun watak cirinya satu sama lain antara kakak beradik ini. Sukrasana buruk wajah, bahkan serupa raksasa dengan cacat-cacat fisik namun hatinya tulus, emas betul- betul dalam kebaikan, kesetiaan dan kerelaan membantu sang kakak. Sedangkan Sumantri, ksatria gagah fisik, cakap wajah namun sombong ketika sudah merasa memiliki cukup ilmu lalu melawan raja yang mau diabdinya yaitu Arjuna Sasrabahu. Dia malu jalan bersama adinda yang buruk rupa si Sukrasana, meski nanti ia meminta tolong sang adinda untuk memindahkan taman Sriwedari sebagai syarat diterimanya kakaknya mengabdi raja Sasrabahu.
Tetapi justru tragedi terjadi manakala taman sudah berhasil diputar dan Sukrasana ingin ikut kakak ke kerajaan namun Sumantri malu dan untuk upaya mencegahnya ia menakut-nakuti dengan panah berbusur yang ditarik kencang dan ternyata menikam hati Sukrasana hingga tewaslah ia. Meski begitu si adinda sebelum ajal masih sempat mengampuni dan berjanji menyertai bahkan menunggu Sumantri nanti untuk bersama-sama kembali ke kahyangan.
Sukrasana si buruk wajah dan fisik namun berhati mulia, berwatak setia dan teguh dengan ketulusan. Dialah simbol dan endapan watak keteguhan dan kebaikan tulus. Sedang Sumantri. Meski cakap wajah, ia “kalah” satu mistar dari Sukrasana dalam perwatakan tadi.
Maka tokoh Sukrasana menjadi panutan identifikasi kejujuran, ketulusan, kesetiaan dan nilai penegasan bahwa buruk rupa, cacat fisik tidak sama dengan cacat watak atau cacat karakter kemanusiaan. Dengan kata lain, orang diajak untuk tidak silau pada gemerlapnya penampilan luar, wujud indah bungkus. Orang diajak masuk mengenal orang ke jatinya, ke aslinya, ke intinya, ke hakikatnya atau istilah Edmund Husserl ke “wesen”- nya.
Dalam situasi sosial ekonomis dan kultur politis yang penuh wajah ganda, penuh keculasan dan kerancuan antara yang asli dan yang semu, Sukrasana menjadi pijar terang yang mengajak untuk tidak ikut arus kebohongan tetapi berani menjadi tulus untuk diri sendiri, Tuhan dan sesama. Barangkali itulah yang menjadi orientasi penghayatan hidup yang sedang diperjuangkan penghuni rumah yang memasang tokoh Sukrasana tadi.
Lalu, di mana posisi “Seta” yang juga dipasang di seberang tembok kamar tamu berhadapan dengan Sukrasana? Kita tahu, “Seta” untuk para Pandawa merupakan yang dituakan, “pinisepuh”, sang bapa penasihat dalam menimbang keputusan-keputusan hidup. Seta berperan sama dengan eyang Bhisma untuk Para Kurawa, maka fungsi bhagawan, pandhitalah yang dipang kunya seluruh hidup. Panggilan Seta adalah menjadi orang yang mempertimbangkan keputusan-keputusan hidup, penasihat krisis-krisis dan suri teladan “pinisepuh”, yang dituangkan.
Inilah panggilan menjadi bapa dan ibu atau orang tua dalam keluarga yang mau dihayati oleh keluarga yang memasang tokoh Seta itu di kamar tamunya? Atau pula panggilan kita bersama untuk menghayati peran ke-pandhita-an dari penghayatan hidup kita sebagai para orang tua yang mau menjadi teladan bagi anak cucu kita?
Tetapi juga bisa si keluarga yang memasang tokoh Seta mau melambangi pentingnya posisi pandhita, pemertimbang baik buruk dalam roda perjalanan hidup kita semua.
Ini berarti, Seta menjadi lambang penting posisi “nurani jernih”, hati bening menimbang dalam kemelut-kemelut krisis hidup keluarga atau sulitnya memutuskan di saat semuanya serba rancu ini.
Namun justru kombinasi Seta berhadapan dengan Sukrasana menjadi amat simbolis tetapi sekaligus mendalam sekali artinya. Mengapa?
Nurani yang diharapkan menjadi cahaya pemutus dalam kehidupan harus selalu awas, waspada untuk tidak keliru membedakan antara penampilan buruk rupa fisik, kulit (tokoh Sukrasana) dengan watak tulus dari jati diri orang. Dengan nurani jernih, orang diharapkan jeli membedakan antara kulit dengan isi antara gincu parfum wangi kulit dengan batin yang inti, apalagi di situasi kehidupan yang amat memberi wajah-wajah manis, ayu, cakap karena kosmetika wangi, bedak harum yang mementingkan permukaan.
Dari tatapan tokoh Seta dan Sukrasana di kamar tamu itulah kita bisa sejenak merenung untuk menjadi sedikit lebih bijak sebagai manusia.
——
Kepustakaan:
- Ir. Sri Mulyono, “Wayang: Asal-usul Filsafat dan Masa Depannya”, Gunung Agung, Jakarta 1978.
- Berg CC, Prof. DR, “Penulisan Sejarah Wayang”, Bhatara, Jakarta, 1961.
- Besant A. DR. dan Partowiroto RM, Surodiharjo, “Mahabarata I, II, tt (tanta tahun).
- Buku “Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum”, Pusat Bahasa, Editor: Edi Sedyawati dkk, Balai Pustaka, 2001, Jakarta.
- Victoria M. Clara van Groenendeel, “Dalang di Balik Wayang”, Grafiti Utama, 1987.
——
*Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pasca Sarjana UI dan ISI Solo, Budayawan.