Saya Seniman, Maka Saya NYENTRIK!

Oleh Agus Dermawan T.*

Menurut mitos, seniman itu berpenampilan eksentrik, dengan ciri aneh, gondrong dan awut-awutan. Tak sedikit yang seperti dukun dan tukang palak, meski ada yang mirip tengkulak. Semua itu benar belaka, dan ada sejarahnya.

————

SAYA mengenal istilah “eksentrik” pada menjelang tahun 1970, ketika masih sekolah di SMAK St Louis, Surabaya. Kala itu berbagai majalah dan koran banyak membicarakan ihwal anak-anak muda Amerika yang pergi dari rumah, demi mencari kebebasan hidup di bawah semesta. Anak-anak muda itu konon terbius ajaran Herbert Marcuse (1898-1979) yang dijuluki sebagai rasul para hippie. Marcuse kala itu menganjurkan agar anak-anak muda yang terhimpit situasi buruk di lingkungan terdekat, dan terkurung situasi mengancam di lingkup sosial-politik, untuk segera menunaikan tagline “Amerika gelap. Ngabur dulu, ah!” 

“Pergilah jauh-jauh. Bawa sikat gigimu, dan cari tempat yang aman di seputar bumi. Cari tempat yang terbebas dari perang, bebas dari paksaan milisi dan segala hal yang bikin kamu frustrasi.” Begitu Marcuse berkata.

Maka ratusan ribu anak muda, lelaki dan perempuan, ramai-ramai menggelandang. Mereka hidup secara komunal. Sampai lahirlah kaum hippie. 

Herbert Marcuse, rasul kaum hippie, kelompok anak muda eksentrik. (Foto: Dokumen)

Pada bulan-bulan kemudian kumpulan hippie muncul sebagai gerakan kontra budaya, dan pelan-pelan membentuk kultur baru, kultur alternatif, untuk melawan norma-norma masyarakat arus utama. Dari kultur ini lantas muncul perilaku yang disebut “eksentrik” tadi. Cirinya sangat jelas: hidup semaunya – bahkan bebas mencecap ganja dan mariyuana. Tertarik kepada meditasi, yoga dan berbagai bentuk spiritualitas (terutama yang dari Timur). Tujuannya untuk menemukan kedamaian jiwa.

Kaum hippie bersopan-santun dengan caranya sendiri. Dan berpakaian dengan cara-cara mereka sendiri. Ketat silakan, kombor tidak dilarang. Berbaju kancing terbuka, dengan leher yang dikalungi berbagai benda. Gondrong, botak total atau separuh, tidak apa-apa. Atau model rambut tumbuh berdiri di tengah bak helm perang tentara Romawi, yang kemudian disebut punk. 

Filosofi mereka adalah “cinta sesama”. Semboyannya mereka adalah:  “perdamaian itu kemenangan”. Lantaran itu kode mereka adalah telunjuk dan jari tengah yang diacungkan, dengan posisi telapak tangan ke depan, sehingga membentuk huruf V, singkatan dari kata victory. Simbol mereka adalah bunga. Karena itu publik menamai kaum ini dengan “Flower Generation”.

Jalan budaya yang heboh ini lantas melahirkan seni-seni yang khas, seperti musik psikedelik. Dalam seni visual hippie menyosialisasikan grafiti dengan cat semprot dan sablon. Dalam sastra mereka mengeksplorasi bahasa slang, mengembangkan puisi bebas, dengan penggunaan simbolisme dan metafora yang mengagetkan publik normal, lantaran sering sarkastik, jorok dan vulgar.

Kaum hippie dengan pakaian yang unik, sehingga melahirkan kultur baru yang oleh kaum “normal” disebut eksentrik. (Sumber: Agus Dermawan T)

Anak-anak muda dunia agaknya tertarik kepada fenomena bebas merdeka dengan cara urakan ini. Mereka menganggap bahwa eksentrik itu asyik! Eksentrik itu aksentuatif, alias menarik perhatian. Dan yang penting, eksentrik adalah sebuah bentuk dari perlawanan. Bukankah anak muda memang “suka melawan”?

Kembali ke SMA. Sebagian siswa St Louis Surabaya (SMA terunggul di Indonesia, yang kala itu semua muridnya laki-laki) ternyata mengikuti trend perlawanan Flower Generation. Luar biasanya, kepala sekolah yang berkebangsaan Belanda, Bruder Valerianus, memperbolehkan. “Yang mau eksentrik, silakan, asal nilai rapotmu rata-rata di atas delapan. Yang nilainya pas-pasan, harus patuh peraturan sekolahan. Tapi yang saya larang keras adalah mencecap ganja dan hidup ugal-ugalan. Karena itu perbuatan goblok. Dat is stom. Idioot,” katanya kalem.

Nyentrik di perguruan tinggi

Tahun 1971 saya kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “Asri”, Yogyakarta, jurusan seni lukis. Di kampus ini lebih dari sepertiga dari jumlah mahasiswa ternyata eksentrik, baik lelaki maupun perempuan. Mereka bergaya unik, berbusana aneh dan acap bertingkah ganjil. Bahkan tiga atau empat nyetun (fly) lantaran ganja dan LSD (Lysergic Acid Diethylamide). Aha, ternyata di Yogyakarta ada Amerika! Saya agak terkejut. Namun kemudian saya biasa melihatnya. Apalagi perilaku mereka sangat baik, tidak sedikit pun mengganggu satu sama lain.

Dari penglihatan atas suasana tersebut saya mencari terang, dengan masuk ke perpustakaan. Ternyata keanehan seniman Asri adalah gabungan dari dua mashab.Yakni eksentrisitas warisan seniman zaman berabad lampau di Eropa dan trend Flower Generation tahun 1960-1970 di Amerika. Dan itu clear. 

Bersamaan itu pengertian eksentrik saya cermati. Lalu terbacalah dalam kamus bahwa “eksentrik” berasal dari kata Yunani Kuno, ekkentros, yang artinya tidak berpusat kepada bumi. Kata ini kemudian merayap ke bahasa Latin, eccentricus. Dan lantas diambil oleh bahasa Prancis, eccentrique, bahasa Inggris eccentric, sampai bahasa Belanda, excentriek.

Pelukis dari Cimahi, Bahar Malaka (kiri) bersama temannya yang juga seniman, Didin Tulus. “Berkarya cantik, tampilan nyentrik” adalah rumus hidupnya. (Sumber: Jurnal Nasional)

Jadi, eksentrik itu memang keluar dari pakem. Dan itu berarti berani berulah di luar yang biasa. Makna cekaknya (dan salah kaprahnya), eksentrik itu luar biasa. Karena “luar biasa”, saya pun masuk ke dalamnya. Tentu tanpa ganja dan LSD.

Pada tengah 1972 saya pulang ke Rogojampi, dalam rangka libur kuliah. Rambut saya panjang sepundak. Baju saya batik bergaya singset, dengan krah kecil berdiri model surjan Jawa, yang saya rancang sendiri. 

Melihat saya pulang dengan gaya “agak laen”, Ibu melongo. Dari pojok sana Ayah yang sedang membaca koran merespon. “Sudah jadi seniman dia. Sudah eksentrik” ujarnya pendek. Ayah terlihat tersenyum.

Apa yang dikatakan Ayah sungguh tidak keliru. Pada waktu itu saya memang sudah merasa menjadi seniman, biarpun baru satu tahun studi di akademi seni. Sehingga penampilan saya sah untuk berbeda dengan orang-orang lain. 

Nyentrik, kata teman sekampung saya. Saya bangga. Apalagi sebutan nyentrik itu konon bukan milik “publik umum”, tapi kepunyaan “orang-orang spesial”. Dan seniman itu, seperti halnya ilmuwan genius – menurut mitos – bukan “orang sembarangan”. Lihat Michelangelo, Leonardo da Vinci, Caravaggio, Vincent van Gogh, Affandi yang sangat nyentrik. Lihat komposer Wolfgang Amadeus Mozart serta ilmuwan Albert Einstein yang bukan main nyentrik. Juga Archimedes yang melompat-lompat telanjang ke luar rumah sambil berteriak “Eureka! Eureka!”, ketika baru menemukan rumus prinsip pelampung di kamar mandi.

Tapi ayah tidak membiarkan saya nyentrik begitu saja. Ia memberikan perbandingan bahwa tidak semua seniman itu harus gondrong, dengan pakaian aneh. Apalagi dengan keseharian yang “kurang mandi”.

Ayah bercerita bahwa pada tahun 1955 ia bertemu dengan pelukis Sudjono Abdullah di Kopeng, daerah wisata di kaki Gunung Merbabu, dekat Semarang. Sudjono waktu itu sedang melukis pemandangan. Pakaiannya necis, dengan pantalon hitam dan baju biru muda. Sebelum melukis ia memakai celemek panjang berwarna putih untuk menutup seluruh bajunya, sehingga tampilannya mirip dokter. Rambutnya yang sudah dibasuh pomade merk Murray ditangkupi topi fedora.

“Pelukis kok rapi seperti ini? Tidak seperti yang saya tahu lewat mitos. Tidak seperti yang saya cermati lewat kartun-kartun, yang selalu menggambarkan seniman dengan tampilan awut-awutan,” kata Ayah. 

Dalam percakapan, Sudjono menjelaskan bahwa ia baru saja menyelesaikan dua lukisan untuk altar Gereja Katolik Randusari Semarang. Kerja itu menuntaskan proyek adiknya yang mendadak berhalangan, pelukis tersohor Basoeki Abdullah.

Ayah bertanya, mungkinkah kerapian kesenimanan Sudjono Abdullah dibawa oleh kebudayaan gereja? Sudjono menjawab tidak. Itu dibawa dari pembawaan keluarga yang diwarisi dari kultur bangsawannya. Ayah Sudjono adalah pelukis Abdullah Suriosubroto, ningrat Solo. Kakek Sudjono adalah Dr. Wahidin Sudirohusodo, aristokrat yang jadi tokoh pergerakan nasional pada era Hindia Belanda. 

Cerita Ayah itu menutur simpul, bahwa tidak setiap seniman harus tampil nyentrik bagai sering terbayangkan dalam mitos. Lantaran keeksentrikan ternyata dibawa oleh kultur, dibentuk budaya keluarga, dan dihela oleh dorongan subyektif. 

Namun, di samping soal tampilan, yang paling melekat dalam kesimpulan adalah: spesies terbaik dari mahluk yang bernama manusia itu adalah seniman (pelukis, pesastra, pemusik dan sebagainya). Dan itu dikukuhkan oleh John Ruskin (1819-1900, pemikir seni Inggris) lewat kata-katanya: “Hanya karya seniman yang membuat kita terpesona kepada kebenaran. Hanya gubahan seniman yang membuat sisi kebenaran menjadi segumpal pesona. Maka simpul yang sejati, seniman adalah kebenaran itu sendiri.”

Presiden Sukarno dan pelukis Ernest Dezentje yang tidak lupa memakai jas dan dasi. Sebagai seniman Dezentje lebih suka tampil seperti ambtenaar. (Sumber: Dokumen)

Tidak semua eksentrik

Maka selang-seling keeksentrikan dan kenormalan penampilan seniman bisa dicatat sejak zaman baheula. 

Pada abad 19 pelukis Raden Saleh selalu berdandan ala bangsawan Jawa saat hadir ke berbagai perhelatan di Eropa, sehingga tampak nyentrik dan mengejutkan di mana saja. Di Istana Presiden Sukarno pernah ada tiga pelukis Istana. Dullah nyentrik dengan rambut kurang sisiran. Penggantinya, Lee Man Fong berpenampilan seperti encek-encek tengkulak. Lim Wasim hadir seperti guru les matematika. Pada bagian lain, pelukis yang sering berkunjung ke Istana juga macam-macam modelnya. Sudarso dan Sudjojono sering nyelonong dengan memakai sendal, berpakaian apa adanya, dengan cangklong rokok di mulutnya. Sementara Ernest Dezentje selalu tampil berjas dan berdasi, seperti ambtenaar yang akan menerima gaji besar sekali. Di luar Istana, Le Mayeur selalu bercelana pendek dan tidak beralas kaki, bahkan saat menyambut Presiden Sukarno di studionya, di Sanur, Bali.

Penampilan pelukis Le Mayeur yang berpakaian apa adanya dan tidak beralas kaki, saat menyambut Presiden Sukarno di studionya, di Pantai Sanur, Bali. (Sumber: Dokumen Le Mayeur)

Kultur diri sendiri, kultur keluarga dan kultur komunitas dan kultur sosial memang mempengaruhi keeksentrikan seniman. 

Sejarah bilang, di ITB (Institut Teknologi Bandung) ulah eksentrik tak terlampau tampak, sejak perguruan itu berdiri tahun 1947. Namun di Asri Yogyakarta, sampai kemudian menjadi Institut Seni Indonesia, keeksentrikan menjadi ciri khasnya. Begitu juga di sejumlah perguruan seni lain, seperi Institut Kesenian Jakarta. 

Pada banyak waktu ITB dan berbagai “ormas”nya (galeri, art house dan selasar di Bandung) menyelenggarakan pameran. Semuanya tersaji klimis, dengan kerumunan para seniman yang tampil manis. Tentu ada pameran yang inkonvensional dan ugal-ugalan, seperti yang digagas oleh Semsar Siahaan dan Imah Budaya Cigondewah asuhan Tisna Sanjaya. Namun Semsar dan Tisna sendiri selalu “umum”, rapi dan wangi.

Pada suatu hari saya menyaksikan pameran Bob Sick di Jogja National Museum, Jalan Amri Yahya. Ihwal pamerannya yang menebar banyak lukisan di lantai, tak menjadi soal. Karena itu menyangkut hal yang konseptual. Namun bahwa di pojok ruang ada tenda kecil tempat sang pelukis tidur, tentu mengejutkan. Ketika mendengar di ruang pameran ada tamu – Bob, alumnus Asri – keluar dari tenda. Rambutnya mawut, badannya penuh tato, dari mulutnya tercium alkohol. Saya terpana. Namun Edi Sunaryo dan Melodia, seniman terkenal Yogyakarta yang selalu tampil rapi bagai pegawai swasta, tenang-tenang saja.

Pelukis terkenal Yudhita Agung alias Bob Sick, dengan rambut gimbal dan badan penuh tato. (Sumber: Agus Dermawan T)

Dua vibrasi

Dalam dunia penciptaan seni dikenal istilah vibrasi garbo dan vibrasi vitae. Vibrasi garbo adalah seni yang diproses dengan penuh perhitungan sesuai norma, dan dieksekusi dengan kehalusan. Lukisan hiperealis Sigit Santoso dan tarian bedaya adalah contohnya. Sementara vibrasi vitae adalah seni yang dilahirkan dengan kepenuhan ekspresi, dengan spontanitas yang sengaja tidak dielakkan. Lukisan ciptaan Affandi dan sejumlah drama absurd Teater Mandiri sebagai misal. Takdir penciptaan ini agaknya juga njumbul dalam dunia penampilan fisik para seniman. 

Namun tidak berarti penampilan seniman penganut vibrasi garbo dan vibrasi vitae akan selalu sinkron dengan karya ciptanya. Paul Hendro, pelukis surealis fotografis yang serba halus dan perfek, tampilannya seru dengan kepala botak yang bertato mahkota duri. Nyoman Gunarsa adalah pencipta karya sangat ekspresif, dengan pigura rancangan sendiri yang sering meleyot. Namun tampilan dirinya rapi dan formal, bak kandidat Bupati Klungkung.

Tampilan seniman, atau khususnya pelukis, ternyata tidak semuanya eksentrik bagai dihembuskan oleh mitos. Dan yang tak kalah penting, tidak semua seniman, atau mereka yang sangat mendalami seni, baik budinya, lurus hatinya dan waras jiwanya, seperti yang dikatakan oleh John Ruskin. 

Adolf Hitler adalah seniman yang banyak menghasilkan lukisan bagus. Ia sangat mencintai seni rupa. Namun setelah jadi politikus dan memimpin Nazi ia berubah menjadi keji, melakukan genosida atas orang Yahudi. George W. Bush yang diketahui sangat suka melukis, bisa dengan brutal melancarkan penghancuran atas negeri miskin Afganistan.

Di Chicago, Amerika Serikat, ada John Wayne Gacy Jr. Ia seorang seniman badut lucu dan pelukis yang piawai. Dibekali kesenimanannya ia menjadi aktivis. Sehingga pada 1978 ia sempat foto bersama Rosalyn Carter, isteri presiden Amerika Serikat Jimmy Carter.

Komedian dan pelukis John Wayne Gacy JR. selalu tampil seperti direktur perusahaan BUMN. Rapi dan formal, meski ia sesungguhnya pembunuh banal. (Foto: Dokumen).

Tak ada yang menyangka, pada suatu waktu Gacy dicokok dengan tuduhan membunuh 33 remaja laki-laki. Ada 26 mayat dikubur di ruangan kecil di rubanahnya. Ada pula yang dibuang di Sungai Des Plaines. Lalu Gacy pun dijuluki sebagai “killer clown” dan “killer painter”. 

Ketika akan dieksekusi mati dengan injeksi pada 1994, Gacy menghadapi semua dengan jenaka dan tenang, seperti seorang badut, seperti seorang pelukis. Ia memesan selusin udang goreng, satu paket ayam KFC, dua porsi kentang, plus satu kilo stroberi. Sambil menunggu eksekusi ia meneruskan lukisannya yang belum jadi, Good By Pogo, yang menggambarkan seorang badut. Lukisan itu lumayan bagus, sehingga ketika dilelang terjual 4.500 dolar. 

Oya, tampilan Gacy parlente, intelek, seperti direktur utama perusahaan asuransi. Rambutnya pendek dan tersisir necis, tidak seperti tampilan para seniman Asri. ***

 

*Agus Dermawan T. Kritikus. Penulis buku-buku kebudayaan dan kesenian.

***

Artikel ini merupakan satu dari puluhan artikel yang ada dalam buku Agus Dermawan T : “MEMORABILIA – Rekaman Peristiwa Budaya yang Sumringah, Parah, dan Tidak Lumrah, yang Lupa Dicatat Sejarah”. Terbit bulan Juni 2025.