Humaniora di Tengah Era Revolusi Sains dan Teknologi

Oleh Djoko Saryono

Kehidupan yang serba tak terduga, tak pasti, susah diterka, sangat kompleks, dan serba mendua yang sering disebut dunia VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity; VUCA World) menjadi ciri utama Abad XXI sekarang. Dunia VUCA ini terjadi akibat pergeseran, perubahan, dan atau pergantian secara mendalam, fundamental, radikal, eksplosif, eksponensial, lintang pukang, dan menjangkau hampir semua wilayah kehidupan dan kebudayaan (bahkan wilayah yang dulu dipandang suci dan luhur) sehingga tak ada seorang pun mampu menangkapnya secara tepat, holistik, dan komprehensif. Setiap memetakannya, kita terperangkap dalam dilema “bertukar tangkap dengan lepas” (meminjam larik Amir Hamzah) karena tak ada di antara kita yang mampu mencandra, memetakan, dan menatanya secara utuh dan menyeluruh. Tak heran, para ahli dan pemimpin menamainya dengan bermacam-macam nama selaras dengan fokus perhatian, perspektif, dan paradigma masing-masing, mulai Zaman Revolusi Industri 4.0, Zaman Revolusi Digital, Revolusi Teknologi Informasi dan Teknologi Biologi sampai dengan Zaman Disrupsi dan Zaman Pasca-kebenaran.

Hal tersebut menampilkan wajah ganda yang multi-polar, multi-arah, dan multi-sektor yang memperlihatkan paradoks, kontradiksi, guncangan dahsyat, irelevansi tingkat tinggi, atau buah simalakama. Eksplorasi dan elaborasi alam semesta yang sebagai bentuk pencarian manusia akan sumber-sumber kelangsungan kehidupan justru menimbulkan katastrofi alam semesta, kekacauan iklim dan kehancuran lanskap bumi. Pencapaian-pencapaian kerja sains-teknologi yang gemilang (kita anggap) telah membuahkan tatanan kebudayaan dan peradaban baru sekaligus menumbangkan tatanan kebudayaan dan peradaban yang ada sehingga terjadilah retakan atau patahan riwayat kebudayaan dan peradaban. Lesatan kegemilangan prestasi sains dan teknologi, misalnya bioteknologi, telah membajak (meretas atau “membegal”) kodrat kealamian kehidupan, misalnya apa yang disebut “pembegalan kodrat manusia dan kemanusiaan” dari seleksi alam menjadi seleksi teknologi (Hacking Darwin). Pendek kata, kehidupan Abad XXI pada satu sisi menampilkan surplus luar biasa kemajuan sains dan teknologi terutama teknologi informasi, teknologi digital, dan teknologi biologi yang mengubah drastis lanskap ekologis-kosmis, bumi, dan planeter selain tananan kebudayaan dan peradaban, tetapi juga memperlihatkan defisit sangat besar pada manusia dan kemanusiaan pada sisi lain – human dan humanitas, bahkan spesies manusia terterawang memasuki masa kesuraman pada masa depan. 

Hal tersebut mengisyaratkan, kehebatan sains dan teknologi harus dibayar dengan kerapuhan, kerentanan, bahkan ancaman “kepunahan” spesies manusia [yang manusiawi] sehingga kelangsungan dan keberlanjutan manusia dan kemanusiaan di samping kebudayaan dan peradaban berada di ambang bahaya. Seolah serupa nasib dokter Faust dalam karya Goethe, perkembangan sains dan teknologi yang dikatakan demikian hebat dan luar biasa justru menjadikan manusia, kemanusiaan, kebudayaan, peradaban, bahkan bumi tempat hidup manusia di bawah bayang-bayang ancaman. Di tengah-tengah keadaan demikian sebagian manusia [baca: para ahli dan pemuka sosial] mempertanyakan dan merenungkan kembali berbagai fenomena yang timbul pada satu sisi dan pada sisi lain memikirkan dan memaknai untuk kemudian menawarkan pilihan-pilihan yang dapat diikuti dan dipakai manusia untuk membela dan malah menyelamatkan manusia dan kelangsungan hidup manusia selain kelangsungan dan keselamatan alam semesta. Salah satunya Era Antroposen [Manusia] yang terkesan lepas kendali diperiksa dan ditimbang kembali – kodrat sebagai manusia, makna sebagai manusia, posisi terbaik manusia di bumi, dan keharusan terbaik manusia di dunia dipertanyakan kembali. Human dan humanisme yang ada diperiksa dan dipertanyaan lagi, yang dirasakan sudah tidak memadai lagi. Kemudian ditawarkan pemikiran pasca-human, pasca-humanisme, pasca-humanis, dan juga humanisme baru (numanities, new humanism) di samping trans-human dan transhumanisme. Bukan hanya untuk memahami, menggambarkan, dan memetakan perkembangan dan persoalan yang ada, pemikiran pasca-human, pasca-humanisme, pasca-humanis, dan humanisme baru juga dipandang sebagai alternatif “jamu” adaptabilitas, resiliensi, dan survivalitas manusia, kemanusiaan, kebudayaan, dan peradaban di samping keselamatan alam semesta. 

Sebagai bagian tidak terpisahkan dari dunia dan umat manusia yang kini notabene sudah terintegrasi, tentulah Indonesia terutama orang Indonesia juga perlu ikut menerawang, memikirkan, dan menawarkan pemikiran tentang pasca-human, pasca-humanisme, pasca-humanis, dan humanisme baru. Seberapa jauhkah kondisi pasca-human, pasca-humanisme, dan humanisme baru di Indonesia? Konstruk dan model pasca-human, pasca-humanisme, pasca-humanis, dan humanisme baru macam apakah yang diperlukan Indonesia, bahkan dapat disumbangkan Indonesia bagi dunia? Sektor-sektor kehidupan, kebudayaan, dan peradaban mana sajakah yang perlu dijadikan ajang garapan pasca-human, pasca-humanisme, pasca-humanisme, dan humanisme baru. Mungkinkah dikembangkan linguistik pasca-human dan pasca-humanis pada satu sisi dan pada sisi lain bisakah dikembangkan aliran pasca-humanisme dan humanisme baru dalam kancah linguistik Indonesia? Mungkinkah dikonseptualisasi dan diformulasikan kritik atau teori sastra pasca-human dan pasca-humanis pada satu sisi dan pada sisi lain dikonstruksi model pasca-humanisme dan humanisme baru dalam kritik/kajian sastra di Indonesia? Bila dikembangkan, seperti apakah konstruk pendidikan pasca-human dan pasca-humanis pada satu sisi dan pada sisi lain model pasca-humanisme dan humanisme baru dalam model pendidikan masa kini dan masa depan? Ini beberapa pekerjaan rumah yang perlu kita kerjakan dalam laku keilmuan kita atau dunia akademik kita di Indonesia. 

***

*Prof. Dr. Djoko Saryono* – Guru Besar FS-UM