Yang Klasik, Klise, dan Krasuk dari “Samsara” Garin Nugroho
Oleh: Razan Wirjosandjojo*
Setelah Setan Jawa, karya Garin Nugroho bertajuk “Samsara” hadir sebagai film kedua yang dalam bentuk film bisu hitam-putih dengan iringan orkestrasi musik langsung. Setelah ditayangkan di Esplanade, Samsara ditayangkan di Indonesia Bertutur 2024 di Nusa Dua, Bali, dan baru saja ditayangkan di Jogja Netpac Film Festival di Yogyakarta. Semua penayangan mendapatkan apresiasi yang tinggi dari para penonton yang hadir menyaksikan.
Film ini menyajikan kisah sepasang kekasih, dengan latar ruang dan waktu Bali pada masa kolonial. Ketegangan timbul dari hubungan antara laki-laki pribumi (yang diperankan oleh Ario Bayu) dan perempuan landa (yang diperankan oleh Juliet Widyasari Burnett) karena perbedaan ras dan kasta. Kondisi orang tua sang perempuan yang tidak menyetujui membuat hubungan mereka terpaksa kandas. Sang lelaki tak mau menerima nasib tersebut, kemudian mulai mencari cara lain yang untuk merebut kekasihnya kembali. Cara itu akhirnya ia dapatkan dari daya sihir yang ia temui di suatu kerajaan, dipimpin oleh sang Raja Monyet (yang diperankan oleh Gusbang Sada). Daya itu memberinya kekayaan dan meninggikan posisinya sehingga sang perempuan dapat kembali ke dalam rangkulannya. Mereka pun menikah dan dikaruniai seorang anak.
Menuai apa yang telah tertanam, daya sihir itu berimbas pada anak mereka yang lahir sebagai sosok setengah manusia – setengah kera. Tak hanya sampai di situ, sang perempuan mendapati suaminya yang ternyata masih merawat ilmu gaib. Anak mereka terpaksa dikembalikan ke kerajaan Raja Monyet untuk menebus kutukan tersebut. Pengembalian itu ternyata tak mengakhiri derita, ketika anaknya mengikuti jejak ibunya dari kerajaan monyet menuju rumahnya dulu, dan mendapati ia terbuang dari keluarga dan rumah asalnya. Maka, kekecewaan itu bergulung menjadi malapetaka, Raja Monyet mengirim bala tentaranya untuk turun gunung menjadi wabah di dalam desa.
Datangnya wabah membuat anak itu dicari untuk dihilangkan. Semua warga, termasuk sang ayah, berhasil menangkap anak tersebut. Ketika para warga tengah bersiap melenyapkan sang anak, pasukan Raja Monyet datang kembali untuk menghabisi para warga. Belum sempat berhasil melenyapkan anak tersebut, seluruh warga dibunuh. Semuanya mati, termasuk harapan dan cinta sang perempuan sebagai anak, istri, dan ibu.
Mitos – Cinta – Monyet
Alur kisah dalam film ini terasa seperti paduan berbagai kisah klasik dan cerita rakyat dari Nusantara. Beragam cerita pendek seperti Lutung Kasarung, Timun Mas, dan Roro Jonggrang, hingga epos besar seperti Ramayana atau Mahabharata, seolah hadir bergantian dalam kilasan gambar dan adegan. Padupadan elemen cerita kerakyatan mengalir di dalam film ini, menjadikannya seperti dongeng. Tidak terasa rumit atau berliku, melainkan menyatu dengan lembut, menghidupkan kembali memori tentang kisah-kisah masa lalu.
Cinta dalam kisah klasik dan folklor Nusantara seringkali berkelindan dengan unsur mistik. Kombinasi ini bagi saya merupakan cerminan karakter budaya mitis yang melatarbelakangi penciptaan kisah-kisah itu, sehingga kedua elemen itu saling memperkuat pengalaman emosional bagi pendengar, penontonnya, atau pembacanya.
Namun, lapisan mistik tersebut tak lekang dari siratan kenyataan, fakta, dan kondisi lingkungan yang menjadi latar kisah tersebut. Mistik adalah bahasa yang menyalurkan pesan dan pengetahuan, terutama di tengah masyarakat yang belum didominasi oleh kuasa sains. Film “Samsara” hadir dengan kesadaran atas sejarah hubungan panjang masyarakat Nusantara dengan cerita-cerita ini, sehingga penuturannya justru berupaya memantik kembali jiwa mistik yang tersisa di tengah gerus roda sains dan modernisasi.
Selain elemen mistik, cinta juga menjadi bahasa yang digunakan untuk menggandeng publik untuk masuk pada kedalaman cerita. Kelindan antara daya cinta dengan mistik dapat merujuk pada kisah Roro Jonggrang, salah satu kisah yang menggandeng situs candi Prambanan, Kisah ini “meminjam” kuantitas candi Prambanan yang begitu banyak menjadi simbol atas hasrat untuk memiliki Roro Jonggrang sebagai kekasihnya. Cinta menjadi salah satu esensi hidup manusia yang terkuat, mampu memberikan rasa yang mendalam, sekaligus menjadi penunjuk pada kesukaran hidup yang terjalin bersamanya.
Selain elemen mistik, cinta pun hadir, menjadi bahasa yang menghubungkan publik dengan ironi di dalam cerita. Sebagai contoh, perpaduan antara cinta dan mistik dapat dirujuk dalam kisah Roro Jonggrang, yang berkaitan dengan Candi Prambanan. Dalam kisah tersebut, kemasifan arsitektur candi di Prambanan dipinjam sebagai simbol hasrat Bandung Bondowoso untuk memiliki Roro Jonggrang sebagai kekasih. Pada banyak cerita, cinta terbit sebagai salah satu esensi terkuat dalam hidup manusia—memberikan rasa yang mendalam, namun juga menjadi pengingat tentang lika-liku kehidupan yang sering menyertainya.
Di antara cinta dan mistik, sosok kera hadir sebagai simbol yang berdaya sekaligus berbahaya. Dua sisi ini terlihat dalam berbagai cerita, seperti Lutung Kasarung dan Sun Go Kong dalam kisah Kera Sakti. Kera sering digambarkan sebagai simbol kutukan, tetapi juga memiliki sifat kedewaan. Dalam Ramayana, sosok manusia-kera seperti Sugriwa, Subali, dan Dewi Anjani dikisahkan menerima kutukan sebagai konsekuensi dari hasrat mereka. Citra kera merepresentasikan sisi kebinatangan manusia, tetapi sekaligus menekankan kekuatan nalar yang dimilikinya.
Dalam Samsara, sosok kera tak hanya menampilkan dua sisi manusia – antara bijak dan buas. Film ini menghadirkan karakter manusia-kera sebagai satir terhadap fenomena percampuran genetik manusia. Kehadiran kera ini menyiratkan kenyataan tentang pengasingan dan diskriminasi yang dialami keturunan blasteran Eropa di Bali pada masa kolonial—baik secara genealogis maupun kultural. Samsara mengingatkan kita pada “monyet-monyet” ini—tokoh-tokoh yang kita temui dalam cerita maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Yang Klasik
Cerita dalam Samsara menyentuh serangkaian persoalan klasik, salah satunya tentang keturunan campuran pribumi-Eropa. Isu ini kerap muncul dalam karya sastra dari masa kolonial, seperti hubungan antara Minke dan Annelies dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Kisah-kisah semacam itu menghamparkan badai antara cinta dan kehinaan, kasih dan kasta, digunakan oleh para penulis untuk menggambarkan kompleksitas feodalisme di masa penjajahan. Perebutan cinta yang dilakukan oleh seorang pribumi terhadap kekasihnya yang berdarah Eropa, lebih dari sekadar kisah romansa. Ia menyiratkan simbol perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan, serta menggambarkan gejolak hati masyarakat pribumi yang merindukan kebebasan.
Di balik kisah cinta tersebut, terdapat keresahan yang mendalam—keinginan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan yang tidak hanya menekan secara fisik, tetapi juga merampas hak untuk mencintai dan dicintai secara setara. “Samsara” menghadirkan renungan ini, mengingatkan kita pada warisan sejarah yang penuh luka dan impian untuk meraih kebebasan dalam segala aspek kehidupan, termasuk cinta.
Latar feodalisme dalam “Samsara” menampilkan tegangan antara identitas dan kuasa yang hadir di berbagai lapisan, dari sisi rasial, kasta, dan gender. Posisi perempuan sebagai bule dan perempuan menghadirkan tekanan ganda di dalam semesta cerita kemasyarakatan di Bali pada masa kolonial. Tekanan itu timbul dari “keistimewaannya” sebagai bule, juga dari posisinya sebagai perempuan. Narasi kolonial sarat dengan penggambaran ketidakberdayaan perempuan dalam sistem patriarki. Posisi perempuan sering kali ditempatkan pada peran yang minim daya, berada di balik bayangan laki-laki sebagai pemegang kuasa tertinggi dalam semesta kisah tersebut.
Jika melihat lapisan dibalik layar gambar, kehadiran sosok perempuan di dalam “Samsara” mereproduksi citra yang berulang dalam karya-karya Garin Nugroho sebelumnya. Kehadiran perempuan rentan ditangkap sebagai objek, dengan kerangka karakter ketidakberdayaan yang cukup kuat. Hal ini tentu dapat kita kritik jika kita lihat dari wacana modern yang semakin tegas menentang pelanggengan citra-citra diskriminatif terhadap perempuan. Namun, citra ini juga hadir sebagai realitas, baik dilihat dari sejarah panjang fungsi tradisi dalam memberi posisi dan peran individu berdasarkan gender, yang kemudian melenceng menjadi relasi kuasa timpang, atau juga jika dilihat perpanjangan ketimpangan kuasa tersebut yang lestari hingga kini.
Selain itu, film Samsara juga melestarikan sensasi eksotisme di dalamnya, seperti pada Opera Jawa maupun Setan Jawa. Alih-alih melepaskan sejarah panjang keberadaan tubuh dan kebudayaan pribumi di dalam film sebagai objek eksotik, Samsara justru membiarkan itu nampak – membiarkan praba eksotik menyelimuti setiap tokoh, ruang, dan objek yang hadir di dalam film, begitu pula pada persoalan-persoalan “klasik” yang lain.
Sekilas, Samsara mengulang kembali masalah-masalah itu, sepintas bisa jadi kita anggap klise. Film ini memancing ragam respon dari penonton terhadapnya. Beberapa komentar yang saya dengar dan ketahui menyimpulkan persitegangan, terjadi pusaran antara kekaguman dan penolakan, yang keduanya bersumber dari elemen-elemen yang mungkin terasa kuna dan klise jika ditatap dari sudut pandang hari ini. Meskipun demikian, saya merasa film ini secara keseluruhan mengolah “kekunaan” tersebut untuk mengingatkan kembali pada hal-hal yang seput oleh arus deras modernisasi.
Yang Klise
Samsara memperkuat unsur kekunaan dalam film ini melalui aspek teknis yang khas, dengan menggunakan aspect ratio 4:3 dan warna gambar hitam-putih. Kedua elemen ini, yang merupakan salah satu format tertua dalam sejarah sinema, dihadirkan kembali sebagai upaya untuk menghidupkan kembali esensi sinematik masa lalu.
Bagi saya, aspect ratio 4:3 menciptakan komposisi visual yang lebih intim, membawa penonton lebih dekat dengan setiap detail dan ekspresi karakter. Format ini juga mengingatkan pada era awal film, di mana layar dalam format ini digunakan. Kombinasi kedua elemen ini dalam Samsara terasa tidak berhenti sebagai pernak-pernik romantisasi film lama, tetapi juga cara untuk mengajak penonton merasakan kembali fungsi sinematiknya —menghargai setiap adegan tanpa distraksi warna, dan membiarkan cerita berbicara melalui cahaya, bayangan, dan komposisi gambar yang berbeda.
Aspect ratio 16:9, dan kini format vertikal, telah mendominasi dunia film dan video yang kita konsumsi sehari-hari. Dominasi ini perlahan-lahan menghapus ingatan kita tentang keberadaan rasio gambar lain. Sejak televisi pertama kali hadir dalam format layar 4:3, industri film mulai beralih ke 16:9 untuk menegaskan bahwa film menawarkan sesuatu yang berbeda dari televisi. Kini, layar “televisi” mutakhir berupa ponsel pintar pun mengikuti tren ini, dengan layar yang semakin memanjang untuk menyesuaikan dengan format 16:9.
Dalam konteks ini, film seperti Samsara menghadirkan sesuatu yang berbeda. Dengan kembali menggunakan aspect ratio 4:3, film ini menawarkan pengalaman alternatif dari arus utama, membuka ruang bagi penonton untuk melihat dunia dari bingkai yang berbeda dari yang biasa mereka saksikan setiap hari.
Ketika saya menyaksikan Samsara dalam format 4:3, ada nuansa keseimbangan yang lebih terasa dalam setiap adegan—tidak terlalu vertikal maupun horizontal. Sorotan pada profil karakter terasa lebih intim dan kuat. Meskipun 16:9 memberikan lanskap yang lebih luas dan sinematik, format 4:3 menghadirkan lanskap dengan cara yang berbeda, menciptakan suasana yang lebih fokus dan terkadang lebih intens.
Saya menikmati komposisi gambar yang jarang saya temui dalam format 16:9. Format 4:3 memberikan “rasa” yang yang cenderung lebih segar dalam melihat, membuat saya lebih sadar akan bagaimana rasio gambar dapat memengaruhi cara kita mengamati peristiwa di layar. Tawaran-tawaran dari format 4:3 memberi sedikit perubahan rasa pada bukaan mata dan luas pengamatan mata saya. Hal ini membuat saya memperhatikan pengaruh rasio video dan film dalam mempengaruhi mata saya dalam melihat.
Tak berhenti pada bingkai, format hitam-putih juga memberi dampak pada pengalaman mencerap warna di dalam film. “Ketiadaan” warna justru memberikan keleluasaan bagi penonton untuk bebas mencerap dan menafsir warna yang muncul di dalam pikirannya. Ketiadaan warna selain spektrum hitam-putih juga melerai kasta dan klasifikasi rasa dari warna, tiap adegan tidak mudah terborgol dengan kesepakatan-kesepakatan artistik dalam menghadirkan warna-warna tertentu untuk menciptakan emosi yang dibutuhkan. Ketiadaan warna memberikan kesempatan bagi penonton untuk untuk mengalami emosi dengan cara lain, dan berkemungkinan untuk memantik pengalaman rasa yang belum familiar dan terasa asing.
Walaupun tak ada variasi warna, film ini dengan terperinci mengolah gambar sebagai ruang yang mewadahi peristiwa di dalamnya. Dari segi visual, dinamika cahaya dan bayangan mempengaruhi kontur dan kedalaman ruang. Pada beberapa adegan gambar terasa mendoatar, namun pada beberapa momen lainnya tokoh atau objek menjadi begitu timbul dan hidup dari lingkup gambar yang tertayang. Selain itu, kerjasama dari koreografer Ida Ayu Wayan Arya Satyani dan pengarah fotografi Batara Goempar tampak harmonis, saling mendukung satu sama lain. Film seringkali tidak selalu dipaksakan sebagai peristiwa tida dimensional, justru film ini menghadirkan kesadaran dua dimensional yang tinggi dan mencari materi yang tepat dari kondisi tersebut. Pada puncaknya, kerja antar unsure fotografis dan koreografis berhasil menciptakan ilusi.
Ilusi ini saya rujuk pada film-film Buster Keaton dan Charlie Chaplin yang kerap mengolah ruang dalam format film bisu agar dapat “menipu” mata penonton. Keduanya menawarkan tata gerak dan aksi tubuh yang dikerjakan dengan pertimbangan sinematografi sebagai wahana dua dimensi. Terasa sekali bahwa dua dimensi sama sekali bukan batasan ekspresi, justru menjadi kekuatan untuk menciptakan gag yang jenaka. Penguasaan teknik menjadi sangat penting, baik bagi olah tubuh, properti, set, cahaya, lensa, dan lainnya, sehingga penggabungan dari elemen-elemen itu mampu menciptakan ilusi di mata penonton. Ilusi berperan penting karena ia memudahkan penonton untuk mengalami apa yang ia saksikan dan mudah membuat penonton “percaya”.
Jika dalam film-film Keaton dan Chaplin kejenakaan menjadi pengalaman yang utama, Samsara menggunakan ilusi tersebut untuk memperkokoh jembatan perlintasan antara ruang yang realis dengan yang mistik. Sepanjang film, selang-seling ruang ini terus terjadi, seakan melebur batas kemustahilan di antaranya. Maka, ilusi memiliki peran besar dalam menjembatani kemustahilan tersebut.
Film Samsara dengan jelas menonjolkan performativitas pemain sebagai elemen penting dalam menyampaikan cerita. Salah satu rujukan yang terlihat adalah film etnografis terkenal, Trance and Dance in Bali, karya Gregory Bateson dan Margaret Mead. Dalam film tersebut, terdapat adegan ikonik di mana seorang perempuan menekan ujung keris ke ulu hatinya. Walaupun film ini dikategorikan sebagai dokumenter etnografis, performa pemain tetap menjadi elemen utama yang membangkitkan emosi penonton.
Di Samsara, performa para pemain menjadi kekuatan utama yang menghidupkan peristiwa di layar. Contohnya, kerja peran dari Gusbang Sada sebagai Raja Monyet, serta aktor Anak Monyet benar-benar mampu menciptakan getaran emosional yang kuat. Hitam-putih dalam film ini juga memberikan efek yang unik—membaurkan topeng dan wajah Gusbang Sada menjadi satu ekspresi yang tegas dan tajam.
Pengalaman visual ini terjadi dalam kebisuan, tidak ada teks monolog atau dialog yang terdengar dari adegan di film. Hal ini bagi saya melapangkan tafsir, agar lebih leluasa meresapi “percakapan” antar tokoh tanpa harus terpenjara oleh pengaruh yang timbul karena vokal, intonasi, kosa kata, atau tata bahasa. Kebisuan dalam film ini digantikan oleh keberadaan musik yang mengisi ruang bunyi dan suara yang terus mendampingi jalannya gambar dalam film. Samsara menghadirkan komposisi baru gubahan Wayan Sudirana dengan gamelan Bali yang dikerjakan secara khusus untuk menciptakan rasa ruang dari peristiwa – bergandengan dengan Kasimyn dan Ican Harem dari Gabber Modus Operandi, yang telah dikenal sebagai duo dengan komposisi musik subgenre gabber yang dipadukan dengan pola-pola musik-musik trans tradisional.
Melalui pengalaman mendengar, film dapat dirasakan begitu meluas, namun sesekali karena pengalaman bunyi pula film menjadi begitu sesak. Tempuran antara dua gaya musik ini terasa mencekik, naik-turun keduanya terus menarik-ulur kesadaran saya dari pikiran. Tidak hanya menjadi gambar yang ditonton, film ini mengajak penonton masuk lebih jauh untuk mengalami pengalaman “kerasukan sinematik”. Pada situasi tertentu, musik mengkondisikan mental untuk beradap ada kondisi awang (in-between), dan gambar yang hadir menjadi mimpi-mimpi buruk yang menghadirkan demit-demit yang mencoba merasuk ke dalam diri. Pengalaman ini bisa menjadi satu percikan tipis di dalam tubuh yang telah lama melupakan kualitas-kualitas yang transendental.
Yang Krasuk
Laju peradaban yang melesat turut memaksa kita untuk terus mempercanggih diri dengan teknologi terkini, secara konkret terwujud pada produksi film yang kian menuntut pencanggihan. Resolusi gambar yang lebih besar, piksel yang lebih rapat, warna yang lebih beragam, gerakan yang lebih halus, angle yang lebih ekstrim. Tuntutan kemutakhiran teknik dalam film membuat begitu banyak pekerjanya terpaksa berlomba di pacuan balap industry film, mengejar posisi terdepan.
Pada realitas itu, Samsara mencoba menengok ke belakang, ia mengunjungi elemen-elemen dalam film yang menghadirkan begitu banyak hal-hal yang terkesan klasik, klise, atau kuna. Baik dari segi penyusunan cerita, pengolahan lakon dan peristiwa, pemilihan teknis gambar, dan sebagainya. Meskipun tengokan pada lini waktu yang lalu tak mampu membawa kita kembali ke masa itu.
Film ini melakukan “pengulangan” terhadap beberapa hal dengan kesadaran bahwa mata yang menyaksikan telah berubah, pengulangan terhadap “yang klasik dan klise” itu dihadirkan untuk menumbuhkan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap akar-akar yang terlanjur menjerat diri kita.
Pada satu sisi, kemajuan zaman mendorong banyak orang untuk meninggalkan isu-isu yang dianggap tidak lagi relevan, seperti penindasan, penjajahan, eksotisme, atau mistisisme. Namun, Samsara adalah panggilan dari Garin Nugroho untuk memanggil kembali berbagai dedemit lampau tersebut, untuk menyadarkan kita bahwa masalah-masalah tersebut masih hidup dan merasuk dalam diri kita, berkembang menjadi hal-hal yang belum sepenuhnya kita pahami.
Film ini bisa dianggap sebagai momen untuk meraba ketidakutuhan—sebuah upaya menemukan lubang-lubang dan retakan dalam menara gading modernisasi. Samsara menghadirkan kenangan yang memudar, sebuah ajakan untuk mengunjunginya kembali sebagai proses perenungan. Kekunaan yang hadir dalam Samsara bukan sekadar nostalgia, tetapi juga kritik kepada penontonnya agar tidak melupakan masa lalu. Film ini mengajak kita untuk menengok ke belakang dan memastikan bahwa tidak ada hal-hal yang tertinggal atau hilang dalam perjalanan kita menuju modernitas.
*******
*Razan Wirjosandjojo adalah seniman yang saat ini tinggal di Solo, Indonesia. Ia menyelesaikan studinya di Jurusan Tari Institut Seni Indonesia Surakarta. Sejak 2018, Razan mulai belajar dengan Melati Suryodarmo dan kini terlibat sebagai anggota dan staf di Studio Plesungan, Berangkat dari latar belakang tari, karyanya memperluas sudut pandangnya dalam melihat tubuh sebagai sumber ide dan wahana, lalu mengembangkannya dalam wujud seni pertunjukan, seni performans, film, dan fotografi.