Pak Jokowi, Salanghaeyo!
Oleh Agus Dermawan T.
Wawancara khayalan berbasis kenyataan. Dari urusan ilham kesenian sampai urusan kenegaraan. Dari punakawan sampai ulah politik yang berjumpalitan. Dari pameran Butet Kartaredjasa: Melik Nggendong Lali.
——
Butet Kartaredjasa, kelahiran Yogyakarta 1961, adalah kenalan baik sejak sangat lama. Oleh karena itu untuk mewawancarainya secara langsung tentu gampang saja. Namun hal itu tidak saya lakukan. Saya memilih untuk wawancara dalam imajinasi saja. Alasannya, dalam wawancara khayalan Butet lebih bebas dan lebih banyak melontarlan jawaban. Dalam wawancara imajiner, Butet tidak bisa main diplomasi untuk menyembunyikan segala yang rahasia dari pikiran dan isi hati.
ADT (saya): Hebat, sejak 8 tahun lalu Anda melukis lagi!
BK (Butet Kartaredjasa): Dari dulu saya melukis terus, di tengah kesibukan kerja yang lain. Berteater, sakit, dan ngurus restoran.
ADT: Dalam pameran tunggal Goro-goro Bhinneka Keramik pada November 2017, Anda menampilkan lukisan dalam keramik. Kok melukis di atas keramik? Padahal seniman lain melukis di atas kanvas.
BK : Sejak dulu manusia melukis di atas apa saja. Sekarang saya milih lempengan keramik. Pilihan penciptaan medium seni itu mengikuti dua jalan putaran, yakni “siklus perasaan” dan “siklus zaman”. Siklus perasaan menghantar saya kepada keinginan hati untuk memakai medium keramik. Siklus zaman menghantar saya untuk mengaktualisasi lagi seni keramik yang sangat kuno itu. Agar tidak dilupakan.
ADT: Dengan keramik, Anda tampak terbatasi untuk berkreasi dalam bidang lebar.
BK: Berekspresi di bidang kecil lebih fokus dan lebih asyik. Ingat, roh utama kesenian itu adalah keasyikan. Yang tidak mengandung keasyikan itu bukan kerja kesenian. Itu kerja paksa, kerja rodi.
ADT: Apa kelebihan lukisan keramik dibanding lukisan di atas kertas atau kanvas?
BK: Lukisan di atas keramik tak bisa luntur, tak bisa berubah warna, karena semua komponennya ikut diproses dalam pembakaran. Lukisan keramik lebih menjanjikan keabadian. Orang Tiongkok zaman dulu mengumpamakan seni lukis di atas keramik itu seperti seharusnya hakikat keadaan seorang manusia. Yang jadi matang setelah diproses. Dan kemudian tidak luntur sifat dan wataknya meski digerus dan diganggu oleh situasi zaman.
ADT: Ah, kalau jatuh, keramik bisa pecah juga!
BK: Itu lain persoalannya. Itu musibah yang berkait dengan musabab. Kanvas atau kertas kalau kecantol paku juga bisa sobek. Apa saja bisa rusak apabila berdekat-dekat dengan biang pengoyak. Contohnya : pikiran hakim politik yang semula bijak, bisa mendadak njeblak. Penguasa politik yang dulu lurus jalannya, bisa belok ke mana-mana. Etika politik Immanuel Kant dilupakan. Kedalaman fisafat kebajikan Jawa dimatikan. Mereka bisa berubah apabila berdekatan dan bergesekan dengan sumber perusaknya.
ADT : Wah, Anda pelan-pelan masuk ke politik.
BK : O ya. Nggak sengaja.
ADT: Banyak lukisan Anda yang merangsang senyum, dan mengajak tertawa. Seperti lukisan Semar dengan teks “Rejeki mriki, Santhet Minggat”. Kok humor melulu isinya?
BK: Saya menganggap hidup ini permainan yang harus dilakoni dengan kegembiraan. Makna yang hadir lewat pintu suka cita akan hidup lama dalam perasaan dan pikiran. Ia akan tumbuh sebagai energi positif.
ADT: Dalam satu karya, Anda melukis Presiden Jokowi dengan imbuhan teks Urip Mung Mampir Ngguyu. Jokowi agaknya teman tertawa Anda. Kelihatannya Anda mencintai benar Jokowi.
BK: Wah, saya hormat dan cinta sekali sama beliau. Pak Jokowi, I love you! Pak Jokowi, salanghaeyo! Oleh karena itu saya selalu ingin tertawa bersamanya. Lantaran itu pula, apabila beliau melakukan sesuatu yang tampaknya keliru, saya menyampaikan nasihat kepadanya. Saya bertindak seperti punakawan dalam wayang saja : meluruskan sikap majikan, Sang Pandawa, yang sekali-sekali bisa lupa. Sebaliknya, kalau punakawan yang terbukti bersalah, ya ditegur dan diguyoni saja.
ADT: Bagaimana nasihat itu akan disampaikan?
BK: Banyak cara. Lewat surat apabila bisa. Lewat Whatsapp jika diterima. Lewat pembicaraan langsung jika ada pertemuannya. Atau lewat monolog yang saya pentaskan di mana saja. Bahkan lewat pameran tunggal saya yang kedua, Melik Nggendong Lali, 26 April sampai 25 Mei 2024 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, yang dikuratori Asmudjo Jono Irianto.
ADT: Melik Nggendong Lali, apa tuh?
BK: Artinya, sikap yang selalu ingin dapat berlebih, menyebabkan orang lupa diri. Orang yang diberi kekuasaan banyak, tapi ingin memiliki kekuasaan lebih banyak lagi, sama dengan menggali jurang untuk dirinya sendiri.
ADT : Anda seperti mengingatkan keriuhan peristiwa politik negeri Indosana baru-baru ini.
BK: Bukan cuma mengingatkan, tapi membeber kembali semua kejadian ganjil politik, dalam bentuk karya seni, dengan imbuhan metafora visual yang berusaha apik. Tujuannya, tentu ini versi saya : untuk pelurusan moral politik.
ADT: Anda nggak takut dicokok tentara atau polisi, dan kemudian dibui sebagai seniman yang menguar-uarkan provokasi?
BK: Tidak. Saya yakin pemerintah Indosana sekarang demokratis. Sangat demokratis, karena dihuni oleh orang-orang yang pada dasarnya benar-benar bener. Hanya ada satu dua yang kadang keblinger.
ADT: Ada patung Anda yang menggambarkan Pinokio memakai pakaian Amangkurat. Kenapa harus Pinokio dan Amangkurat?
BK: Dalam buku Pinocchio yang ditulis Carlo Collodi, dikisahkan bahwa setiap kali Pinokio bicara bohong, hidungnya jadi panjang. Jika beberapa kali bohong, hidungnya semakin panjang. Pinokio mengenakan busana dan mahkota Amangkurat I, Raja Mataram yang terkenal payah dan suram. Ada yang mengaitkan itu dengan kepemimpinan politik. Padahal tidak. Itu cuma lucu-lucuan saja.
ADT: Ah, Anda bohong.
BK: Hahaha. Mungkin agak bohong. Tapi bohong itu ada dua, lho. Yang pertama bohong betulan, itu namanya bodhong. Yang kedua, bohong metaforis, itu disebut “kebenaran yang disamarkan”. Bohong saya, bohong yang mana?
ADT: Dengan Pinokio dan Amangkurat I, Anda sepertinya ingin menciptakan lambang politik-negatif untuk Indonesia. Itu seperti mengambil jalan kebalikan dari kartunis Thomas Nast, yang mencipta lambang politik-positif bagi masyarakat Amerika.
BK: Secara tak sadar seperti itu. Sejak abad 19 Thomas Nast memperkenalkan gambar keledai berkulit singa, metafora dari keledai yang cerdas dan berani, untuk Partai Republik. Pada saat lain ia memperkenalkan gambar gajah yang kuat dan bermartabat untuk Partai Demokrat. Sampai 150 tahun lambang keledai dan gajah tersebut dipakai oleh kedua partai itu.
ADT: Lambang politik-negatif untuk Indonesia sudah ada. Tapi Anda belum bikin lambang politik-positifnya.
BK: Lha saya belum pernah melihat kesejatian “politik-positif” di Indonesia. Bagaimana melambangkannya? Uuaasuuuwok.
ADT: Anda juga membuat lukisan Matahari Nusantara serta relief tembaga berjudul Kesuburan Nusantara dan Lingkaran Nusantara, yang semuanya berelemen tulisan kaligrafis Nusantara. Anda cinta benar kepada Nusantara?
BK: Luar biasa cinta saya. Tulisan itu semacam wirid, atau doa, atau zikir, agar Nusantara tetap besar, meski beberapa pemimpinnya sedang kesasar. Itu juga harapan, agar yang tadinya kesasar segera jadi sadar. Dan segera membangun Nusantara menjadi besar. Mungkin IKN, Ibu Kota Nusantara di Kabupatren Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, adalah salah satu tanda bagusnya.
ADT: Ada kabar kabur para kurator benda seni Istana IKN, Rifky “Goro“ Effendy, Li Fhung dan Agung Hujatnika berkeinginan memajang sejumlah karya Anda yang ada di dalam pameran Melik Nggendong Lali. Hanya kabar burung saja.
BK: Wuaahh… maturnuwun. Tapi bukankah ada orang-orang di sana yang alergi terhadap saya. Saya ‘kan sedang jadi residu politik, karena tak hentinya protes.
ADT: Di negeri demokratis, tidak ada rumus politik menyingkirkan seni. Karena seni adalah sahabat politik.
BK: Amicus politica. Betul. Ars est amicissimi rei publicae.
ADT: Anda juga bikin gambar yang mengomposisikan aksara Butet Kartaredjasa sehingga membentuk kata ASU. Saya sama sekali tak percaya Anda itu asu, atau anjing.
BK: ASU itu singkatan Anake Seniman Ulung… Jangan lupa, saya itu anaknya Bagong Kussudiardjo, lho. Pelukis, pematung, koreografer dan penari hebat Indonesia sepanjang masa…
ADT: Anda melakoni seni apa saja dengan intens dan penuh semangat, sejak 1980-an. Selain melukis, ya main teater, main film, bermonolog, baca puisi, jadi stand-up comedian, mengolah musik bersama Djaduk Ferianto, si adik almarhum. Anda juga suka menulis. Mengapa Anda tega memborong semua itu?
BK: Mengerjakan satu saja, boleh. Mengerjakan banyak-banyak sekaligus, juga tidak salah. Yang penting semua didasari tiga sikap utama. Pertama madep, yakni menghadap ke arah tujuan yang jelas, dan punya perspektif. Kedua karep, kemauan keras untuk menjalankan segala yang kita niati. Ketiga mantep, atau keyakinan diri untuk melakukan semua itu.
Kalau tiga sikap itu sudah terangkum, seseorang bisa dengan baik menjalankan kehidupannya. Meski lanzaam, alon-alon, pasti kelakon. Ingat ungkapan Jawa: sopo sing tekun nggolek teken mesti tekan. Siapa yang rajin mencari pegangan hidup, pasti sampai ke titik yang dicita-citakan.
ADT: Waduh, serius benar Anda, saya sampai tegang mendengarnya.
BK: Negeri kita memang senang ketegangan. Tapi jangan lama-lama tegang. Ayo ngguyu bebarengan!
ADT: Oke. Terima kasih Butet.
BK: Sama-sama!
Suara Butet terdengar jauh di angkasa raya. *
—
*Agus Dermawan T. Pengamat seni rupa. Penulis Buku-buku Budaya dan Seni.