Sajak-sajak Seno Joko Suyono

Doa seorang Sadhaka

 

Sebagai seorang sadhaka ajaran lelulur Sriwijaya

Pagi ini aku memohon Avalokitesvara, sang welas asih

Untuk menolak bala

Mengembalikan air meresap ke tanah

Menyulap bencana menjadi berkah tak terduga

 

Sudah jutaan  umat diselamatkan tatkala mantra ini terucap

Kini lihatlah bibirku kelu mendaras

Aku berharap,  tangan sang dewi yang berjumlah sepuluh

Akan menjulur ke segala penjuru yang tergenang

Satu di Mandailing , satu di Pasaman Barat, satu di Medan, satu di Tapanuli, satu di Serdang

Satu di Padang Sidempuan, satu di  Pidie Jaya,satu di  Bireun,  satu di Tamiang, satu di  Gayo

 

Tangan-tangan gaib, tak terlihat

Akan terus bertambah, 12, 14, 16…berlipat-lipat

Hingga semua yang menangis akan terseka wajahnya

Oleh karma baik dari masa lalu yang  muncul

Tanpa menunggu matang beratus-ratus tahun kelahiran nanti

 

Tangan itu akan menahan longsor tebing-tebing

Melembutkan air bah, menyuapkan  makan ke pengungsi

Mengirim logistik tambahan sampai ujung-ujung

 

Kugali halaman-halaman candi, dari Muoro Jambi sampai Padang Lawas

Kucari peripih-peripih keselamatan yang ratusan tahun lalu ditanam

Akan kubaca lagi mantra-mantra pelindungnya

Kusatroni gudang-gudang museum, kucari  prasasti-prasasti sapata

Kuteriakkan keras  mengutuk para pejabat penjual hutan

 

 

 

Menghadang Air Bandang  

 

Kukumpulkan lagi lempeng-lempeng kecil timah dari dasar  Sungai Batang Hari

Kucari aksara-aksara tertoreh  yang mampu menghangatkan tubuhmu

 

Swaha ri dina ci rakṣa rakṣa….

 

Dapatkah kalimat ini, memeluk tubuhmu  yang menggigil?

Dapatkah penggalan-penggalannya meredam isak tangismu

Dapatkah rajah-rajahnya menghancurkan balok-balok kayu

Yang oleh air bah dibawa  menghantam rumahmu?

 

Atau: Swahah saya swahan….

 

Adakah awal kata  di lempeng 11,9 cm x 1,1 cm itu

mampu membangkitkan  harapan pertolongan  di keputus asaanmu ?

Katakanlah , aku berdiri di perempatan itu,

Tanganku terangkat – dan mendaraskan kalimat pembuka di atas

Lalu menghadang bandang jahanam itu

Apakah kamu membayangkan

Air  bisa berhenti , atau surut sekejap?

 

Aku dengar, dirimu lari ke atas bukit ,selamat  alhamdulillah

Namun ibumu yang ada di desa bawah

Karena kakinya lumpuh – masih terisolasi

 

Kupersiapkan kesunyianku untuk mendoakanmu dan ibumu

Jangan, jangan bawa prasasti timah yang kutemukan ke kolektor durjana

Ia akan membeli dengan harga murah

dan menyimpan di rak-rak kaca sebagai tontonan para duta besar

 

Jangan pula serahkan ke akademisi di kampus

Yang hanya mengkajinya untuk keperluan jurnal scopus

 

Hari ini:  Kusunyikan diriku untuk persiapan permohonan

Aksara-aksara aus  itu aku yakin bertuah

 

 

Sebuah Hotel di Kawasan Bassac Lane, Phnom Penh

 

Di sebuah lift sempit

Aku berpapasan dengan seorang perempuan

Menggendong bayi sehat

 

“Saya mau pulang

Di Poinpet , sudah terdengar tembakan-tembakan,” katanya

“Banyak yang mengungsi,”

 

Mungkin di  kota perbatasan Kamboja-Thailand itu

Dia bekerja staf judi online

Atau karyawati kasino

Atau mungkin pemasok info sindikat penjualan ginjal, aku tak tahu

 

Yang hanya aku ingat suatu kali aku pernah

Direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan

di kantor imigrasi  Thailand, kotanya itu

 

“Saudara hendak ke candi Sdok Kok Tom, mau apa?”

“Candi itu dulu tempat prasasti yang menyebut Jayawarman 2,

Leluhur Anda, pernah tinggal di kampungku di Jawa,”jawabku

“Maksud saudara apa? Ini candi kami,” sergah petugas itu

 

Dan kini kantor imigrasi Thailand-Kamboja di Poinpet tutup

Dari mata perempuan itu aku melihat ledakan-ledakan masih akan terjadi

Tentara merangsek dari candi-candi , Preah Vihear, Ta Krabei di pegunungan Dangrek

Menuju ke candi-candi kawasan perbatasan Poinpet

 

Kota Judi Poinpet mungkin tak seramai dulu sekarang

Aku ingat, setelah lolos dari pertanyaan-pertanyaan menyebalkan

Dan pungli – loket-loket stempel visa

Aku terpaku memandang replika prasasti Sdok Kok Tom

Membayangkan Jayawarman 2 , lama tinggal di Lembah Kedu

 

*Seno Joko Suyono penah kuliah di Fakultas Filsafat UGM. Mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF)  di tahun 2012 dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pernah bekerja sebagai redaktur kebudayaan di Majalah Tempo. Sekarang penulis lepas, dan dosen tak tetap di di prodi teater IKJ serta belajar arkeologi di FIB UI.  Ia menulis dua Kumpulan puisi: Di Teater Dionysos (2020) dan Marka (2024).