Puisi-puisi Warih Wisatsana 

BERSAMA MADE WIANTA KE APUAN 

Tiga tikungan lagi
         tak kunjung sampai
         kampung halaman 

Begitulah berkali kita bertanya
ke barat atau ke timur melipur umur
Berulang menimbang peruntungan
di tiap tikungan, akankah diri sampai
             atau selesai sebelum hari usai? 

Hujan lalu menderas pada kanvas
digenangi cahaya dan bias warna
di mana malam tertidur 

dalam napas lembut anakmu 

Wajah terkasih yang terus membayang
pada kaca kereta yang laju lintas bangsa
pada grafiti hampa segala dinding kota 

Kau siaga                          Terjaga
menoreh kata                  disekap lamunan
meluapkan apa saja        dingin angan
di sembarang rupa          igau risau penumpang
                                           penerbangan dini hari
                                           di ketinggian tak bertepi 

Menyaksikan bukan bulan merah separuh
tetapi langit yang seolah terbelah
sebuah jendela melayang di udara
Kota demi kota membiru hijau atau kelabu
melintasi garis batas cemas batas napas
nun di kejauhan bawah sana 

Teringat nasehat, bila kelak sesat
                lupa alamat sahabat
bagai pohonan heninglah sejenak
dengar ricik air bening masa kanak
Seketika kau terbayang jalan pulang
                 ibu menunggu di tepi waktu
Kenangan riang kawan sepermainan
tabuh gamelan semalaman di pura kawitan
bersisian pengharapan masa depan
dalam alunan panggilan
                            tiket terakhir
                           pesawat terakhir 

Pada lengang kanvasmu ini
ada perempuan penyendiri
               membaca buku berkali hingga dini
menenggelam diri dalam baris puisi
memikirkan pikiran merasakan perasaan 

Ya, tiga tikungan lagi
       ke kanan adakah jalan masa depan
       ke kiri sungguhkah tiba di buntu hari 

Berdoa atau berdiam saja
dunia seakan tak merasa kehilangan kita 

 

BERSAMA HENDRA GUNAWAN KE TRUNYAN
Kepada : Tjie Jehnsen

Bila nanti tiba di seberang
Ingatkan kami jalan pulang 

Sesampai di tepian, ikan-ikan kecil berlompatan
Akar-akar terjulur menembus batuan. Bagai ucapan
selamat datang, hujan menderas menggenangi petang 

Apa sebenarnya yang kami cari di sini?
Apa yang sesungguhnya membimbing kami
Berlayar melintasi danau sejauh ini ? 

Di sini, di desa tua ini, si mati tertidur di bawah pohonan
Ribuan hari berdiam diri namun masih mewangi
Hanya senyap menjawab sewaktu kami berbagi pandang
Dirundung tanya berulang, tak percaya tubuh indah itu
Luruh berserah ke tanah. Tubuh pualam malam
Yang meremang bayang tersentuh kilau bintang 

Tubuh perempuan terkasih dalam lukisanmu
Yang tak kunjung selesai meluapkan hidup
Hijau sehijau belantara, biru sebiru hampa angkasa
Di mana segalanya mungkin bermula
Sebelum jagat raya tercipta sebatas cerita 

Di sini, di desa tua ini, si mati tertidur abadi
Berlimpah mantra menyapa tanpa suara
Seakan ingin merahasiakan muasal leluhur
Yang berdiam di kedalaman danau ini
Yang bermukim di puncak gunung tinggi 

Sebab tak ada yang sehening hutan lindung ini
Kami susuri seluruh diri, bertanya berkali
Apa sejatinya yang ingin dipahami
Semadi rahasia da tonta di tepi hari si mati
Atau sapuan kuasmu yang melepas bebas warna
                  hingga ke ambang cahaya
Di mana ikan-ikan kecil berdoa di tepian
Mengingatkan waktu sehembus nafas di batuan
Bila kelak akhirnya kami kembali pulang
Ingatkan segala yang lancung
tak tertinggal di seberang 

 

PIODALAN SUKAWATI
        Kepada : Erawan

Berhutang pada siapakah hidup ini ?
Di dekat rumahmu sebelum gang buntu
sekelok sajak dari masa kanak
dengan tekun dan sabar para penjaja itu
mengacungkan berulang patung budha
tak peduli torehan kasar atau pahatan tak selesai
menodai wajahnya yang hening 

Berayun dalam keranjang
melampaui siang hingga petang nanti
sang welas asih itu berdesakan bersama patung lain
perempuan jelita dengan dada terbuka hampa
kawanan tikus kecil yang lunglai terjuntai
juga petani-petani tua berwajah bijaksana
kerutan usia mereka sungguh nyaris serupa 

Para penjaja itu menghampiri siapa pun
mengulang tawaran nasib baik yang sama
sambil mengingat sebungkus nasi seteguk kopi
harga hari tak terganti sebelum mati melunasi janji 

Namun seperti biasa sang welas asih
masih terus memejamkan mata
seakan tak tergoda nyanyian duniawi
alunan angan sorgawi
bujukan suka duka yang percuma 

Ya, berhutang pada siapakah hidup ini? 

Dalam nanar tanya
dalam selubung bayang
            yang mengelabui pandang
Lihat kini gantungan kunci kayu itu
tiruan lingga yoni yang sempurna
menggoda batin hingga ke alam niskala
merasa sudah sungguh wanaprastha
nyatanya tak kunjung jadi pendeta 

padahal telah direntang garis dan warna
telah dibentang segala aksara
melampaui semua mantra
serta seluruh rajahan rahasia
Berkali mengiringi arakan lembu dan naga banda
siang malam dirundung kidung juga gamelan
dalam beragam upacara dalam aneka yadnya
tikungan demi tikungan tak sampai tujuan
jauh nian jalan ke kawitan 

Para penjaja itu terus mengacungkan patung budha
kuyup hidup tak menemu menemu jawab
hutang piutang ini pun tak kunjung selesai terlunasi 

Sang welas asih hening sempurna memejamkan mata 

 

Kota Kita 

Bagaimana akan kita tinggalkan kota ini
Setiap orang menunjukkan arah yang salah 

Seharian menyeberangi jembatan layang
dirundung bayang gedung menjulang
Seharian gamang bertanya
sesat di ujung jalan yang sama
simpang bimbang yang sama
Dalam beragam pilihan yang selalu salah pilih 

Bertanya pada perempuan-perempuan di tikungan
ini utara atau tenggara, minggu ataukah sabtu?
Risau dan ragu, sungguhkah ini bukan kota kita? 

Bagaimana akan kita tinggalkan tanya ini
Setiap arah menunjukkan orang yang salah 

Selalu bertemu lelaki tua
yang bermain catur sendirian
Perempuan muda melankolia
yang mengerling hampa 

Atau seorang ibu yang tak henti menggerutu
berkeliling taman dari petang hingga malam
sambil menuntun anjing kecilnya yang lucu 

Berkisah ia tentang tuhan yang ingkar janji
tentang kekasihnya yang tak kunjung kembali
Hilang entah di belahan kota yang mana
jadi polisi atau mungkin sekalian pencuri 

Entah bagaimana mulanya, kita bertemu lagi
pesulap jalanan. Ia mengulurkan mawar
perlahan mekar. Tiba-tiba menjelma burung dara
Seketika pula lenyap menjadi sehelai sapu tangan 

Ia menawariku pil penenang
Membujukmu meninggalkanku
pergi ke rumah sakit
mengunjungi sahabatnya
terbaring di ranjang bertahun
mengulur umur sendirian 

Begitulah berkali ia meyakinkanku
bahwa dirimu si penyembuh yang ditunggu
kuasa mendengar detak waktu di dalam batu 

Bahwa setiap orang serupa sebuah kota
di dalam dirinya tersembunyi diri yang lain
berulang tenggelam dalam kubangan malam
gang demi gang
lorong demi lorong 

Sesuram belitan jalan tikus ke masa silam
Atau seriang tupai melayang
entah ke masa depan
mungkin pula semata lamunan kenangan
pohon sebatangkara yang menua terlupa 

Lalu terbawa rasa hampa
menjauh dari lengking ambulans
dari pemadam kebakaran
                         dari virus desas-desus
Menjelang petang kita tergoda
menyentuhkan tangan
ke lampu-lampu taman 

Membayangkan bumi
tak lebih dari seekor kunang-kunang
melayang tak berkawan di jagat raya
Sungguhkah tercipta
dari setetes cahaya bintang mati
Sesudah itu bagai buah pasrah berjatuhan
letih kita tertidur di rumputan
dengan mata layu terbuka 

Terbangun dini hari oleh tetes hujan
sayup kereta bergegas di kejauhan
risau dan ragu, sungguhkah ini kota kita 

Terbangun tanpa ingatan tanpa kenangan
Dirundung tanya yang sama
simpang bimbang yang sama
Dalam beragam pilihan yang selalu salah pilih 

 

—–

 Warih Wisatsana 

Penyair, esais, editor, dan kurator seni. Meraih Taraju Award, Borobudur Award, Bung Hatta Award, Kelautan Award, SIH Award, Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali (2020), Bali-Dwipantara Nata Kerthi Nugraha dari ISI Denpasar (2022), dan World Peace Artist Award dari Arts & Culture, Korea (2023). Diundang festival nasional dan internasional: Istiqlal International Poetry Reading (1995), Utan Kayu Internasional Literary Biennale (2003 dan 2009), Winternachten Den Haag (1997), Inalco Paris (1998), Ubud Writers and Readers Festival, Printemps des Poetes (Indonesia-Perancis), dll. Puisinya diterjemahkan ke bahasa Korea, Belanda, Italia, Inggris, Jerman, Portugal, dan Perancis. 

Buku puisi tunggalnya; Ikan Terbang Tak Berkawan (Kompas, 2003), May Fire and Other Poems (Tiga Bahasa, Lontar, 2015), Batu Ibu (KPG, 2019) Lima Terbaik Kusala Sastra Khatulistiwa 2018 dan Buku Puisi Terpilih Rekomendasi Tempo 2018, serta Kota Kita (Sahaja Sehati, 2018) Lima Besar Buku Puisi Pilihan Anugerah Hari Puisi 2018. Kelananya di Paris dibukukan dalam Rantau dan Renung II (KPG dan Forum Jakarta – Paris, 2002) bersama Toeti Heraty, Sitor Situmorang, Rahayu Supanggah, Slamet Abdul Syukur dll. 

Kurator seni nasional dan internasional; Pameran Seni Rupa “Artist from Elsewhere-Two Art Brut Artist from Indonesia” (2014), Festival Sastra Internasional-Emerging Writers UWRF (2017-2019); Pameran Bali Megarupa (2019), Pameran Kolosal Bali Kandarupa (2021, 2022, 2024), Pameran Mural Serangkaian World Culture Forum di Bali (2016), Bali Internasional Literary Simposium 2019, Festival Seni Bali Jani (2021, 2022, 2023, 2024). Kurator Pameran Internasional Bali-Bhuwana Rupa, Institut Seni Indonesia Denpasar (2021, 2022, 2023), Pameran Internasional Bali-Global Art Map Exhibition (B-GAME) ‘Kala-Manawa-Kalpa’, serangkaian Bali-Global Axis of Arts and Design (B-GAAD) 2024, diantaranya bersama Dr. Setiawan Sabana, Prof. Dr. Wayan Kun Adnyana, Leila S. Chudori, Putu Fajar Arcana, I.B Martinaya, Seno Gumira Ajidarma, Seno Djoko Suyono, Wicaksono Adi, Anak Agung Gede Rai, Dr. Jean Couteau, Jang Shin Jeung (Korea Selatan), Jeon Dongsu (Korea Selatan) dll. 

Pernah kolaborasi dengan perupa Made Wianta, Nyoman Erawan, koreografer Nyoman Sura, koreografer Miroto dan lainnya. Sutradara Odipus Sang Raja bersama koreografer Nyoman Cerita dan Nyoman Wenten; Pagelaran Cinta Tak Pernah Sederhana, sutradara Agus Noor, produser Happy Salma (Titimangsa, 2019). Koordinator budaya Lembaga Kebudayaan 

Perancis, Alliance Francaise (AF) Denpasar dan selama 12 tahun menjadi pengelola dan kurator Bentara Budaya Bali. Kini sebagai redaktur di Katarupa.id dan halaman puisi Harian Nusa Bali. 

Akun Instagram : @wisatsana_warih
Akun Facebook : Warih Wisatsana
Alamat Email : wisatsana.w@gmail.com