Puisi-puisi Abdul Wachid B.S.
BALADA DJOKO KAHIMAN
Siang pernah membuka jalan
di hutan Kejawar
saat seorang bocah
belajar diam
lebih lama
daripada berkata.
Ia dibesarkan oleh sunyi,
oleh doa yang tidak dipamerkan,
oleh padepokan
yang mengajarkan:
kekuasaan
lahir dari kesanggupan
menahan diri.
Ketika ilmu dirasa cukup,
ia pergi
tanpa kuda,
tanpa panji.
Hanya tubuh muda
dan tekad
yang tidak banyak meminta.
Di Wirasaba
ia menjadi pencari rumput,
menunduk di ladang,
menghafal bau tanah,
belajar bahwa
rakyat tidak tumbuh
di singgasana,
melainkan di lumpur
dan peluh.
Malam Jum’at Kliwon datang
tanpa aba-aba.
Cahaya menyala
dari tubuhnya,
bukan nyala kesaktian,
melainkan tanda
bahwa sesuatu
tidak bisa lagi disembunyikan.
Sarungnya robek,
rahasia terbuka.
Nama yang lama ditanggalkan
kembali mengetuk pintu sejarah.
Ia anak bangsawan
yang memilih rendah,
bukan tinggi.
Fitnah berlayar ke Pajang
lebih cepat
dari kebenaran.
Adipati dibunuh
oleh salah isyarat,
oleh jarak
dan kuasa
yang tergesa.
Darah jatuh
di hari Sabtu Pahing,
pindang angsa
menjadi saksi.
Tiga larangan lahir
bukan dari takhayul,
melainkan luka
yang ingin diwariskan
sebagai ingatan.
Ketika semua gentar
menghadap Sultan,
Djoko Kahiman melangkah.
“Jika aku mati,
aku ikhlas,” katanya.
Kalimat pendek
yang beratnya
melebihi tombak.
Di Pajang
tak ada kemarahan.
Yang ada pengakuan.
Ia diangkat
bukan karena darah,
melainkan karena watak.
Menjadi
Adipati Wargo Utomo II,
Adipati Mrapat,
penguasa yang membagi,
bukan menimbun.
Wirasaba, Banjar, Merden, Kejawar
dibagi seperti roti,
agar tak ada
yang lapar kuasa.
Ia memilih Kejawar,
tanah sederhana,
tempat manusia
masih saling memanggil
dengan suara utuh.
Djoko Kahiman tahu:
negeri tidak diselamatkan
oleh satu tangan,
melainkan oleh keadilan
yang dibagi rata.
Ia tidak meninggalkan istana megah.
Ia meninggalkan
cara berpikir.
Bahwa cerdik
tidak harus licik.
Bahwa kuasa
tidak harus kejam.
Bahwa pemimpin
boleh terang,
asal tidak membakar.
Dan hingga kini,
nama itu berjalan
di mulut rakyat Banyumas
seperti doa pendek:
pelan,
tapi hidup.
2025
BALADA SENAPATI BANYAK WIDE
Kabut Banyumas menggulung di lembah
seperti kain sutra para roh,
Pohon jati menunduk,
menyimpan suara gemerincing tanah yang merintih.
Banyak Wide, Tumenggung,
menahan bumi di pundak mudanya,
Langkahnya memecah sawah,
basah darah sejarah, janji yang tak padam.
Pedang besi di tangan, hati tetap air dan tanah,
Bulan memerah di atas jurang,
mata musuh menembus tapi tak menaklukkan.
Sungai berbisik lirih:
“Lari, tapi jangan tinggalkan janji,”
Keberanian melekat di kulitnya
seperti lumut purba di batu suci.
Seribu prajurit mengikuti bayangan langkahnya,
Seribu daun menari di angin malam,
menabuh gamelan yang tak terdengar.
Diponegoro memanggil dari jauh,
suara bersambung dengan gema:
“Banyak Wide, jagalah tanah, darah,
dan janji yang terpendam!”
Langkahnya menundukkan bumi,
Ia menyerah di Kemit, tertangkap di medan laga,
Di Ternate, tubuh terasing,
namun jiwa tetap bersinar,
menembus batas pembuangan,
Bukan pada waktu, bukan pada sejarah,
Benih keberanian tetap tumbuh di Banyumas,
Di Purwokerto, di garis darah Margono,
Hingga cucu buyut yang gagah,
Menjaga janji, menapaki langkah para leluhurnya.
Malam tanpa bulan, bayangan menunggu kata:
“Pedangku bukan untuk mati,
tetapi untuk mengingat,
Nama kita, darah kita, janji kita.”
Kabut menelan suaranya,
Namun tanah, angin, dan hutan
memanggil namanya seribu kali.
Banyak Wide, Tumenggung abadi,
Langkah menoreh legenda,
pedang menulis sejarah di sawah dan hutan.
Darahnya mengalir ke masa depan,
Ke cucu buyut yang berdiri di puncak sejarah,
pemegang api dan janji.
Banyumas menangis kabut, tanah bergetar,
Banyak Wide, Tumenggung setia,
Nama dan langkahnya abadi,
Pedang di tangan, api di dada,
Nyala, tak tertaklukkan.
2025
BALADA PAKEONG
Di kaki Slamet,
ketika kemarau mengeras seperti rahang waktu,
beruk digantung di antara bumi dan dada manusia,
batok tua yang tak meminta bentuk lain
selain rongga.
Di dalamnya:
genting pecah,
koin berdesakan,
tiga puluh sembilan sambetan
menunggu lubang
seperti doa menunggu retak.
Bumi menahan haus,
langit menahan jawab.
Kemenyan putih dibakar pelan,
asapnya tidak naik lurus,
ia berbelok,
seperti ingatan yang mencari jalan pulang.
Tembang tua dilantunkan,
bukan untuk memerintah hujan,
melainkan menyapa yang telah lama diam:
Sulasih,
para bidadari,
nama-nama yang pernah jatuh
menjadi air.
Suara itu tidak keras,
ia bergetar di batas
antara kata dan niat.
Tiga tangan menggerakkan beruk:
naik …
turun …
naik …
turun …
Irama ini bukan tarian,
melainkan kesabaran yang diulang.
Langit diajak mengingat bumi,
bumi diajak percaya pada langit.
Bunyi di dalam batok beradu,
bukan gaduh,
melainkan rapat kecil
antara logam, tanah, dan harap.
Naik … turun …
naik … turun …
Waktu melingkar,
tak ingin cepat.
Lubang kecil lahir pertama,
seperti mata bayi
yang baru belajar terang.
Lubang itu membesar
bukan karena dipaksa,
melainkan karena diizinkan.
Semakin lapang rongga beruk,
semakin lapang dada langit.
Bumi dipanggil Biyung,
langit disapa Rama.
Bukan mitos,
melainkan tata krama semesta.
Biyung membuka ladang,
Rama menurunkan pelukan,
dan manusia berdiri di tengah,
menjaga agar keduanya
tidak saling melupakan.
Tak ada panggung,
tak ada sorak.
Pakeong berjalan sunyi,
di ladang,
di pinggir kampung,
di tubuh orang-orang yang berpuasa gerak.
Ia bukan tontonan,
ia laku.
Ia bukan festival,
ia janji
yang diwariskan melalui nasab,
bukan selebaran.
Cowongan menari di tempat terang,
boneka dipakaikan wajah.
Pakeong tetap memilih batok,
tanpa rupa,
tanpa rias,
tanpa perlu menjadi siapa-siapa.
Yang satu bernyanyi di mata banyak orang,
yang lain bekerja di bawah langit
yang jarang disaksikan.
Ketika hujan datang,
tak ada yang bertepuk tangan.
Air turun
seperti keputusan yang matang.
Sawah membuka hijau,
tanah menelan basah
seperti mengingat masa kecilnya.
Beruk diturunkan,
kemenyan padam sendiri,
doa pulang ke dada
yang lebih ringan.
Kini,
beruk tergantung di ingatan,
tembang berdebu di tenggorokan waktu.
Sedikit yang masih tahu
gerak naik-turun itu
pernah menyelamatkan musim.
Pakeong hampir punah,
bukan karena salah,
tetapi karena sunyi
tak lagi disukai.
Namun selama bumi masih disebut Biyung,
dan langit masih disapa Rama,
Pakeong belum selesai.
Ia hanya menunggu
tangan yang mau mengulang gerak,
dan hati yang berani percaya
bahwa hujan
kadang datang
karena kesabaran
lebih dulu bekerja.
2025
BALADA RONGGENG BANYUMASAN
Malam turun di lapangan desa
tanpa mengetuk pintu siapa pun.
Tanah diratakan seadanya,
lampu petromaks digantung
seperti bulan lelah
yang bersedia menjadi saksi.
Ronggeng muncul
dari balik tirai bambu.
Wajahnya biasa,
tubuhnya tidak membawa niat buruk,
tapi mata orang bisa membawa dusta.
Ronggeng… ronggeng…
dudu setan dudu malaikat,
sing rumangsa paling resik,
kadhang lali ngilon awak.
Kaki ronggeng menyentuh tanah pelan,
seperti orang masuk sawah agar padi tidak terluka.
Pinggulnya bergerak,
bukan untuk memanggil nafsu,
melainkan irama tua
yang telah lama tinggal
di tulang-tulang desa.
Di barisan depan,
lelaki duduk rapi
dengan mata yang tak sepenuhnya jinak.
Di belakang,
para ibu menilai sambil menyimpan senyum
yang tahu hidup tidak sesempit tafsir.
Ronggeng… ronggeng…
sadurunge awak obah,
ati kudu luwih dhisik sujud,
aja nganti joged ninggal niat.
Ronggeng berputar.
Selendang terbang sebentar
lalu kembali ke bahu,
seperti niat yang tahu kapan harus pulang.
Seorang pemuda berbisik,
“Indah, tapi kebacut.”
Seorang tetua menjawab pelan,
“Yang kebacut sering kali bukan geraknya,
melainkan mata yang belum selesai berdamai.”
Sing goyang ora mung joged,
sing meneng ya atiné mlaku,
aja nyalahké awak wong wadon,
yen pikiranmu sing kebablasan.
Gamelan dipukul lebih keras,
seolah menutup suara-suara dalam kepala.
Ronggeng menahan langkah,
menjaga jarak antara undangan dan godaan.
Ia tahu:
tubuh perempuan selalu dibaca lebih cepat
daripada maksudnya.
Obahmu aja kesusu,
lemah iki duwe crita,
sapa sing eling lan ngati-ati,
bakal dijaga uripé.
Gerak demi gerak
bukan milik tubuh semata.
Ia titipan.
Pinggul berayun seperti musim berganti,
tangan berputar seperti doa tak putus,
mata menunduk agar tidak mencuri kehendak langit.
Para penonton diam.
Tidak karena takut,
melainkan karena tahu:
ada saat ketika suara harus berlutut.
Joged ya joged,
aja digawa nesu,
sing gawe rusuh batin,
kadhang awaké dhewek sing keliru.
Ketika tarian mencapai puncaknya,
ronggeng berhenti sejenak.
Menarik napas.
Menunduk.
Seperti orang yang sadar
bahwa puncak bukan untuk dikuasai,
hanya untuk disinggahi.
Joged mung nganti cukup,
aja nganti kebablasan,
sapa ngerti wates awak,
bakal slamet tekan esuk.
Ronggeng kembali ke pendapa.
Sampur dilipat.
Tubuh dikembalikan kepada dirinya sendiri.
Yang tersisa
bukan pertunjukan,
melainkan keseimbangan,
bahwa desa masih utuh,
dan malam telah diberi arti.
Di sudut lapangan,
seorang kiai tua berzikir pelan,
tanpa memerintah apa pun.
Aneh,
irama gamelan melunak,
dan langkah ronggeng menjadi teduh,
seolah doa tahu ke mana harus bekerja.
Anak-anak tertawa kecil,
lelaki tersenyum malu,
ibu menatap damai.
Setiap mata membawa tafsirnya sendiri,
dan setiap napas mencatat niat yang berbeda.
Ronggeng… ronggeng…
awak mung sarana laku,
yen niat bali marang Gusti,
joged dadi dalan berkah,
sing rumangsa eling, sing rumangsa urip,
bakal slamet, bakal tentrem.
Malam menutup pintu.
Lapangan kembali sunyi.
Namun di tanah,
di napas,
di langkah pulang orang-orang,
ada jejak halus yang tak tampak,
jejak tarian
yang telah selesai menjadi doa
dan cerita rakyat sekaligus pelajaran hati.
2025
BALADA BANYUMAS
1.
Di kaki Slamet,
di lekuk hutan dan rawa yang
berasap pagi,
tanah ini bergetar sebelum kaki
manusia menyentuhnya.
Lumpur menunggu telapak,
air menunggu genggaman,
angin menunggu bisikan doa.
Dari Wirasaba
yang hilang dalam kabut sejarah,
Raden Joko Kahiman menunggang kuda,
bayangan yang berjalan sendiri,
napasnya bercampur bumi dan langit,
ditemani bisikan Kyai Sembiarta
dan Nyi Ngaisah:
“Pohon tembaga akan menuntun arahmu,
tanah ini akan menampung air emas.”
Kemarau menekan Kejawar,
sumur mengering,
sungai kehilangan suaranya.
Penduduk menatap langit,
tangan terangkat,
menimbang tiap detik.
Mereka berseru: banyu… banyu…
Lalu bersahut: emas… emas…
Suara-suara itu bergabung,
gamelan manusia tanpa gong,
musik bumi dari hati.
2.
Di tepi rawa, Joko Kahiman
menancapkan tongkatnya,
membelah tanah, membuang
lumpur, menebangi hutan,
kecuali pohon yang ditunjuk wangsit,
pohon tembaga,
bergetar seperti jantung bumi sendiri.
Tubuh rakyat menegang,
napas mereka serempak dengan degup bumi,
mereka tahu: sejarah lahir dari luka,
keberanian lahir dari doa basah lumpur.
Belik pertama menampung air,
dan terdengar bisik:
“Inilah tirta ruhmi,
air emas yang menunggu manusia.”
Dari kejauhan, Sungai Serayu membawa kayu mas,
berhenti di lokasi balai pemerintahan.
Rakyat bersorak, menatap kayu
yang diam tapi berbicara.
3.
Bahasa Ngapak mengalir dari mulut mereka,
keras, cepat, seperti hujan jatuh
di atap daun jati,
menjadi musik alam,
irama manusia yang hidup,
mengikat tanah dan jiwa,
sejarah dan doa dalam satu napas.
Adipati Mrapat menebar cahaya di tanah,
dari Banjar Pertambakan hingga jantung Wirasaba,
hingga Banyumas berdetak sebagai satu nadi,
seperti langit merunduk menimang sungai dan hutan,
dengan sabar menanti embun pagi,
dan keteguhan lahir dari hembusan napas bumi sendiri.
Di malam pertama, saat api unggun menari di tepi sawah,
bayangan pohon tembaga memanjang,
dan Joko Kahiman mendengar suara leluhur:
“Banyumas bukan sekadar tanah,
tapi doa yang bergerak,
tubuh yang menunggu,
dan sejarah yang berbisik.”
4.
Hujan pertama jatuh,
mengisi belik, menghidupkan sawah,
mengubah tanah menjadi saksi sejarah,
mengubah ketakutan menjadi keberanian,
mengubah manusia menjadi penyair bumi sendiri.
Setiap tetes bergetar di daun, batu, hati manusia.
Setiap tetes adalah waktu yang lama,
setiap napas yang mengikutinya
adalah doa yang bergerak.
Rawa, sungai, kayu mas, dan lumpur
menjadi perahu
yang membawa manusia pada kesadaran:
tanah ini adalah kitab,
tubuh adalah pena,
hujan adalah tinta
yang menulis sejarah.
5.
Banyumas lahir dari sorak, doa, tanah, air,
dari tubuh lelah dan hati yang percaya,
dari sejarah berdarah
dan alam yang berbisik.
Di kaki Slamet, di tepi belik,
di antara sungai dan kayu mas,
balada ini bergetar,
musik manusia, napas bumi,
doa yang berjalan,
sebagai bumi yang menjawab,
sebagai sejarah yang menari,
sebagai tubuh dan jiwa
yang menyatu dengan tanah.
2025
*Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Wachid lulus Sarjana Sastra dan Magister Humaniora di UGM, lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, dan menjadi Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto. Buku terbarunya : Kumpulan Sajak Nun (CV. Cinta Buku, Yogya, 2018), Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus: Keindahan Islam dan Keindonesiaan (Nuansa, Bandung, 2020), Kumpulan Sajak Biyanglala (CV. Cinta Buku, Yogya, 2020), Kumpulan Sajak Jalan Malam (Basabasi, Yogya, 2021), Kumpulan Sajak Penyair Cinta (Jejak Pustaka, Yogya, 2022), Kumpulan Sajak Wasilah Sejoli (Basabasi, Yogya, 2022), Kumpulan Sajak Kubah Hijau (CV. Cinta Buku, Yogya, 2023), Sekumpulan Esai Sastra Hikmah (Pustaka Jaya, Bandung, 2024), Buku Puisi Balada Kisah untuk Anak Cucu (Diva Press, Yogya, 2025). Melalui buku Esai Sastra Pencerahan (Basabasi, Yogyakarta, 2019), Abdul Wachid B.S. menerima penghargaan Majelis Sastrawan Asia Tenggara (Mastera) sebagai karya tulis terbaik kategori pemikiran sastra, pada 7 Oktober 2021 (tepat di ulang tahunnya yang ke-55).




