Pengilon di Galeri Nasional dan Isu Breidel

Oleh Bambang Asrini Widjanarko*

Pengilon dalam bahasa Jawa artinya adalah cermin, yang dalam konteks maknawi lebih pada kemampuan seseorang atau publik menilai secara mendalam membuat refleksi atas peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.

Isu breidel, yang baru-baru ini menarik perbincangan dikalangan netizen, kemudian arus utama media mainstream online dan cetak memuat hiruk-pikuk dengan muatan berita “pameran lukisan dibreidel” menjadi perhatian serius praktisi seni rupa serta komunitasnya. 

Saat sama, fenomena itu menjadi demikian meluas perspektifnya dan viral hingga menarik perhatian politisi/ anggota DPR, salah seorang Calon Presiden 2024, ahli hukum dan mantan Tim Sukses Calon Presiden 2024, yang kemudian disambung podcast tajam pengamat politik yang popular dan aktivitasnya sering menjadi viral di dunia siber; sampai pada akhirnya organisasi hukum independen menyeru adanya liputan jumpa pers khusus. 

Sejumlah individu dan organisasi itu menilai bahwa peristiwa dengan isu pembreidelan pameran lukisan tersebut telah mencelakai iklim demokrasi dan memantik isu tentang kebebasan berekspresi dan hak azasi manusia. Pada 21 Desember, bahkan ada wacana Pelukis Yos Suprapto yang merasa terancam kebebasan berekspresinya akan memilih jalur hukum membela hak-hak privatnya.

Pembatalan sepihak Galeri Nasional Indonesia (GNI), melalui info media sosialnya; yang dimulai pada malam tanggal 19 Desember 2024—yang penulis kebetulan berada disekitar area pameran—GNI menyebut sebagai bukan tindakan breidel (pelarangan). Namun penundaan untuk pameran tunggal Yos Suprapto dikarenakan adanya tak ada kesesuaian pendapat yang bersifat teknis antara seniman dan Kurator.

Sementara, penulis yang juga mewawancarai seniman, Yos Suprapto yang ia menjelaskan bahwa awal kronologis peristiwa itu adalah kesepakatan Kurator dan seniman tentang dua karya lukisan yang tak layak ditampilkan, yang sebelumnya menjadi pokok permasalahan pada akhirnya telah terjadi kesepakatan untuk tidak dipamerkan. 

Namun, Yos bersikukuh tak mau menuruti “perintah” Kurator tatkala menyusul informasi tiga karya lukisan lagi—seturut pula ada penambahan info dari pejabat Kemenbud (Kementerian Kebudayaan)— keputusan bahwa tak layak karya dipamerkan, karena dinilai karya tersebut vulgar. Keputusan itu, yang hanya berselisih waktu beberapa jam yang sedianya pameran dibuka pada pukul 18.30WIB di tanggal 19 Desember 2024. 

Dengan demikian ada lima karya yang sebenarnya “bermasalah”, dua karya telah disepakati oleh Kurator-Seniman untuk tidak dipamerkan, tetiba menyusul tiga karya lagi yang tak diperbolehkan dipajang. Hal itu yang membuat Pelukis, yakni Yos Suprapto menyatakan sebagai aksi pembreidelan/pelarangan dan kesewenang-wenangan sepihak pihak penguasa, baik Galeri Nasional pun Kemenbud. 

Konsekuensinya, Yos Suprapto memilih akan melawan dan menurunkan seluruh karya serta membawa pulang seluruh lukisan-lukisannya kelak ke Yogjakarta dan tak bersedia lagi berhubungan dengan Galeri Nasional dan Kemenbud. 

Penulis bersama Yos Suprapto dan Bambang Bujono (pengamat dan kurator seni rupa) pada malam tanggal 19 Desember 2024. (Sumber: BWCF)

Saat sama juga, beberapa jam usai “perlawanan atas pembreidelan” pihak seniman sebelum pukul 18.30WIB (saat pembukaan pameran); pihak Kurator mengundurkan diri; karena seniman dianggap telah “menerabas otoritas Kurator” dan sebagian karya tak menjadi/ selaras dengan topik yang disusun dalam pameran.

Sementara itu pihak Galeri Nasional dan sejumlah pejabat Kemenbud telah memutuskan pameran “ditunda” dan ruang Galeri Nasional digelapkan serta pintu utama dikunci, yang tentunya berakibat pengunjung pameran—termasuk penulis sampai sekitar pukul 22.00WIB tak bisa memasuki ruang pamer. Hal itu tentu sangat mengecewakan sebab para apresian tak bisa menyaksikan pameran sama sekali di malam itu tanpa ada kejelasan yang masuk akal dengan menimbang kronologis peristiwa-peristiwa tersebut.

Malam itu juga, penulis mendapatkan sejumlah karya-karya lukisan format digital yang dibagikan pelukis via pesan Whatsapp yang dianggap menjadi ‘pokok permasalahan’ – termasuk keluhan seniman tentang imej-imej mantan penguasa NKRI sebagai subject matter lukisan. 

Selain itu, juga dicantumkan redaksional utuh Siaran Pers yang dibuat oleh pelukis dan mungkin dibantu professional saat itu, yang didalam Siaran Pers termaktub sejumlah kutipan tokoh-tokoh seni dan budayawan yang menyayangkan peristiwa naas itu. Saat yang sama penulis juga menerima pernyataan tertulis Kurator pameran di aplikasi whatsapp group di tengah malam tanggal 19 menuju 20 Desember 2024.

Rentetan peristiwa itu, tentunya memerlukan telaah lebih dalam dan jernih yang dalam pengertian Pengilon (cermin), kita bersama mencoba menelusuri, melihat kembali dan mengamati serta sebagai Kurator dan penulis seni, ingin membagi sejumlah Pengilon yang tentunya subyektif, tentang ‘Mawas Diri’ bersama, yang bisa dilihat dalam sejumlah hal.

Pengilon 1: Estetika Visual dan Topik Pameran  

Setelah menerima sejumlah imej visual lukisan-lukisan dan mencermati wawancara dengan Yos Suprapto yang membincangkan proses setahun pembuatan karya. Yang mana Yos disamping meneliti sendiri dengan petani-petani dan kelompok aktivis serta didampingi sejumlah ahli tentang metodologi tertentu memahami tanah dan elemen-elemen yang terkait, termasuk didalamnya pesan-pesan sosiologis dan politik dengan konsteks estetika yang ia yakini. 

Yang kemudian diwujudkan sebagai instalasi selain lukisan-lukisan serta benda-benda temuan (found object) serta tak lupa juga penulis membaca pernyataan tertulis Kurator, maka seturut hemat penulis karya-karya pelukis ini masih dalam tataran wajar yang bisa jadi menyambung dengan topik utama Pameran, yakni Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan. 

Sementara, karya-karya yang dianggap vulgar secara visual oleh berbagai pihak (termasuk dari pejabat Kemenbud) dengan konteks pameran, sebenarnya menurut penulis, bisa ditelaah dengan penjabaran konsep strategi Parodi dalam seni rupa. Lukisan-lukisan tersebut memang disampirkan sebagai ungkapan bahasa parodi visual, sebentuk dialog visual yang dibangun antar teks (membangun simbol-simbol dan kode-kode di lukisan).

Yang bertujuan mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya atau karya masa lalu pun situasi riil isu sosial dan kemanusiaan yang dirujuk secara mutakhir, dan menjadi semacam bentuk oposisi atau kondisi kekontrasan dengan maksud menyindir, mengecam, mengkritik, atau membuat satir yang tajam. 

Dari lukisan Yos yang dianggap “bermasalah”, yakni yang berkarakter karikatural, yang imej paras mantan penguasa NKRI memang sejatinya ia (tokoh bermasalah) semenjak berkuasa 10 tahun. Yos Suprapto membayangkan bahwa Tanah dan Pangan terkait selalu secara sosiologis bernarasi keniscayaan tentang pergumulan “dialektika penguasa dan warga”.

Lukisan-lukisan Yos Suprapto yang dianggap bermasalah. (Sumber: Penulis)

Ingatan komunal memberi fakta bahwa konflik agraria terjadi tersebab salah kebijakan yang diterapkan oleh penguasa — perebutan lahan hak waris tanah adat, UU tentang proyek strategis nasional sampai ibukota nusantara (IKN) dan lahan-lahan dari komunitas marjinal yang terpinggirkan. 

Yang dalam hal ini adalah yang lemah, wong cilik dan siapa saja dalam lukisan lukisan Yos direpresentasikan sebagai sosok yang tertindas, sebaliknya muncul pula figur-figur para penjilat atau yang lain: justru wajah Penguasa dalam Pakaian Raja Jawa dari lukisan berjudul Konoha I dan II.

Pada lukisan Yos itu, karya-karya yang cenderung karikatural dan komikal menjadikannya sebagai titik berangkat dari kritik, sindiran, kecaman sebagai ungkapan dari ketidakpuasan atau menurut penulis ungkapan rasa humor yang paling gelap, jika menimbang rujukan dari pengkaji Theory of Parody in Parody, Hutcheon (dalam Piliang, 2003: 214). 

Dalam konteks ini, merujuk pada semangat aktivisme kesenian, lukisan-lukisan “realisme sosial era sanggar di Jogjakarta’seturut penulis, karya-karya Yos cukup lumayan menggabungkan elemen-elemen strategi Parodi dengan memuat sekaligus perpaduan gaya bahasa ironi—tentang penentangan terhadap kondisi sosial tertentu yang berlawanan secara riil, sarkasme—sebagai semacam umpatan langsung dengan argumentasi dan fakta-fakta secara posterik pun yang terakhir penggunaan satire, yakni ungkapan gaya yang cenderung lebih mendalam tentang kritik kelam kondisi kemanusiaan yang dirasakan seniman secara psikologis.

Tentang keyakinan estetika; dihayati oleh sang pelukis dan juga Kurator tak saling ada kecocokan, perlu adanya waktu tersendiri untuk sinkronisasi. Tentunya ini membutuhkan pembahasan tersendiri tentang relasi antar mereka. Yang jelas, Topik pameran tentang Tanah dan Kedaulatan Pangan tentunya berelasi dengan elemen sosiologis dan politik lebih dari sekedar paradigma ‘otonomi seni secara estetik’ yang kukuh dan jumawa, tak bisa digeser kemana-mana. Hadirnya seni kontemporer secara cair membuka cakrawala lebih luas makna dan kehadiran seni di ruang-ruang publik. 

Seni kontemporer, membebaskan belenggu kesempitan bernalar dan berkreasi bahwa ‘relasi kuasa’ dalam proses penciptaan karya dan wacana tentang estetika telah selesai antara Seniman-Kurator. Maka’ sebelum dan seusai karya dibuat, patut ditimbang dalam satu tim yang saling bermitra cara membangun komunikasi intensif  dan saling pengertian antara Kurator dan Seniman bahwa ada “kekuasaan-kekuasaan lain yang bertengger” diluar sana; termasuk Dewan Kurator GNI, apparatus lain di Kemenbud, para aktivis seni, jurnalis dll dalam suatu ekosistem seni rupa yang kompleks itu.  

Pengilon 2: Representasi Kekuasaan GNI dan Pameran Lukisan 

Kita semua tahu bahwa kesenian dan elemen di dalamnya, termasuk infrastruktur seperti Galeri Nasional adalah simbol kekuasaan negara yang sejatinya terlemah. Negara belum menjadikan kesenian menjadi salah satu sektor penting menjadi Investasi Budaya yang dinamis dan kelak akan dipetik dalam rentang 15 sampai 20 tahun dari sekarang bagi Indonesia. Kesenian masih menjadi sisipan dan seremoni-seremoni kultural semata bagi negara. 

Secara sosiologis, Galeri Nasional Indonesia (GNI) itu sewajarnya menjadi manifestasi dari sebuah wadah bertemunya kepetingan ekosistem seni yang ada di level tinggi: Symbolic Capital. 

GNI memiliki modal simbolik kekuasaan tentang seni yang merangkul menjadi satu kekuatan atas relasi modal sosial dan politik (seniman dan seluruh kompleksitas komunitas didalamnya), selain modal kultural (para cendekia seni serta kampus-kampus perguruan tinggi juga institusi sektor privat) dan terakhir adalah modal ekonomi (dengan menimbang adanya Dana Abadi Kebudayaan dan APBN untuk program-program kesenian).  

Namun, saat sama implementasi UU Pemajuan Kebudayaan belum maksimal direalisasikan dan Galeri Nasional bukanlah yang menjadi garda terdepan tentang nilai-nilai ke-Indonesiaan yang menjadi soft power dalam diplomasi penting eksistensi negeri yang majemuk dan kaya budaya. Belum genap 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo, sebuah isu tentang Pembreidelan Karya Seni benar-benar wajib disikapi dengan serius. 

Ingatan tentang semangat menggebu Pemerintahan Baru dengan Asta Cita-nya, yang mencantumkan, bahkan sampai tiga kali relasinya dengan kekuatan ekonomi kreatif, kesempatan terbuka tentang industri kreatif sampai kekuatan budaya. Dalam hal ini konteks kesenian dan GNI, hendaknya memang menjadi pilar sungguh-sungguh menuju apa yang “di-citakan” dengan pernyataan melangit tentang keharmonisan, menjaga ketahanan negara sampai upaya membuka kesempatan kerja sebagai manifestasi fasilitas untuk kemandirian anak negeri.

Intinya, isu Pembreidelan atau Pembatalan atau Penundaan Pameran Seni Yos Suprapto, yang sangat semrawut kronologisnya terinfo ke publik dan argumen-argumen birokratis yang normatif serta diterima dengan cara menduga-duga dan meraba-raba, selain sistem pengambilan keputusan yang terburu-buru sangat memprihatinkan; dan hal itu jangan sampai terulang pada kasus sejenis di masa depan.

Sebagian kasus, memerlukan tak hanya persoalan secara teknis namun strategi substansial—semisal adanya manajemen krisis tatkala beririsan dengan isu politik nasional. Sebaliknya, kasus Pembreidelan ini membuncah hikmah, membuka esensi yang sangat esensial, yang belum tersentuh, yakni: GNI dan seluruh aparatus didalamnya, yakni struktur birokrasinya sama sekali belum menunjukkan mewakili cita-cita besar Asta Cita dalam fundamen pembangunan manusia. 

Status Galeri Nasional Indonesia atau Museum Nasional sewajarnya ada dibawah langsung komando Presiden Prabowo atau Badan Eksekutif langsung bentukan insitusi tinggi negara; dan meminta mulai dari pembahasan, pemilihan birokratnya dan pelaksaaan program dilaporkan dan dibawah Presiden. Menimbang strategisnya Kesenian adalah bagian dari Kebudayaan mewakili paras martabat dalam kebijakan Soft Power Politik dan Ekonomi dalam jangka panjang untuk Indonesia. 

Jika di Amerika Serikat minimal memiliki semacam institusi National Endowments for The Arts yang dibentuk oleh UU di Kongres sejak 1965 sebagai lembaga independen negara Federal. Direktur Galeri Nasional semestinya bersanding setara bersama Dewan Kurator sebagai garda terdepan Politik Kebudayaan dan Duta Indonesia tentang Kesenian di manca negara dan kekuataan mandiri secara internal di dalam negeri.

Balik pada isu Pembreidelan, sejatinya pameran seni yang menyuarakan secara lantang sebentuk visualisasi kritik yang tajam bukanlah sebuah ancaman bagi negara. Karya – karya lukisan, patung, fotografi dan desain-desain yang provokatif justru membuka kesadaran bersama. Bahwa hak-hak warga terproteksi dalam iklim demokrasi sesuai amanat UUD 45, selain mencerdaskan kehidupan bangsa pun memberi ruang dialog lebih luas bagi warga. 

Yang paling penting karya-karya tersebut sebuah wadah kontrol sosial atau semacam pendeteksi gejala dini keresahan publik tentang sebuah kebijakan tertentu dari negara yang mungkin salah di masa lalu. Paranoid tak beralasan hanya memberi bahan peledak lebih dahsyat dimasa depan secara sosial, jika potensi kreatifitas tak disalurkan dengan benar. 

Pengilon adanya pembreidelan dan atau refleksi atas pembatalan serta istilah lain penundaan memang layak dipetik hikmah dari peristiwanya. Terutama bagi GNI dan komunitas seni, bahwa karya-karya seni itu adalah kemampuan riil sang seniman untuk semacam membuat kristalisasi problem-problem sosial yang diserap secara individu yang beririsan dengan communal consciousness yang diakhir hari memberi pencerahan pada publik kelak di pameran seni.

*Bambang Asrini Widjanarko. Kurator dan penulis seni