Siapa itu Orang Sosialis
Oleh Riwanto Tirtosudarmo*
Esai ini merupakan pengantar buku yang berjudul PSI Yang Saya Ketahui, karya Imam Yudotomo, Penerbit Kasanngali, Yogyakarta (2021). Esai ini diterbitkan kembali dalam bentuk tulisan lepas atas izin editor dan penerbit buku dengan harapan agar dapat diketahui oleh khalayak pembaca yang lebih luas tentang sebuah periode sejarah yang penting dalam perjalanan republik ini.
Imam Yudotomo mendedikasikan buku yang telah ditulisnya untuk “mereka yang berusaha dan bersedia menjadi orang sosialis pada saat gerakan sosialis berada di dalam kegelapan dan sepertinya tidak mempunyai harapan”. Membaca kalimat ini saya tidak dapat menghindarkan diri dari munculnya pertanyaan “Siapa itu Orang Sosialis?” dan juga pertanyaan “Apa itu Gerakan Sosialis?”. Sebelum kemudian membaca teks buku ini, dua pertanyaan itu seolah-olah menjadi semacam rasa penasaran dan dorongan untuk mendapatkan jawaban dari isi buku itu. Buku ini oleh penulisnya diberi judul PSI Yang Saya Ketahui. PSI adalah singkatan dari Partai Sosialis Indonesia yang didirikan oleh Sutan Sjahrir pada tahun 1948 dan dibubarkan pada tahun 1960 oleh penguasa saat itu. Jadi PSI sebagai partai politik hanya berumur 12 tahun. Yang menarik PSI sebagai ingatan kolektif dan PSI sebagai identitas perpolitikan tertentu sepertinya terus berlanjut.
Penulis buku ini lahir di Yogyakarta tanggal 12 Mei 1941 dan meninggal, juga di Yogyakarta, pada tanggal 27 November 2015, hampir enam tahun lalu ketika pengantar ini ditulis. Jadi Imam Yudotomo (selanjutnya saya singkat dengan IY) baru berumur 7 tahun ketika PSI didirikan. Dibesarkan oleh bapak ibunya yang menjadi anggota PSI menjadikan IY sejak kecil telah terbiasa mendengar cerita tentang PSI. Ia mendasarkan cerita tentang PSI yang dikumpulkannya dari orang-orang yang mengetahui secara langsung PSI terutama dari kedua orang tuanya dan teman-teman orang tuanya, baik yang menjadi anggota PSI maupun yang bukan anggota PSI tetapi mengenal PSI. Pengetahuan tentang PSI yang kemudian dituliskan menjadi buku ini dengan demikian adalah sebuah pengetahuan yang diperoleh secara tidak langsung melalui orang-orang lain yang menjadi narasumbernya. Teks sebagai rekaman dari pengetahuan, dalam kasus ini, bisa dikatakan sebagai telah melalui dua tahap penafsiran. Penafsiran pertama adalah dari para narasumber tentang apa yang mereka ketahui dan alami tentang PSI, dan penafsiran kedua adalah bagaimana kemudian si penulis memindahkan tafsiran pertama itu menjadi tulisannya. Apa yang diketahui oleh penulis tentang PSI oleh karena itu adalah rekaman dari dua kali penafsiran mengenai pengetahuan tentang PSI. Penulis sejak awal mengatakan bahwa bukunya bukan merupakan buku yang bersifat akademis, bahkan diakuinya kalau secara sengaja menghindarkan penggunaan buku atau tulisan lain sebagai rujukan.
Sebelum saya melanjutkan menulis kata pengantar buku ini, perlu saya sampaikan kepada para pembaca bahwa saya tidak mengenal secara pribadi penulisnya, Mas Imam Yudotomo. Ketika saya dihubungi dan ditawari untuk membuat kata pengantar buku ini, tentu muncul pertanyaan dalam benak saya, siapa itu Imam Yudotomo. Samar-samar saya memang pernah mendengar nama itu, sebagai seorang aktivis LSM di Yogyakarta. Pengetahuan saya hanya itu, mestinya saya juga dengan mudah melakukan searching melalui Google, tapi sampai detik ini belum saya lakukan. Saya memilih untuk tidak mencari lebih jauh siapa itu Mas Imam Yudotomo dengan alasan ketika membaca bukunya yang saya hadapi benar-benar sebuah teks, dan saya berusaha menganggap penulisnya memang tidak ada. Teks itulah yang berbicara dengan saya, dan berdasarkan perbincangan saya dengan teks itulah kata pengantar ini ditulis.
Sejak halaman pertama saya menangkap bagaimana teks itu berbicara tentang “kehebatan PSI”, meskipun sebuah partai kecil tetapi tidak ditelan begitu saja oleh zaman seperti nasib partai kecil lain, menurut penulis seperti yang dialami PIR (Partai Indonesia Raya) dan PRN (Partai Rakyat Nasional). Kehebatan PSI menurut tafsir si penulis tidak lain karena berbeda dengan partai lain PSI memiliki ideologi yang jelas. PIR dikatakan oleh penulis sebagai nasionalis-feodal, sementara PRN hanyalah merupakan sempalan PNI (Partai Nasional Indonesia) saja. Sang penulis dengan jelas mengatakan bahwa buku yang ditulisnya itu dimaksudkan untuk menunjukan kehebatan-kehebatan yang dimiliki oleh PSI, tentu dibandingkan dengan partai-partai kecil lain yang telah disebutkannya itu. Meskipun merupakan partai kecil, “cuman sejimet” kata Profesor Slamet Iman Santoso, guru saya di Fakultas Psikologi UI, namun memang PSI telah membuktikan diri sebagai partai yang memiliki pengaruh besar. Kehebatan PSI menurut penulis tidak dapat dilepaskan dari sosok dan peran Sutan Sjahrir, oleh karena itu secara terus terang penulis mengakui bahwa bukunya mungkin lebih tepat dikatakan sebagai buku tentang Sutan Sjahrir.
Kembali kepada ungkapan guru saya di Fakultas Psikologi UI, Profesor Slamet Iman Santoso, tentang PSI yang “cuman sejimet” itu, kalau saya pikir-pikir ada semacam rasa kagum juga dari Profesor Samet Iman Santoso terhadap PSI di dalam ungkapan itu. Sebagai mahasiswa baru yang mulai menginjakkan kaki di kampus UI awal tahun 1970-an saya pun merasakan ada semacam “charm” ketika mendengar kata PSI tanpa dapat mendeskripsikan apa yang “charming” dari PSI. Mungkin ada sesuatu yang berhubungan dengan intelektualitas, kecendekiaan; kualitas yang dekat dengan dunia pemikiran, dunia kampus. Mungkin itu juga yang membuat saya mengiyakan ketika diminta untuk menulis kata pengantar buku tentang PSI ini. Ada semacam rasa simpati yang diam-diam saya miliki terhadap PSI sebuah partai politik “yang cuma sejimet” kata Profesor Slamet Iman Santoso, guru saya itu. Dalam perjalanan waktu, sebagai mahasiswa UI tahun 70-an itu, ketika Peristiwa Malari 1974 meletus di Jakarta, tokoh-tokoh PSI ditangkap karena dianggap mendalangi gerakan mahasiswa yang menentang Soeharto itu. Salah satu tokoh eks-PSI yang ikut ditangkap adalah Soedjatmoko, yang dianggap sebagai dekan fakultas kebebasan dari kaum intelektual Indonesia.
Buku ini memiliki struktur yang terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama berkisah tentang sejarah kelahiran PSI. Bagian Kedua membahas tentang lingkungan biologis, genetika sosiologis dan genetika ideologis, PSI dan tokoh-tokohnya. Bagian Ketiga bercerita tentang kiprah politik PSI, dan bagian Keempat mengisahkan apa yang terjadi setelah PSI dibubarkan tahun 1960 hingga zaman reformasi. Pembabakan yang dibuat oleh penulis cukup sederhana namun berhasil mengungkap dengan komprehensif apa yang ingin dikemukakannya, yaitu mengapa PSI hebat. PSI lahir dalam Kongres Partai Sosialis (PS) di Madiun berbarengan dengan jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin pada tanggal 19 Januari 1948. PSI secara resmi didirikan di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1948 sebagai hasil dari perpecahan dalam tubuh kelompok kiri, antara kelompok Sjahrir dan kelompok Amir Sjarifuddin. Tapi siapa sesungguhnya yang disebut sebagai kelompok kiri di Indonesia? Mengapa terjadi perpecahan dalam tubuh kelompok kiri?
Perbedaan pendapat antara kelompok Sjahrir dan kelompok Amir Sjarifuddin, berdasarkan penafsiran IY karena kelompok Amir Sjarifuddin dianggap telah menyimpang dari kesepakatan yang telah dibuat dalam kongres Partai Sosialis di Yogyakarta tanggal 25-26 Februari 1946. Kegentingan diantara kekuatan-kekuatan nasional memang memuncak pasca proklamasi kemerdekaan. Kegentingan itu tercermin dari cepatnya terjadi pergantian kabinet. Kabinet pertama yang dipimpin Sjahrir jatuh pada tanggal 3 Juli 1947, digantikan oleh kabinet yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin yang kemudian juga jatuh pada tanggal 29 Januari 1948. Sejak itu kabinet menjadi kabinet presidensial yang dipimpin oleh wakil presiden Mohammad Hatta. Kegentingan itu memuncak dengan pecahnya Peristiwa Madiun yang mengakibatkan dihukum matinya Amir Sjarifuddin dan kemudian terbunuhnya Tan Malaka di tangan tentara.
Imam Yudotomo melakukan penelusuran yang menarik dari periode sejarah yang sangat penting dari perpecahan di kalangan pemimpin pergerakan nasional sejak periode pendudukan Jepang. Perpecahan itu terjadi karena ada dua kubu yang memiliki sikap politik yang berbeda terhadap kekuasaan Jepang yang menduduki Indonesia. Kubu pertama adalah mereka yang bersikap kooperatif dengan Jepang. Dalam kubu yang pro-Jepang ini terdapat tokoh-tokoh seperti Sukarno, Hatta dan Supomo. Sementara dalam kubu yang anti-Jepang terdapat tokoh-tokoh seperti Amir Sjarifuddin, Sjahrir dan Tan Malaka. Apa yang dikemukakan oleh IY adalah bagian dari sejarah yang penting yang memiliki implikasi jauh kedepan, hingga hari ini. Misalnya kita menjadi tahu bahwa para pemimpin gerakan yang kemudian duduk dalam BPUPKI sebuah lembaga bentukan Jepang yang kemudian menyusun UUD 1945 jelas tidak mewakili aspirasi kubu politik yang melakukan gerakan politik bawah tanah. Dalam konteks ini kita bisa mengerti kenapa Tan Malaka membuat statemen yang berbunyi “Merdeka 100 persen”. IY juga mencatat bahwa kerjasama antara Sjahrir dan Amir Sjarifuddin adalah untuk menyelamatkan proklamasi, agar Republik Indonesia yang didirikan tidak dianggap sebagai bentukan Jepang.
Dalam proses politik selanjutnya Sjahrir dan Amir Sjarifuddin menduduki jabatan sebagai Ketua dan Wakil Ketua Badan Pekerja KNIP dan menyusun kabinet yang baru. Dalam kabinet baru Sjahrir menjabat sebagai Perdana Menteri dan Amir Sjarifuddin sebagai Menteri Pertahanan, sebuah jabatan strategis dalam menghdapi tekanan dari pihak sekutu dan Belanda yang mendompleng untuk kembali menguasai Indonesia. Kerjasama antara Sjahrir dan Amir Sjarifuddin, menurut IY adalah satu-satunya pilihan bagi Sjahrir karena dia tidak bisa bekerjasama dengan para nasionalis seperti Sukarno-Hatta yang pro-Jepang, dan di pihak lain juga tidak bisa bekerjasama dengan Tan Malaka yang menginginkan perlawanan bersenjata melawan sekutu dan Belanda. Dalam pandangan Sjahrir, kerjasamanya dengan Amir Sjarifuddin juga diharapkan mampu menarik dukungan dari negara-negara Eropa Timur untuk mengimbangi dominasi Amerika Serikat yang diramalkan oleh Sjahrir akan semakin kuat di masa depan. Menurut IY kesamaan pengalaman anti perang dari Sjahrir dan Amir Sjarifuddin menjadikan keduanya sepakat untuk berjuang melalui jalur diplomasi daripada perang. Ketika Sjahrir digantikan Amir Sjarifuddin sebagai Perdana Menteri, Amir tidak serta-merta menghabisi kelompok Sjahrir karena Amir masih melihat perlunya Sjahrir dalam kancah diplomasi internasional.
Imam Yudotomo meskipun tidak menggunakan buku lain sebagai rujukan, menceritakan dengan baik peristiwa sejarah yang penting. Sebagai contoh, kisahnya tentang keberhasilan Sjahrir sebagai ketua delegasi Indonesia dalam sidang di Dewan Keamanan PBB 1947 yang akhirnya menyepakati dibentuknya Komisi Tiga Negara untuk mencari solusi bagi sengketa kedaulatan antara Belanda dan Indonesia. Persekutuan antara kubu Sjahrir dan kubu Amir Sjarifuddin dalam tubuh Partai Sosialis (PS) terbukti tidak mampu bertahan. Bibit-bibit perpecahan di dalam tubuh Partai Sosialis yang oleh IY dikatakan sebagai representasi dari kaum kiri di Indonesia, sudah terlihat sejak diumumkannya hasil Perjanjian Linggarjati, dimana Sjahrir sebagai Perdana Menteri juga bertindak sebagai kepala perwakilan delegasi Indonesia. Perjanjian Linggarjati yang menghasilkan RIS iu dianggap oleh kubu Amir Sjarifuddin sebagai sebuah kegagalan dan perundingan harus diganti dengan perjuangan. Momen-momen sejarah, antara 1945-1949 mungkin bagian yang sangat penting yang kemudian menentukan arah republik selanjutnya, dan dalam menggambarkan gerakan kaum sosialis dibawah Sjahrir inilah buku ini memberikan sumbangannya yang penting.
Membaca buku karya IY yang dengan tegas mengatakan bahwa dorongan untuk menuliskannya karena ingin menunjukkan kehebatan-kehebatan PSI sebagai sebuah partai yang memiliki ideologi jelas, dan tentu saja karena pemimpinnya, Sjahrir, Bung Kecil yang kharismatik itu, menjadikan buku ini sebagai pledoi dari sebuah partai yang meskipun kecil tetapi berpengaruh. Penuturan penulis tentang periode perundingan dengan Belanda dimana Sjahrir menjadi pemeran utama yang mewakili republik yang masih berusia muda menunjukkan dengan jelas bagaimana kehebatan Sjahrir dalam kancah politik internasional. Meskipun hasil perundingan yang dipimpin Sjahrir oleh mereka yang memilih cara mengusir Belanda melalui perlawanan fisik dianggap sebagai kegagalan, namun, seperti ditunjukkan oleh IY, diplomasi itu terbukti berhasil menunjukkan bahwa negara yang baru diproklamasikan itu bukanlah negara boneka Jepang. Bagian buku yang berkisar pada dua perundingan, Linggarjati dan Renville, antara Indonesia dan Belanda yang dimediasi oleh pihak sekutu dan PBB itu menurut hemat saya merupakan bagian yang sangat penting, jika tidak dikatakan paling penting, bagaimana dalam kacamata penulis proklamasi Indonesia telah diselamatkan oleh sikap kenegarawanan Sjahrir.
Pemetaan kubu politik yang dibuat penulis dalam periode awal setelah proklamasi yang terbagi dalam 4 kelompok bagi saya sangat menarik. Penulis mendikotomikan antara apa yang disebutnya sebagai kelompok nasionalis dan kelompok agama, sebagai kelompok yang pro Jepang; dan disisi lain kelompok yang semula tergabung dalam Partai Sosialis namun kemudian pecah menjadi kelompok Sjahrir dan kelompok Amir Sjarifuddin. Buku ini bisa dikatakan kemudian memfokuskan pada ketegangan yang terus berlangsung di dalam kubu eks Partai Sosialis yang bisa dikatakan sebagai golongan kiri di Indonesia. Sebagai anak biologis dan anak ideologis PSI penulis buku ini menunjukkan bagaimana perpecahan golongan kiri merupakan ulah dari tokoh-tokoh PKI, seperti Muso yang dalam bahasa penulis merupakan boneka Moskow. Penulis, seperti tidak sedikit penulis lain melihat kesinambungan kegagalan gerakan kaum komunis Indonesia sejak 1926, 1948 dan 1965. Dalam kaitan inilah siapa yang dimaksud oleh penulis sebagai orang sosialis dan gerakan sosialis menjadi jelas yaitu mereka yang berada di kubu gerakan kiri tetapi bukan penganut komunisme.
Dinamika dan kemudian keretakan yang dialami oleh golongan kiri yang semula tergabung dalam Partai Sosialis diperlihatkan secara rinci dengan penyebutan secara jelas nama-nama tokohnya, seperti misalnya Suripno, Abdulmadjid dan Setiajid yang telah aktif sebagai anggota Partai Komunis Belanda. Upaya untuk menggali sejarah politik yang menjadi identitas kelompok sosialis yang memilih jalan berbeda dengan kelompok komunis terlihat misalnya dalam apa yang oleh penulis diistilahkan sebagai “genetika kelompok Sjahrir” yang tampaknya berawal pada strategi mendidik kader daripada strategi memobilisasi massa. Pilihan strategi yang berbeda dari gerakan kiri, antara di satu sisi Sjahrir dan Hatta dan di sisi lain Amir Sjarifuddin, Musso dan Tan Malaka; sangat patut disesalkan karena meskipun keduanya merupakan bagian dari gerakan kiri namun perbedaan strategi yang seharusnya saling melengkapi tetapi yang terjadi justru saling meniadakan, “zero sum game”.
Ketika PSI sebagai partai politik dibubarkan pada tahun 1960 IY sudah berusia 19 tahun, sebuah usia yang cukup untuk memahami situasi politik saat itu. Dalam bukunya, apa yang kemudian dilakukan oleh para mantan anggota PSI menjadi bagian yang juga menarik. IY yang tumbuh dan berkembang boleh dikatakan dalam periode pasca pembubaran PSI melalui buku ini berusaha merekonstruksi apa yang kemudian terjadi dengan para pengikut dan penerus cita-cita PSI. Kalau melihat nama-nama yang menjadi narasumbernya, lebih dari 20 orang, termasuk kedua orang tuanya; sebagai pembaca saya tidak bisa menilai apakan nama-nama yang menjadi sumber penulisan bukunya bisa dikatakan telah mewakili mereka yang dikatakannya sebagai “siapa itu PSI”. Selain mendasarkan penulisan bukunya dari wawancara para tokoh yang masih sempat ditemuinya, di bagian akhir bukunya kita melihat daftar sekitar 40 apa yang disebutnya sebagai “bahan-bahan bacaan”, termasuk disertasi Ben Anderson “Java in the Time of Revolution”, 3 jilid pertama dari 5 jilid buku Harry Poeze “Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia”, dan tentu saja tulisan-tulisan Sjahrir dan tokoh-tokoh PSI sendiri seperti Sarbini Sumawinata. Adanya “bahan-bahan bacaan” ini memperlihatkan bahwa IY meskipun telah dikatakannya bahwa bukunya bukanlah sebuah buku yang bersifat akademis namun tetap bisa dilihat bahwa buku ini bukan sekedar buku yang didasarkan oleh imajinasi pengarangnya sendiri.
Judul buku ini, “PSI Yang Saya Ketahui”, mencerminkan kerendah-hatian penulisnya. Imam Yudotomo tidak mengklaim bahwa dia orang yang paling mengetahui tentang PSI. Bukunya merupakan tawaran tentang tafsirnya mengenai PSI sejauh yang ia ketahui. Para pembaca sejarah politik Indonesia mengetahui telah beredarnya berbagai tulisan, sebagian berbentuk buku, baik merupakan kumpulan tulisan maupun buku utuh, tentang PSI. Sebagai bagian dari sejarah politik Indonesia, PSI adalah bagian penting dari proses pembentukan apa yang dinamakan sebagai Indonesia. Dalam memahami proses pembentukan Indonesia inilah saya kira sumbangan Imam Yudotomo melalui buku ini patut mendapatkan apresiasi. IY adalah salah satu anak dari generasinya yang tumbuh menjadi tokoh yang sosoknya berkembang dalam sebuah masa ketika Indonesia mengalami perubahan penting karena apa yang dianggap kaum kiri dieliminasi dari panggung politik Indonesia. Sebagai sebuah partai yang berhaluan sosialis namun bukan komunis PSI telah dieliminasi pada tahun 1960 oleh penguasa yang menganggap bahwa PSI terlibat pada apa yang kemudian disebut sebagai pemberontakan daerah tahun 1956-1958. Dekrit Presiden tahun 1959 yang mencerminkan semakin otoriternya Bung Karno dan menunjukkan apa yang oleh Herbert Feith disebut sebagai “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia” menjadi semacam konteks mengapa PSI harus dieliminasi. Eliminasi PSI terjadi bersamaan dengan naiknya kaum kiri dari kubu yang lain, yaitu kubu komunis. Ketika tahun 1965 menjadi kulminasi dari ketegangan politik pasca dekrit presiden 1959 terutama antara TNI dan PKI sesungguhnya membuka alternatif baru bagi dihidupkannya PSI.
Dalam buku IY kisah PSI pasca pembubarannya tahun 1960 dan kiprah tokoh-tokohnya pasca 1965 ketika ada harapan PSI memiliki kemungkinan untuk lahir kembali memperlihatkan bagaimana sejarah politik Indonesia ternyata berkembang semakin menjauhi kemungkinan bangkitnya kaum kiri di Indonesia. Dalam kaitan inilah tragedi sekaligus paradoks dari kaum kiri di Indonesia menemukan bentuknya. Selain harus berhadapan dengan “saudara sepupunya” kaum kiri dari kubu komunis, PSI juga harus berhadapan dengan kekuatan politik militer di bawah Jendral Nasution yang seperti PKI berada dalam lingkaran dalam Bung Karno. Pasca pembubaran PSI tahun 1960 dua tokoh utama pimpinan PSI, Sjahrir dan Subadio Sastrosatomo ditangkap tahun 1962, IY memberikan istilah yang menarik dari apa yang dia nilai sebagai garis politik resmi PSI yaitu sebagai “hirarkis-organisatoris” (Subadio Sastrosatomo – Djohan Syahruzah – Sarbini Sumawinata). Penggunaan istilah ini sengaja digunakan untuk membedakan dengan adanya berbagai kegiatan politik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok eks-PSI lain yang tidak sedikit jumlahnya, misalnya kelompok yang dianggap menganut garis keras dan frontal dalam menanggapi Bung Karno yaitu kelompok Sumitro Djojohadikusumo atau kelompok Sumarno – Rahman Tolleng – Sarwono Kusumaatmadja; yang pasca 1965 dianggap berhasil menyusup ke Golkar. IY menceritakan dengan sangat rinci berbagai kegiatan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh PSI di berbagai tempat, antara lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, terutama di Yogyakarta dimana IY dibesarkan oleh kedua orang tuanya yang anggota PSI (Bapak dan Ibu Mochammad Tauchid), disamping tokoh PSI penting seperti Dayino; di Jawa Timur dan di Bali. Kesimpulan IY para tokoh eks-PSI itu gagal membangun partai kembali karena masing-masing kelompok bergerak sendiri-sendiri tanpa adanya koordinasi.
Bab-bab terakhir dari buku ini yang menuturkan secara cukup rinci bagaimana generasi baru penerus gagasan PSI, atau lebih tepat identitas PSI sebagai partai yang menekankan pendidikan kader dan mengutamakan pemikiran, adalah bagian yang penting untuk dibaca oleh para peminat politik dan aktivis sosial, selain tentu saja para peneliti dinamika politik Indonesia. Saya tidak bisa membayangkan ada orang lain yang akan mampu menguraikan kiprah orang-orang yang dalam bahasa penulis disebut sebagai “Orang-orang Sosialis”yang sebagian dari mereka bahkan berusia jauh lebih muda dari Imam Yudotomo, seperti Robertus Robet yang memang cukup dekat dengan Rahman Tolleng. Identifikasi orang-orang yang yang disebutkan nama-namanya oleh Imam Yudotomo sebagai orang-orang sosialis memperlihatkan tafsirnya bahwa ada genealogi dari penerus Sjahrir. Saya kira niatnya menulis buku agar dibaca oleh mereka yang masih percaya pada gerakan sosialis ketika “gerakan sosialis berada di dalam kegelapan dan sepertinya tidak mempunyai harapan” sangat terasa sebagai sebuah kegetiran, sebuah ironi. Barangkali tidak hanya di Indonesia gerakan sosialisme sedang menghadapi tantangan besar tapi apakah memang sedemikian getir dan buram gambarannya? Tidak mungkinkah ide-ide dasar tentang sosialisme seperti keadilan sosial dan penghargaan pada martabat kemanusiaan berkembang dalam berbagai gerakan masyarakat dalam wujud dan bentuk lain yang tidak selalu menggunakan jargon sosialisme?
Akhirnya, apa yang dituturkan oleh Imam Yudotomo yang ia sendiri menjadi bagian yang aktif dalam berbagai ranah kegiatan pemberdayaan masyarakat dan kegiatan pemikiran itu; bisa saja akan dinilai oleh kawan-kawan atau kolega segenerasinya sebagai tafsir lama dari gerakan sosialisme atau bahkan dinilai tidak menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi ketika perkembangan politik menjadi semakin kompleks dan tafsir-tafsir baru diperlukan untuk memahaminya. Namun kisahnya tetap menjadi narasi penting untuk memahami siapa yang disebutnya sebagai “Orang-Orang Sosialis” dan apa yang dinamakannya sebagai “Gerakan Kaum Sosialis” pada suatu masa tertentu.
Kampung Limasan Tonjong, 21 Oktober 2021
—-
*Peneliti Sosial Independen