Homo Ludens: Kreativitas, Komunitas, dan Kritik Sosial

Oleh Indro Suprobo*

Empat belas cerita pendek yang ditulis oleh Ons Untoro dalam buku yang diberi judul Namaku Ratu Malang ini, mencerminkan suatu sifat dasar dan penting dalam diri manusia yakni kesanggupannya untuk bermain. Maka manusia seringkali disebut juga sebagai makhluk yang bermain (Homo Ludens), selain disebut sebagai Homo Sapiens (makhluk yang bijaksana) dan Homo Cogitans (makhluk yang berpikir). Itulah sebabnya pada tahun 1938 seorang sejarawan Belanda bernama Johan Huizinga, menulis se-buah buku berjudul Homo Ludens: A Study of the Play-Element in Culture. Secara garis besar Huizinga memaparkan bahwa manusia telah menciptakan dan mengembangkan kebudayaannya melalui kesanggupannya untuk bermain. Melalui kesanggupan bermain dan melalui permainan-permainan itu manusia memiliki kemungkinan untuk memahami dunia di luar dirinya. 

Melalui cerita-cerita pendek, Ons Untoro secara sangat bebas bermain dengan nama-nama para sahabatnya, memainkan kisah-kisahnya, menggabungkan beragam peristiwa, tempat, waktu, jenis-jenis kesenian, aktivitas, narasi sejarah, dan sebagainya dalam suatu permainan imajinatif maupun semi imajinatif yang boleh disebut sebagai permainan fictional-history atau permainan historical-fiction. Ia menyebut hal-hal yang secara faktual historis memang ada, yakni nama-nama para sahabat, nama tempat, peristiwa, suasana, kegiatan-kegiatan khusus, jenis dan kelompok kesenian, nama jalan, profesi, karakter orang, dan sebagainya, namun meramu dan merangkainya dalam alur kisah yang sifatnya fictional. Salah satunya, ia menjumput pengalaman dan peristiwa yang dalam fakta aselinya barangkali menegangkan atau menyebalkan, lalu memainkannya dalam narasi sehingga terbangun kisah-kisah yang pada akhirnya menimbulkan suasana lucu dan humor. Cerpen berjudul Tetangga Baru dan Kertas Warna Pink adalah contohnya. 

Mengutip pendapat Koen B. Tanghe1 yang secara jeli mengupas sekaligus mengkritik pikiran-pikiran dan argumentasi pokok buku Homo Ludens yang ditulis Huizinga, saya menemukan bahwa empat belas karya cerita pendek yang ditulis oleh Ons Untoro dengan mempraktikkan karakter dasar sebagai homo ludens ini, merupakan medium penting untuk melahirkan tiga hal utama sekaligus yakni kreativitas, komunitas dan kritik sosial. 

Kreativitas

Sifat dasar dari bermain atau ludere dalam bahasa Latin adalah bebas dan melampaui hal-hal yang biasa atau senyatanya. Kebebasan ini mendasari seseorang untuk dapat menciptakan apapun yang baru dan mungkin, sehingga melepaskan diri dari belenggu ketidakmungkinan atau tabu.  Kadang-kadang hal-hal yang disebut sebagai realitas adalah hal-hal yang memiliki batas-batas, yang biasa-biasa, yang senyatanya begitu, yang tidak dipikirkan secara berbeda. Oleh karena itu, bermain sebagai homo ludens, adalah suatu terobosan untuk melangkah keluar dari kehidupan yang “senyatanya” itu atau keluar dari kehidupan yang “biasa”, atau keluar dari “realitas”. Dalam konteks ini benarlah apa yang dinyatakan oleh Sigmund Freud, seperti dikutip oleh Tanghe, bahwa antithesis dari bermain bukanlah keseriusan, melainkan realitas. 

Karena keluar dari realitas, maka bermain sebagai homo ludens itu mendorong untuk melahirkan kreativitas atau daya mencipta (creatio), dan inovasi atau gerak melahirkan sesuatu yang baru (novus, nova, novum). Bolehlah dikatakan bahwa karakter bermain ini telah menciptakan realitas yang baru, yang keluar dari yang biasanya, yang melampaui hal-hal yang dibatasi. 

Dengan demikian, melalui cerita-cerita pendek yang ditulisnya, Ons Untoro sebagai homo ludens, sedang menjalankan kreativitas, melahirkan sesuatu yang baru, yang melampaui hal-hal yang biasanya terjadi. Kreativitas ini dapat berupa kisah baru, peristiwa lama yang diinovasi, nama-nama lama yang ditempatkan dalam dialog dan peran yang baru, atau mengaitkan narasi-narasi historis dan nama-nama yang kuno, dengan orang atau aktor yang sama sekali baru. Ons Untoro sendiri dan para sahabat yang namanya disebut-sebut dalam cerpen-cerpen ini pasti akan dengan mudah dapat mengidentifikasi elemen kreativitas ini di dalam kisah-kisah yang dipaparkan. 

Dengan melahirkan kreativitas ini, Ons Untoro yang sedang menjalankan karakter homo ludens, secara eksplisit sekaligus sedang menegaskan diri sebagai manusia yang bebas, independen, sanggup melampaui batas-batas dan ketidakmungkinan. Sebagai homo ludens yang menghayati kebebasan dan independensi, ia sedang menegaskan bahwa hal-hal yang pada umumnya “tidak terpikirkan dan tidak terbayangkan” ternyata dapat dihadirkan sebagai “yang pantas dipikirkan dan dinikmati bukan lagi sebagai bayangan”. Hal-hal yang pada umumnya tersembunyi dalam ketidakmungkinan, diangkat dan dilemparkannya sebagai sesuatu yang sangat mungkin. Sebagai contohnya, sahabatnya yang bernama Whani, yang dalam realitasnya tak pernah dipikirkan sebagai penjual bakmi Jawa, di dalam cerpen ini diciptakan sebagai penjual bakmi Jawa Simbokku, yang dagangannya menjadi laris karena senyuman Butet. 

Komunitas

Dengan bermain sebagai homo ludens, melalui cerita-cerita pendek yang ditulisnya ini, Ons Untoro sebenarnya juga sedang menegaskan unsur kedua, yakni membangun komunitas atau mempererat ikatan sosial. Permainan-permainan yang dijalankannya melalui kisah-kisah dan peristiwa yang dipaparkannya dalam cerita-cerita pendeknya ini, tidak dimaksudkan untuk mengalahkan atau menjatuhkan siapapun yang dilibatkan dalam permainan ini, melainkan dimaksudkan justru untuk mempererat ikatan sosial, menguatkan jalinan-jalinan emosional dan persahabatan sebagai komunitas. Permainan-permainan yang dijalankan melalui cerita-cerita pendek ini bukanlah permainan yang bersifat agonal atau kontestasi, melainkan permainan-permainan yang bersifat rekreasi, yakni terus-menerus mencipta kembali (recreatio) ikatan-ikatan persahabatan yang meneguhkan komunitas (communio, persatuan, persekutuan dalam jaringan yang saling berinteraksi).

Secara gamblang, unsur ini tampak dalam penyebutan nama-nama para sahabat yang secara faktual-historis memang ada dan demikian adanya, namun oleh Ons Untoro sebagai homo ludens, semuanya itu ditempatkan dalam gerak bermain di dalam narasi-narasi yang diciptakannya. Siapapun yang membacanya, apalagi jika mengenal sungguh nama dan karakter orang yang disebutkannya dan “dimainkannya” di dalam cerita pendek itu, barangkali akan ikut terpingkal-pingkal, tertawa, terbahak, lalu ikut menegaskan kata-kata suci dan indah yang disematkan di dalamnya, iblis kere….miskin juligdan sebagainya. 

Dengan semua cara itu, sekali lagi, sebagai homo ludens, Ons Untoro sedang menyapa, menyentuh hati, memanggil nama semua sahabatnya, menempatkan dalam perhatiannya, menginklusikan sebagai bagian dari komunitas dan kehidupan kesehariannya, mengidentifikasinya sebagai pribadi yang pantas diingat, disebut kembali, dan berdampak bagi pengalaman hidupnya sendiri, terhitung dan tak dapat diabaikan, penting, berarti, dan selalu pantas disimpan serta dihidupkan di dalam memori. Sekaligus, ia juga sedang menghubungkan, mengoneksikan, merajut, menalikan, mengikat para sahabatnya itu satu sama lain dalam ikatan sosial, dalam komunitas, dalam paguyuban, dalam perkumpulan, dalam satu naungan pengalaman yang melahirkan makna atau keberartian satu sama lain. Melalui semua cara itu pula, barangkali boleh dikatakan bahwa Ons Untoro sedang menegaskan bahwa ia tak pernah sendirian. Ia senantiasa hidup dan bertumbuh dalam ikatan sosial dan persahabatan yang menakjubkan. Jika demikian, melalui cerita-cerita pendeknya ini Ons Untoro sebenarnya juga sedang menghaturkan syukur kepada kehidupan atas karunia persahabatan dan ikatan emosional yang telah ia terima sepanjang hidup dan berkontribusi bagi seluruh pertumbuhan kreativitas dan literasinya. 

Sebagai homo ludens, melalui permainan-permainan yang dijalankannya dalam narasi cerita-cerita pendek ini, Ons Untoro sedang berterima kasih kepada kehidupan atas karunia persahabatan dan ikatan sosial yang melahirkan perasaan bermakna dan penuh syukur (gratia plena).

Kritik Sosial

Sebagai homo ludens, dengan memainkan nama-nama dan peran para sahabat, sekaligus memainkan peristiwa-peristiwa penting di suatu wilayah, melalui cerita pendeknya, Ons Untoro juga berupaya mengajukan suatu kritik sosial, yakni gugatan dan kritik terhadap realitas yang dihadapinya. Kritik itu ditegaskan dengan mengidentifikasi cara berpikir, sikap, atau pola perilaku yang dinilainya sebagai sesuatu yang sebenarnya kontra-produktif terhadap upaya-upaya substantif yang memperjuangkan nilai tertentu. Permainan yang dijalankannya itu menjadi medium bagi upaya menyampaikan pesan kritis. Dalam cerpen berjudul Suminten Edan, Ons Untoro menyematkan kritik sosial dengan menyematkan kalimat dalam kegundahan batin Ninuk.

Lagi-lagi hati Ninuk kembali getir. Selalu ada siluman yang menyelinap dalam dinamika budaya. Susahnya, siluman-siluman itu bisa sangat cepat mempunyai akses terhadap kekuasaan. Dan lagi-lagi, hati Ninuk kecut. Siluman memanipulasi komitmen kebudayaan untuk kepentingan jangka pendek.

Dalam cerpen berjudul Hariono dan Anaknya, Ons Untoro menegaskan sikap kritis terhadap informasi dan pengetahuan yang dikonstruksi oleh kekuasaan atau kelompok kepentingan tertentu sehingga sanggup menggerakkan massa yang tanpa berpikir, dengan bangga melakukan aktivitas yang seolah-olah sedang memperjuangkan sesuatu yang penting. 

Melalui cerpen ini, Ons Untoro sedang menunjukkan bukti kerja dari pemikiran seorang filsuf Politik bernama Michel Foucault yang menegaskan bahwa kekuasaan tidak lagi bekerja dalam bentuk-bentuk penindasan, pemaksaan atau represi, melainkan melalui bahasa, pengetahuan dan informasi yang bersifat produktif, yang jika tidak dicermati secara sangat kritis, ia seolah-olah merupakan kriteria kebenaran yang pantas diikuti dan dijunjung tinggi.2 

Akhirnya, patut disampaikan di sini bahwa melalui empat belas Cerita Pendek yang diberi judul Namaku Ratu Malang ini, sebagai homo ludens, Ons Untoro sedang berupaya menjalankan tiga fungsi sekaligus yakni mengembangkan kreativitas, meneguhkan komunitas, dan menegaskan sikap kritis atau kritik sosial. Barangkali semua fungsi itu tidak secara sengaja dan sadar dihayati oleh Ons Untoro di dalam pemikirannya. Barangkali ia melakukannya itu secara spontan dan mengalir mengikuti intuisi sebagai seniman, penyair dan penulis sastra. Namun yang jelas dan pasti, ia menghayati permainan-permainannya sebagai homo ludens. Saya hanya berupaya mengidentifikasinya, memberikan kerangka, dan menyuarakannya secara eksplisit dan transparan. 

—–

1Lih. Koen B. Tanghe | (2016) Homo Ludens (1938) and the crisis in the humanities, Cogent Arts & Humanities, 3:1, 1245087

2Lih. Haryatmoko, Membongkar Rezim Kepastian, Pemikiran Kritis Post-Strukturalis, Kanisius 2016, hlm. 9-33

——

*Indro Suprobo, penulis, editor, dan penerjemah buku. Tinggal di desa Yogyakarta.