Saya dan Sumarah
Oleh Riwanto Tirtosudarmo
Sumarah adalah sebuah kata dalam bahasa Jawa. Dalam pembicaraan sehari-hari Sumarah sering diartikan sebagai pasrah, meskipun menurut rasa bahasa saya tidak persis sama, ada kualitas mental yang berbeda antara sumarah dengan pasrah. Keduanya, sumarah dan pasrah, sering diterjemahkan kedalam bahasa Inggris sebagai surender. Sumarah dalam pemahaman saya bukan sekedar sebuah keadaan atau kondisi mental-spiritual, a state of mind, tetapi juga an act of mind, sebuah kondisi mental-spiritual aktif. Didalamnya tidak hanya terdapat sebuah kesadaran, consciousness, tetapi juga awareness dan alertness. Sumarah oleh karena itu bukan hanya kata sifat tetapi juga sebuah kata kerja. Sudah sekitar setengah tahun ini saya mengikuti latihan meditasi Sumarah yang diadakan setiap hari Kamis, dua minggu sekali, secara online melalui zoom meeting. Latihan meditasi sistim Sumarah ini dipimpin oleh Laura Romano seorang yang berasal dari Milan, Italia, yang setelah datang ke Solo tahun 1975 tidak lama kemudian memutuskan untuk mulai mengikuti latihan sujud Sumarah. Dalam pemahaman saya yang terbatas Sumarah adalah salah satu dari puluhan sistim atau ajaran spiritual Jawa yang secara generik saya sebut sebagai Kejawen.
Sepengetahuan saya, tidak sedikit orang asing, terutama dari barat, seperti Laura Romano yang terpikat dengan ajaran spritual Jawa ini. Selain Bu Laura yang sekarang menjadi pamong saya dalam latihan meditasi Sumarah, paling tidak ada dua orang barat lain yang saya kenal mempraktekkan kejawen. Yang pertama adalah Paul Stange dan yang kedua adalah Tim Behrend; keduanya berasal dari Amerika Serikat. Paul Stange saya kenal sebagai seorang antropolog yang menulis disertasi tentang Sumarah dan kemudian menjadi pengikut Sumarah. Tim Behrend, adalah seorang ahli filologi, bekas tetangga saya ketika tinggal di Canberra, sebagai mahasiswa pasca-sarjana di Australian National University (ANU). Tim Behrend bercerita kalau dia datang ke Indonesia sebagai pemuda Mormon, lengkap dengan dasi hitam dan baju putihnya, dengan tugas menyebarkan kabar baik tentang Jesus. Tetapi setelah mengenal Kejawen dia tinggalkan agama Mormon-nya dan merasa menemukan kedamaian dalam Kejawen.
Oleh karena itu, Bu Laura Romano, pamong meditasi Sumarah saya, bukanlah sebuah kekecualian. Jika ada yang berbeda mungkin karena Laura begitu dalam menyelami kejawen, khususnya sistim Sumarah. Kata sistim dalam tulisan pendek ini saya tiru dari Laura yang selalu menggunakan istilah sistim Sumarah untuk membedakan dengan ajaran atau sistim kejawen yang lain. Laura menuliskan pemahamannya tentang Sumarah yang telah dipraktekkanya sejak tahun 1975 hingga hari ini dalam sebuah buku, dengan judul Sumarah Spiritual Wisdom from Java. Judul ini jika saya Indonesiakan kira-kira menjadi Sumarah Kearifan Spiritual dari Jawa, aslinya ditulis dalam bahasa Itali. Buku asli Laura Romano dalam bahasa Itali terbit tahun 1999, dan versi Inggris terbit tahun 2013. Membaca pengantarnya, kita menjadi tahu mengapa Laura memutuskan mencurahkan enerjinya untuk menulis buku itu.
Pertama kali datang ke Indonesia tahun 1975 sebagai “back packers” bersama teman-temanya sesama aktifis mahasiswa universitas Milan, melakukan perjalanan ke Thailand, Malaysia, Sumatra dan Jawa; dia kemudian terdampar dan memilih tinggal di Solo, Jawa Tengah. Menurut ceritanya, saat itu, tanpa direncanakan Laura terlibat dalam kelompok tari dan musik yang dipimpin oleh Sardono W. Kusumo. Sebagai bagian dari kegiatan latihan, Sardono mengundang Pak Wondo, seorang guru spiritual untuk mengajarkan meditasi, Sujud Sumarah. Meskipun pada awalnya merasa tidak cocok namun perlahan-lahan seperti menemukan sesuatu yang memikat hatinya. Memberi jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang ketika itu dirasakannya. Seperti yang dikutip dari gurunya Pak Wondo, kata-kata tidak cukup untuk dapat menjelaskan proses yang berlangsung dalam dirinya. Buku yang ditulisnya, sejak awal diakuinya, sebagai hasil dari pengalaman pribadinya, dan bukan sebagai buku “resmi” dari Sumarah. Buku itu tidak bisa dibilang tebal, hanya sekitar 250 halaman. Setelah pengantar yang menjelaskan mengapa kemudian memutuskan untuk menulis buku itu, Bu Laura menyusun uraiannya tentang Sumarah kedalam empat bagian atau bab. Dalam setiap bab itulah dia merinci berbagai aspek dari Sumarah dalam bentuk narasi, semacam gabungan dari apa yang diketahuinya tentang Sumarah dan apa yang dialaminya dalam mempraktekkan Sujud Sumarah itu. Sebagai pembaca, kita akan dibawa, tanpa terasa, menyusuri jalan-jalan yang pernah dilalui Laura Romano sebagai seorang pelaku Sumarah.
Pada bagian pertama yang diberi judul “The Meditation of Surender: Sujud Sumarah”, Laura berusaha menjelaskan inti dari ajaran atau sistim Sumarah, yaitu meditasi. Kata meditasi memberi asosiasi pada berbagai ragam bentuk praktek spiritual yang telah banyak dikenal dalam sejarah masyarakat-masyarakat, baik di timur maupun di barat. Praktek meditasi hampir selalu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat spiritual, dunia dalam dari manusia. Bukan hal yang aneh jika meditasi seringkali menjadi bagian penting dari agama-agama yang berkembang sejalan dengan sejarah perkembangan masyarakat. Dalam meditasi, atau Sujud Sumarah, tidak digunakan teknik atau cara yang bersifat khusus, yang dilakukan adalah semacam relaksasi. Peserta meditasi tidak diajarkan untuk mengatur dirinya dalam posisi tubuh tertentu, juga tidak perlu mengatur pernafasan dengan cara tertentu, yang penting dalam posisi yang nyaman dan relaks.
Pada bagian dua, yang berjudul “Taking Time to Meditate: Sujud Khusus”, diuraikan tentang inti terpenting kedua dari Sumarah, yaitu meditasi yang dilakukan secara bersama-sama dalam waktu tertentu dan dipimpin oleh seorang pamong. Pamong adalah seseorang yang menjadi pembimbing meditasi bersama, atau meditasi khusus, yang diakhiri dengan acara tanya jawab antara peserta meditasi dengan pamong tentang berbagai hal, baik yang berkaitan dengan Sumarah maupun yang tidak. Dalam kesempatan tanya jawab inilah seorang pamong Sumarah menjelaskan bagaimana ajaran Sumarah memberikan metode atau cara untuk menyikapi hidup dan seluk beluknya. Pada bagian tiga yang berjudul “Meditating in the Midst of Life: Sujud Harian”, diuraikan tentang inti Sumarah yang lain yaitu meditasi yang dilakukan setiap saat dalam kehidupan yang dijalani seseorang sehari harinya. Dalam meditasi harian ini seorang pelaku Sumarah melakukan meditasi tanpa adanya pembimbing atau pamong. Sementara pada bagian empat yang merupakan bab terakhir dari buku, dengan judul “Knowledge and Consciousness” berbagai segi dan pengertian-pengertian yang ada dalam ajaran Sumarah diuraikan disertai ilustrasi-ilustrasi yang menarik dari pengalaman penulisnya.
Apa yang saya kemukakan secara singkat tentang isi buku Bu Laura Romano, yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman ini, sekedar untuk menunjukkan bahwa meditasi atau sujud sumarah adalah inti dari sistim Sumarah. Buku ini menurut saya sangat enak dibaca karena Laura berusaha menjelaskan berbagai hal yang sesungguhnya kompleks dan pelik dengan uraian dan ilustrasi yang mudah dimengerti, meskipun saya sendiri harus mengulang-ulang membaca untuk benar-benar memahaminya. Tentu pemahaman saya belum tentu persis seperti apa yang dinginkan oleh penulisnya. Logika saja tampaknya tidak cukup disini, diperlukan juga semacam perenungan dan mencoba merefleksikan kembali apa yang terbaca dalam teks dan apa yang kita alami sendiri dalam kehidupan nyata, sebuah proses yang sangat pribadi dan mungkin tidak pernah mencapai titik, selalu ada koma.
Ketertarikan saya dengan Kejawen barangkali memang bawaan saya sejak lahir, mungkin juga sejak dalam kandungan ibu saya Ayah saya, Tirtosudarmo, seorang kepala kantor pegadean di Tegal tahun 1950an, adalah ketua Paguyuban Soetji Rahajoe, cabang Tegal Tahun 1960an ketika saya menginjak usia remaja terbiasa melihat dan sedikit mendengarkan perbincangan antara ayah saya dan teman-temanya dalam saresehan yang secara rutin diadakan seminggu sekali secara bergilir di rumah anggota paguyuban. Ketika memilih belajar psikologi setelah lulus SMA tampaknya secara tidak disadari didorong oleh keinginan untuk mempelajari dunia batin seorang manusia. Ketika melanjutkan studi Pascasarjana di ANU karena situasi yang ada saat itu “terpaksa” masuk ke disiplin ilmu demografi. Meskipun sekembali ke Indonesia awal tahun 1990an sebagai peneliti sosial di LIPI selalu melakukan penelitian dengan pendekatan yang multi disiplin. Tradisi ini membuat saya terbiasa menyerap disiplin ilmu ilmu sosial lain seperti sejarah, antropologi, ekonomi maupun politik. Melihat sesuatu secara holistik menjadi tradisi ilmu sosial di LIPI.
Sejak tahun 2010, mungkin karena mulai tahun 1990an selalu melakukan penelitian di berbagai tempat di luar Jawa, saya memutuskan untuk melakukan penelitian di Jawa. Salah satu alasan adalah rasa penasaran mengapa begitu banyak orang asing, terutama dari barat, yang melakukan penelitian dan kemudian menulis buku tentang Jawa. Antara tahun 2010 hingga pensiun tahun 2017, berturut-turut saya melakukan penelitian tantang masyarakat di kota-kota di pantai utara Jawa (Pantura), dilanjutkan dengan meneliti masyarakat di sekitar tiga warisan budaya besar (Banten Lama, Borobudur dan Trowulan) dan yang terakhir tentang komunitas adat dan agama lokal. Ketika meneliti agama lokal di Jawa inilah mau tidak mau saya bersentuhan dengan Kejawen, yang dalam tafsir saya di istilahkan sebagai Agama Jawa oleh Clifford Geertz setelah melakukan penelitian awal tahun 50an di Mojokuto, nama samaran dari Pare di Jawa Timur.
Dari latar belakang yang saya miliki, oleh karena itu keputusan untuk mengikuti latihan meditasi Sumarah bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Terutama ketika melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, saya selalu menyempatkan untuk mengenal komunitas-komunitas lokal dari dekat, berbincang dan mengenal lebih mendalam para narasumber dan komunitasnya. Selain itu tentu membaca berbagai buku yang pernah ditulis tentang komunitas-komunitas itu. Ketika itu baru terasa begitu banyaknya pengetahuan tentang Jawa ditulis oleh para peneliti asing. Jawa yang saya ketahui adalah Jawa yang telah ditafsirkan oleh para penulis asing itu. Sebagai sesama peneliti saya juga bertemu dan juga berdiskusi dengan para peneliti dan penulis buku tentang Jawa itu, salah satu yang kemudian saya kenal adalah Paul Stange yang menulis disertasi doktor antropologinya tentang Sumarah di Universitas Wisconsin, Amerika Serikat (The Sumarah Movement in Javanese Mystism, 1980).
Berbeda dengan Laura Romano yang kemudian memutuskan untuk tinggal di Solo, menjadi warganegara Indonesia dan menjadi pamong Sumarah; Paul Stange meskipun mempraktekkan Sumarah, lebih memilih tetap sebagai peneliti, scholar. Setelah menyelesaikan studi doktornya, Paul Stange menjadi dosen di Murdoch University di Perth, Australia Barat. Sebagai dosen di sebuah universitas Paul Stange terus melakukan kajian tentang kejawen dan kejawen ikut mempengaruhi cara pandangnya tentang ilmu sosial. Paul Stange menceritakan bahwa koleganya di kampus tidak mendukung cara berpikirnya yang dianggap tidak sesuai dengan cara pandang barat karena misalnya upayanya untuk melihat rasa sebagai fenomena sosial yang memiliki logikanya sendiri. Paul Stange memutuskan keluar dari academia yang dianggap tidak dapat menerima cara berpikir dan sudut pandangnya. Terus mempraktekkan Sumarah, Paul Stange mengatakan menemukan komunitas Quakers di Perth mirip dengan komunitas Sumarah di Jawa.
Enggagement Paul Stange dengan Sumarah diwujudkan dengan terus menulis buku tentang Sumarah dan berusaha menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Buku-buku terjemahannya selalu di terbitkan oleh Penerbit LKiS di Jogya, antara lain karena persahabatannya dengan pendiri LKiS, Hairus Salim. Paul Stange selalu membaca dan mengoreksi terjemahan bukunya yang biasanya dilakukan oleh Chandra Gutama, dan dalam melakukan koreksi terjemahan itu Paul Stange selalu memilih tinggal sambil menyepi di penginapan di Parangtritis. Beberapa buku yang telah diterjemahkan antara lain: Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa (LKiS, 2008) dan Kejawen Modern: Hakekat dalam Penghayatan Sumarah (LKiS, 2009). Beberapa tahun yang lalu Paul Stange sudah memberikan draft buku barunya yang diberi judul Ancestor’s Voices yang saat itu mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Suara-Suara Nenek Moyang”, sebuah upayanya melacak sejarah dan perkembangan agama-agama lokal, yang intinya adalah keyakinan terhadap leluhur, di Asia Tenggara. Sayang buku terakhirnya ini seperti mengalami hambatan yang bersifat teknis sehingga sampai hari ini belum berhasil diterbitkan. Bu Laura Romano di dalam bukunya, maupun dalam berbagai kesempatan lain, mengatakan bahwa bagi yang ingin mengetahui sejarah dan perkembangan Sumarah sebaiknya membaca buku-buku dari Paul Stange.
Selain perjumpaan saya dengan Paul Stange dan buku-bukunya tentang Sumarah, sebelum mengikuti latihan meditasi Sumarah dengan Laura Romano, saya ketemu dengan guru kejawen yang lain, Suprapto Suryodarmo yang juga belajar Sumarah pada tahun 1970an, sejaman dengan saat Laura Romano dan Paul Stange menekuni Sumarah di Solo. Suprapto Suryodarmo belajar Sumarah dari seorang pamong Sumarah yang bernama Sudarno Ong, namun kemudian Suprapto memilih jalannya sendiri dengan mengembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai Joged Amerta. Berbeda dengan Laura Romano dan Paul Stange yang memiliki latarbelakang sebagai scholar, Suprapto Suryodarmo adalah seorang praktisi seni, khususnya seni gerak. Joged Amerta adalah sebuah bentuk meditasi yang dilakukan sambil melakukan gerak bebas. Seperti halnya Sardono W. Kusumo yang kemudian menjadi terkenal sebagai seorang maestro tari dan koreografer di barat; Suprapto Suryodarmo juga lebih dikenal di barat daripada di negerinya sendiri. Murid-murid yang belajar Joged Amerta kebanyakan berasal dari Eropa, Australia, Amerika dan Cina. Pada tahun 2014 saya sempat menghadiri peluncuran buku kumpulan tulisan murid-muridnya untuk merayakan usianya yang ke 70. Buku itu berjudul Embodied Lives: Reflections on the influence of Suprapto Suryodarmo and Joged Amerta (Editors Katya Bloom, Margit Galanter, Sandra Reeve, 2014); diluncurkan di Balai Soedjatmoko Solo. Buku itu menjadi bukti besarnya pengaruh Mbah Prapto, begitu kami biasa memanggilnya, dalam dunia spiritual di dunia.
Secara kebetulan saya bertemu dengan Mbah Prapto, ketika bersama dengan Tim dari LIPI meneliti masyarakat sekitar Candi Borobudur. Saat itu kami diundang oleh Mas Tanto Mendut yang sedang menyelenggarakan sebuah acara kesenian di studionya di Mendut. Acara itu rupanya adalah sebuah pagelaran tari, salah satunya Suprapto Suryodarmo. Seperti biasa setelah ngobrol saya teruskan dengan mengunjungi rumah dan padepokan beliau di Mojosongo, di pinggiran kota Solo. Padepokan Mbah Prapto bernama Lemah Putih, tempat diadakannya workshop bagi para muridnya yang ingin belajar Joged Amerta. Setelah saya pensiun dari LIPI Februari 2017 dan memiliki banyak waktu saya sengaja menemui Suprapto Suryodarmo, saat itu sekitar pertengahan tahun 2018 di Taman Budaya Jawa Tengah di Solo. Kepada Suprapto Suryodarmo saya menyatakan niat saya untuk belajar Yoga Vipasana. Ketika mendengar saya ingin belajar, Mbah Prapto spontan berkata “Wah, berkah Pak Ri”. Beliau kemudian menawari saya ikut workshop yang saat itu akan diselenggarakan di tiga lokasi: Borobudur, Tejakula di Bali Utara dan di Goa Gajah dekat Pura Samuan Tiga di Bedulu, Bali. Saya ditawari untuk ikut ketiganya, tetapi karena ada kegiatan lain saya hanya bisa ikut workshop yang dilakukan di Goa Gajah. Tahun 2019 tahun yang sangat sibuk bagi Suprapto Suryodarmo, tahun itu serangkaian workshop secara maraton dia pimpin di beberapa negara Eropa (Antara lain Itali, Spanyol, Jerman dan Inggris). Menjelang akhir tahun beliau harus masuk rumah sakit, dan tanggal 29 Desember 2019 beliau wafat.
Awal tahun 2020 dunia mulai dilanda Covid-19 sebuah virus yang penularannya melalui pertemuan antar manusia. Gerak dan pertemuan manusia harus dibatasi, Laura Romano tidak mungkin mengadakan kelas meditasi secara langsung, sejak itu kelas meditasi Sumarah yang dipimpinnya harus dilakukan secara online. Saya memutuskan ikut kelas meditasi Sumarah setelah diajak oleh Kaka (Sartika Intaning Pradani) dosen muda dari FH-UGM yang saya kenal saat kami mengikuti konferensi tentang agama lokal yang diadakan di UGM. Mengikuti kelas meditasi Sumarah yang dipimpin oleh Laura Romano, saya seperti menapaki kembali jejak yang pernah dilalui oleh ayah saya – jalan kejawen. Ada rasa nyaman yang dirasakan, ketika meditasi yang di pamongi Laura Romano pelan-pelan menuntun untuk mengikuti proses kehidupan dengan lebih mawas diri, menerima yang baik dan yang buruk sebagaimana adanya. Seperti kata Pak Wondo yang selalu dikutip ucapannya oleh Laura, kita sebetulnya tidak tahu apa-apa, jalani saja hidup ini ikuti proses yang terjadi, tidak perlu mengharapkan hasil apa-apa. Sebuah cara mengelola hidup yang sesungguhnya tidak mudah, dan memang diperlukan latihan yang tidak mungkin sebentar, bahkan barangkali seumur hidup, untuk bisa menghayati dan memahaminya.
*Riwanto Tirtosudarmo adalah peneliti.