Sepak Bola Indonesia dan Disonansi Identitas Nasional
Oleh Purnawan Andra*
Sepak bola bukan sekadar olahraga, melainkan arena di mana pencarian makna hidup dan kebebasan individu menyatu dengan identitas kolektif. Di balik setiap pertandingan tersembunyi narasi kompleks yang mencerminkan pertarungan antara nilai-nilai universal kemanusiaan dan realitas globalisasi. Olahraga ini menjadi wadah ekspresi kemanusiaan yang mengajukan pertanyaan mendalam tentang otentisitasnya di tengah tekanan pasar dan industri yang semakin komersial.
Konteks ini semakin menarik saat kita mengamati tim nasional sepak bola Indonesia. Dengan kebanyakan pemain naturalisasi asal Belanda, keberadaan mereka mencerminkan ambivalensi antara upaya mempertahankan identitas lokal, merawat semangat dasar olahraga, dan menyikapi logika eksistensial modernitas. Hal ini terutama terlihat dalam kualifikasi Piala Dunia ketika kekalahan telak 5-1 melawan Australia dan keharusan menang melawan Bahrain mengungkap kontradiksi antara ambisi nasional dan realitas di lapangan.
Permainan
Johan Huizinga dalam Homo Ludens menekankan bahwa permainan adalah aktivitas fundamental yang tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga mengartikulasikan ekspresi simbolis dan emosional. Sepak bola, dengan aturan yang disepakati dan estetika kompetitifnya, mewujudkan semangat bermain yang tertinggi. Stadion menjadi panggung drama kolektif, di mana emosi, solidaritas, dan identitas komunitas diwujudkan dengan intens.
Namun, di era komodifikasi dan komersialisasi, esensi permainan sering direduksi menjadi konsumsi komoditas. Sponsor, hak siar, dan pemasaran menggeser nilai asli dari ritual bermain. Timnas Indonesia, yang menggunakan strategi naturalisasi untuk meningkatkan daya saing, pun menghadapi dilema serupa. Kehadiran pemain naturalisasi mungkin meningkatkan daya saing, tetapi juga menimbulkan pertanyaan penting: apakah tim nasional tetap mencerminkan semangat lokal atau sekadar menjadi produk instan dari logika pasar internasional?
Dalam realitas kompetitif saat ini, timnas Indonesia bertarung antara keinginan idealis dan realitas performa. Kekalahan dari Australia mencerminkan bahwa meskipun ada upaya mengadopsi standar global melalui naturalisasi dan pelatih ternama, kekurangan mendasar dalam manajemen, infrastruktur, pembibitan pemain, dan sistem kompetisi masih menjadi kendala utama.
Untuk melaju ke Piala Dunia, tim harus bersaing dengan lawan yang lebih matang secara taktis dan fisik. Pertandingan melawan Bahrain menjadi ujian identitas bagi tim nasional: apakah mereka mampu menunjukkan permainan otentik sepak bola Indonesia atau hanya sekadar memenuhi target komersial dan ekspektasi pasar?
Refleksi Kritis
Identitas nasional dalam sepak bola bukan hanya simbol negara, melainkan hasil sistem manajemen yang terstruktur dengan dukungan masyarakat dan pemangku kebijakan. Sepak bola seharusnya menjadi sarana pembangunan manusia secara teknis, mental, dan komunal, serta mewakili nilai-nilai kemanusiaan seperti sportivitas, etos kerja, dan kerja sama. Namun, dominasi industri global dan praktik naturalisasi membawa risiko destruktif, di mana potensi lokal yang kaya dapat terkikis oleh keinginan untuk menyesuaikan diri dengan standar global yang berbeda.
Dalam konteks ini, konsep hegemoni Antonio Gramsci menjadi relevan. Ia menekankan bahwa dominasi bukan hanya melalui kekuatan fisik, tetapi juga melalui kontrol ideologi dan wacana yang mendominasi ruang publik. Dalam sepak bola, dominasi ini tampak jelas ketika narasi dan estetika global mendikte cara memahami dan menghargai permainan. Liga-liga besar di Eropa, dengan aliran dana miliaran dolar, menetapkan standar yang sering kali membuat kompetisi domestik kehilangan jati diri.
Dalam konteks timnas Indonesia, naturalisasi menjadi strategi untuk mengatasi kekurangan teknis. Namun, hal ini menimbulkan disonansi identitas: apakah pemain naturalisasi benar-benar merepresentasikan semangat nasionalisme atau justru mereduksi tim nasional menjadi sekadar proyek pragmatis?
Pierre Bourdieu dengan konsep habitus-nya menjelaskan bahwa praktik budaya, termasuk sepak bola, sangat dipengaruhi oleh struktur sosial yang lebih luas. Habitus tercermin dalam cara pemain dipilih, dilatih dan diuji dalam kompetisi yang dilangsungkan, strategi yang diterapkan ketika bertanding, serta dukungan dan ekspektasi yang dibentuk oleh manajemen tim dan para pendukung.
Naturalisasi besar-besaran yang menggeser sistem dasar pembentukan tim nasional menimbulkan konflik antara nilai-nilai dasar olahraga dan tekanan memenuhi glorifikasi standar global. Timnas Indonesia kini berada di persimpangan antara dua kekuatan tersebut.
Kritik terhadap fenomena ini tidak hanya bersifat teoretis, melainkan juga terlihat dalam realitas pertandingan. Kekalahan dari Australia menjadi bukti nyata kegagalan dalam menyelaraskan nilai-nilai esensial olahraga, identitas komunal, dan tuntutan global. Di satu sisi, naturalisasi menawarkan solusi jangka pendek untuk mengatasi kekurangan infrastruktur dan pelatihan domestik. Di sisi lain, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keaslian tim nasional jika hanya didasarkan pada kepentingan pragmatis.
Pertandingan melawan Bahrain bukan sekadar mengumpulkan tiga poin, tetapi juga ujian integritas tim nasional. Setiap gol dan kesalahan mencerminkan kegelisahan tentang masa depan sepak bola Indonesia. Apakah mereka hanya mengikuti tren global atau benar-benar membangun identitas sepak bola yang kuat dan berakar pada budaya lokal?
Rekonstruksi Nilai
Solusi permasalahan ini tidak bisa hanya bergantung pada regulasi normatif, tetapi harus melalui rekonstruksi nilai dan identitas secara menyeluruh. Pengelola kebijakan dan praktisi sepak bola harus berani mengeksplorasi narasi baru yang mengintegrasikan nilai-nilai esensial olahraga dengan inovasi modern tanpa terjebak dalam logika pasar yang hanya mengutamakan keuntungan finansial. Pelatih, pemain, pendukung, dan pemangku kebijakan harus menciptakan ruang dialog yang mendorong makna keberhasilan—bukan hanya diukur dari skor pertandingan, tetapi juga bagaimana tim nasional mencerminkan semangat dan identitas bangsa secara otentik.
Sepak bola tetap memiliki potensi sebagai medium ekspresi otentik, tempat di mana identitas, komunitas, dan makna kemanusiaan bertemu dalam setiap pertandingan. Timnas Indonesia bukan hanya produk kebijakan teknokratik, tetapi juga cerminan perjalanan panjang bangsa menghadapi tantangan modernitas. Perjuangan mereka melawan tim-tim seperti Australia dan Bahrain bukan hanya soal hasil di lapangan, tetapi juga simbol konflik antara idealisme budaya dan realitas kompetitif yang keras.
Sepak bola harus dilihat sebagai arena perlawanan yang mampu mengungkap ketidaksempurnaan sistem sekaligus menyalakan kembali semangat perjuangan demi keadilan dan identitas yang autentik. Ia merefleksikan kompleksitas masyarakat modern, di mana nilai-nilai kemanusiaan diuji, identitas dikonstruksi, dan harapan akan masa depan dipertaruhkan.
Upaya mengembalikan otentisitas sepak bola tidak hanya soal mengurangi praktik naturalisasi, tetapi juga merevitalisasi nilai-nilai fundamental olahraga yang menjadi inti pengalaman sepak bola. Sepak bola, dalam segala kontradiksinya, tetap menjadi medan pertempuran antara ideologi dan kenyataan. Setiap pertandingan adalah panggilan untuk mempertahankan esensi kemanusiaan dan identitas kolektif di era globalisasi.
—–
*Purnawan Andra, penggemar Liverpool FC; bekerja di Direktorat Bina SDM, Lembaga & Pranata Kebudayaan, Ditjen Pengembangan, Pemanfaatan & Pembinaan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan.