Semiotika Visual Film sebagai Strategi Kebudayaan
Oleh Purnawan Andra
Beragam film dengan kekayaan tema-tema cerita dan ekspresi artistik yang diangkat dalam cara bertutur yang makin beragam menjadi wajah perfilman Indonesia hari ini. Hal ini dapat diidentifikasi pada momen penghargaan Piala Citra 2024 yang diraih oleh film-film seperti Jatuh Cinta Seperti di Film-film, Kabut Berduri dan Samsara, yang berbeda genre, angle penceritaan hingga narasi yang hendak disampaikannya.
Film-film Indonesia juga meraih berbagai penghargaan festival film bergengsi dunia. Film-film produksi tahun 2023 seperti Women from Rote Island, Sara, 24 Jam Bersama Gaspar dan Ali Topan diputar di Busan International Film Festival. Ali Topan juga diputar 54th International Film Festival of India di Goa, India dan Asian Film Festival Barcelona. Berikutnya film Budi Pekerti (2023) masuk Toronto International Film Festival, lalu film Puisi Cinta yang Membunuh dan Like & Share diapresiasi positif di International Film Festival Rotterdam 2023, Like & Share juga menjadi rangkaian sajian SXSW Sydney dan Adelaine Film Festival 2023.
Produk kebudayaan itu seakan mempresentasikan identitas bersama suatu “kelompok bangsa”: sebagai film nasional (Seno Gumira Ajidarma, 2023). Film-film itu membentuk imajinasi komunal yang menyusun pondasi cultural citizenship sebagai bagian kesadaran kebangsaan melalui film. Dengannya, sinema Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tapi juga sebagai cermin kompleks yang merefleksikan perjalanan budaya, pembentukan identitas, dan dinamika sosial-politik bangsa.
Logika Kultural Wayang
Di balik layar perak film Indonesia, tersimpan logika kultural yang mengalami evolusi dari tradisi pewayangan, yang menggunakan layar, sorotan cahaya dan kehadiran penonton. Budaya komunal penuh simbolisme dan struktur penceritaan lisan itu telah lama membentuk jiwa yang kini diadaptasi ke dalam bentuk film.
Semesta wayang menyuguhkan metafora visual yang unik dan renik: dalam pewayangan, setiap tokoh dan lakon tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tapi menyimpan makna simbolis yang mewakili konflik, kompleksitas, dan pencarian makna kehidupan. Bayang, sebagai representasi abstrak dari realitas, mengungkapkan nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal yang selama ini menjadi dasar identitas masyarakat Indonesia.
Kini, sinema mengkonkretkan bayang-bayang tersebut melalui gambar bergerak yang mampu menyatukan tradisi lisan dan estetika visual kontemporer. Relasi dengan teknologi media audio-visual ini memunculkan budaya baru sebagai budaya layar dan budaya penonton modern. Transformasi ini tidak hanya soal teknik sinematografi, tetapi juga terhadap reorientasi makna.
Pada perkembangannya, film berperan sebagai budaya layar yang kritis (dan dekonstruktif) terhadap kondisi sosial-politik yang penuh friksi, konflik, dan ancaman kekerasan, seperti yang terjadi saat ini. Film menjadi laboratorium di mana identitas kolektif bangsa dirajut kembali melalui representasi visual yang sarat simbolisme, mengungkap pertemuan antara nilai-nilai tradisional dan arus modernitas yang tak terelakkan.
Estetika Visual
Dalam ranah teori estetika visual, film menawarkan ruang bagi penciptaan makna melalui komposisi visual, pencahayaan, warna, dan framing yang secara tersirat menyampaikan pesan naratif dan ideologis. Setiap elemen visual dalam film tidak sekadar hiasan, melainkan teks yang harus dibaca secara kritis. Pendekatan semiotik, seperti yang dikemukakan oleh Roland Barthes, menunjukkan bahwa teks visual terus-menerus menghasilkan makna melalui proses kodifikasi yang melibatkan tradisi dan realitas sosial.
Pada titik ini, film Indonesia, dengan kekayaan tradisi dan kearifan lokalnya, memiliki potensi untuk merekonstruksi identitas bangsa melalui narasi yang inklusif dan intertekstual. Karya-karya seperti Marlina Si Pembunuh Empat Babak, Women from Rote Island dan Istri Orang menjadi contoh bagaimana sinema dapat menggabungkan elemen simbolis tradisional dengan perspektif modern, menantang stereotip dan membuka dialog kritis mengenai identitas, konflik, serta ketidakadilan sosial.
Terkait hal ini, perspektif cultural studies menjelaskan bahwa film juga merupakan arena di mana identitas kultural diperebutkan dan dinegosiasikan secara dinamis. Teks visual membuka ruang untuk mengkritisi tatanan kekuasaan yang sering kali mendikte norma-norma sosial. Film tidak hanya merekam sejarah, tetapi aktif membentuk wacana yang menantang dominasi ideologi tertentu.
Film Budi Pekerti misalnya, dengan menyuguhkan dialog yang hampir seluruhnya berbahasa Jawa, mengangkat isu penting sisi lain dunia media sosial. Film Sleep Call (2023) mengangkat tema kesendirian berujung kesepian sebagai representasi kenyataan kehidupan manusia kiwari. Film thriller psikologis ini sarat kritik terkait kelas sosial di dunia urban. Begitu juga film Like and Share mengangkat isu kekerasan seksual di dunia digital.
Dengannya, sinema berpotensi menjadi alat untuk mengungkap ketidaksesuaian antara nilai-nilai tradisional dan logika-hasrat-mekanisme pasar global yang homogen. Di tengah ancaman kekerasan simbolis dan fisik yang sering kali muncul sebagai reaksi terhadap ketidakadilan, film mampu membuka ruang bagi perbedaan dan dialog yang mendalam tentang identitas nasional.
Perubahan Paradigma
Seiring dengan arus globalisasi dan digitalisasi, industri film Indonesia juga mengalami perubahan paradigma. Hikmat Darmawan (2017) menyebut Loetong Kasaroeng, film fiksi pertama yang diproduksi di Hindia Belanda dengan modal dana dari Bupati Bandung Wiranatakusumah V dan bersetting di Pandeglang, Jawa Barat. Film ini bukan hanya mengandung aspek hiburan tapi juga pembayangan konsep tentang “orang Jawa Barat” lewat alih wahana mitos tradisional folklor lisan ke dalam media modern. Film-film selanjutnya yang diproduksi di Hindia Belanda menjadi wahana masyarakat memproyeksikan diri mereka dalam pembayangan “menjadi Indonesia” secara visual.
Kini, film-film kontemporer mencoba meneruskan warisan tersebut dengan menyajikan narasi yang tidak hanya menghibur, tetapi juga membuka ruang diskursus kritis mengenai konflik internal, pertentangan nilai, dan perjuangan identitas di tengah masyarakat yang semakin kompleks dan dinamis.
Ini akan menjadi, seturut pemikiran Hannah Arendt dalam The Human Condition (2nd Edition, 1998), “keberlanjutan tindakan manusia” yang dapat menjadi pijakan untuk memahami bagaimana kebudayaan diwariskan melalui praktik-praktik yang bermakna. Dengannya, pandangan Marshall McLuhan tentang “media sebagai ekstensi manusia” menjadi kontekstual di mana teknologi dapat menjadi alat untuk memperluas akses ke kebudayaan.
Hal ini karena kebudayaan adalah ruang dialog yang terus berkembang antara tradisi dan modernitas. Jacques Derrida, dalam gagasannya tentang deconstruction, mengingatkan kita untuk tidak terjebak pada definisi kebudayaan yang statis. Sebaliknya, kita harus membuka ruang untuk keberagaman interpretasi, menciptakan kebudayaan yang inklusif bagi semua kelompok sosial.
Kemampuan tersebut menempatkan film sebagai representasi berbagai sudut pandang tentang Indonesia sebagai bangsa, yang akan melahirkan nilai-nilai pembentukan strategi kebudayaan yang menginspirasi dan mendorong terbentuknya narasi kontekstual tentang Indonesia yang merangkul pluralitas dan keberagaman.
Terlebih dengan pembentukan Kementerian Kebudayaan pada era pemerintahan saat ini, kebudayaan semestinya menjadi bagian integral dari strategi kebudayaan yang bukan normatif, tapi kontekstual, implikatif sekaligus visioner. Terkait hal ini, pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mestinya menjadi panduan utama arah tujuan dan fokus kebijakan yang dihasilkan.
Dengannya momentum Hari Film Nasional yang kita peringati setiap tanggal 30 Maret menemukan arti pentingnya: upaya untuk membangun kembali narasi budaya yang autentik, di mana setiap frame film merupakan bukti perjuangan melawan kekerasan, hegemoni, dan dominasi ideologi yang menyempitkan ruang gerak kemanusiaan dan mampu merekonstruksi identitas bangsa. Sinema dapat menjadi alat untuk membangun kembali kontrak sosial yang lebih adil, di mana keberagaman dan pluralitas budaya menjadi kekuatan, bukan alat yang dipergunakan kekuasaan untuk memecah belah persatuan.
***
*Purnawan Andra, bekerja di Direktorat Bina SDM, Lembaga & Pranata Kebudayaan, Ditjen Pengembangan, Pemanfaatan & Pembinaan Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan.