Estetika Triwikrama dan Kuasa Negara
Oleh Purnawan Andra*
Dalam wayang, adegan triwikrama selalu menjadi titik dramatik yang menegangkan. Sosok yang biasanya tampak tenang, bahkan alus, tiba-tiba berubah menjadi raksasa yang menggetarkan panggung. Tubuh membesar, mata menyala, suara mengguntur. Estetika ini menandai momen peralihan, tentang adanya kekuatan sejati yang sebelumnya tersembunyi kini ditampilkan dalam bentuk paling dahsyat.
Namun, triwikrama bukan sekadar transformasi visual. Ia adalah metafora tentang kuasa, yaitu bagaimana kuasa mempertontonkan dirinya, menciptakan aura gentar, sekaligus menetapkan garis batas antara yang menguasai dan yang dikuasai. Dan dari estetika pedalangan, kita bisa membaca politik hari ini.
Estetika (Politis)
Estetika wayang selalu mengandung lapisan simbolik. Dalam triwikrama, yang muncul bukan sekadar tubuh besar, melainkan “rasa” yang menggetarkan penonton. Dalang tidak hanya mengubah ukuran wayang, tetapi juga mengubah suasana dalam bentuk gamelan yang lebih dramatis, suluk dilantunkan dengan nada berat, dan suasana panggung berubah dari teduh menjadi bergelora.
Estetika ini menegaskan logika bahwa kuasa membutuhkan peragaan. Kuasa tanpa tampilan hanyalah abstraksi, tetapi begitu ia hadir dalam bentuk tubuh raksasa (yang kuat), maka ia menjadi tak terbantahkan. Inilah mengapa triwikrama menjadi peristiwa estetis sekaligus politis.
Konteks Indonesia hari ini memperlihatkan bagaimana negara melakukan triwikrama dalam versinya sendiri. Jika dalam wayang tubuh membesar secara kasat mata, maka dalam kenyataan sosial, tubuh negara membesar dalam tiga bentuk berupa represifitas fisik, manipulasi simbolik, dan operasi intelijen yang senyap namun mengikat.
Louis Althusser, seorang filsuf Marxis asal Prancis, dalam buku Lenin and Philosophy and Other Essays (1971), pernah menulis bahwa negara memiliki dua perangkat utama, yaitu Repressive State Apparatus (RSA) dan Ideological State Apparatus (ISA). Yang pertama adalah aparat fisik, seperti polisi, tentara, hukum, yang menjaga keteraturan dengan kekerasan.
Yang kedua bekerja melalui pendidikan, agama, media, dan budaya, yang membentuk kesadaran sehingga masyarakat tunduk tanpa merasa dipaksa. Dalam perspektif ini, triwikrama negara bukan hanya soal barisan aparat bersenjata, tetapi juga wacana yang digelar untuk membuat rakyat merasa tidak berdaya.
Kita menyaksikan hal itu dalam peristiwa demonstrasi terkini. Ribuan mahasiswa dan warga turun ke jalan, menolak kebijakan yang dianggap tidak adil. Tubuh sosial yang biasanya tenang tiba-tiba membesar seperti raksasa di jalan raya.
Tubuh Negara
Namun, negara merespons dengan triwikrama tandingan berupa pengerahan aparat, barikade kawat berduri, gas air mata, hingga operasi intelijen yang membungkam aktivis. Tubuh negara mendadak raksasa, menutupi jalan, menguasai ruang, dan menciptakan atmosfer gentar. Yang terjadi bukan sekadar adu argumen, melainkan peragaan kuasa yang mengintimidasi.
Dalam kerangka Antonio Gramsci, hegemoni negara tidak hanya bekerja dengan represi, tetapi juga melalui konsensus. Media massa, misalnya, kerap menampilkan narasi bahwa demonstrasi berpotensi ricuh, bahwa sarana prasarana rusak, bahwa para mahasiswa “ditunggangi”.
Narasi ini membuat publik meragukan legitimasi gerakan sosial. Dengan begitu, triwikrama negara bukan hanya tubuh aparat di lapangan, tetapi juga tubuh wacana yang membesar, menggeser simpati publik, dan melemahkan perlawanan. Inilah wajah estetika kuasa – bukan hanya peluru yang panas, tetapi juga kata-kata yang membentuk kenyataan.
Filsuf, sejarawan, dan pemikir politik asal Kamerun, Achille Mbembe menambahkan dimensi lain dengan konsep necropolitics (2019) yaitu kuasa yang menentukan siapa boleh hidup dan siapa boleh mati. Di Indonesia, kita melihatnya ketika aparat menembakkan peluru yang melukai demonstran, atau ketika negara membiarkan korban kekerasan tidak mendapatkan keadilan.
Tubuh negara membesar sampai pada titik di mana ia bisa mengendalikan, bahkan hingga nafas warganya. Triwikrama dalam versi ini adalah pertunjukan menakutkan di mana kuasa yang memutuskan batas hidup-mati, bukan hanya sekadar membungkam suara. Sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan terjadi di negara ini.
Namun, sebagaimana dalam wayang, triwikrama tidak selalu memihak kebenaran. Ketika Yudhistira atau Kresna bertriwikrama, penonton tahu bahwa itu untuk melawan adharma. Tetapi ketika negara melakukan triwikrama, sering kali yang tampak adalah pembalikan – bahwa adharma dipertahankan, dharma dipinggirkan.
Tubuh negara yang membesar tidak selalu menghadirkan rasa aman, melainkan rasa takut. Rakyat tidak merasa dilindungi, melainkan diawasi dan diintimidasi. Estetika kuasa menjadi terbalik, dari yang seharusnya menghadirkan keteduhan justru memproduksi ketakutan.
Manipulasi Simbolik
Estetika ini juga berkelindan dengan manipulasi simbolik. Misalnya, ketika aparat tampil dengan seragam lengkap, kendaraan taktis, dan perlengkapan perang di jalan raya. Hal itu bukan semata fungsi keamanan, melainkan sebuah pertunjukan visual, sebuah triwikrama yang dimaksudkan untuk membangun rasa tunduk.
Atau ketika negara menggunakan media untuk menyiarkan potret harmoni palsu di mana pemimpin berpidato dengan tenang, para “perusuh” telah ditangkap, jalanan digambarkan normal kembali. Konflik disapu di bawah karpet.
Tubuh negara membesar di layar televisi, tetapi di jalan-jalan tubuh rakyat tersungkur oleh pentungan, gas air mata dan laju kendaraan taktis. Di sinilah kita melihat betapa kuatnya estetika triwikrama, bahwa ia bukan hanya tentang tubuh raksasa, melainkan tentang tampilan sajian citra yang menggincu realitas.
Kita bisa mengingat sejarah 1965, 1998, dan berbagai momen krisis lain di mana triwikrama negara muncul dalam bentuk paling kasar. Penangkapan massal, pembunuhan politik, pelarangan buku, pembungkaman media terjadi. Semua itu adalah cara negara memperlihatkan tubuh raksasanya.
Dan di balik semua itu, selalu ada dua sisi. Satu sisi menampilkan keteraturan dan stabilitas, sementara sisi lain meninggalkan jejak trauma kolektif. Triwikrama negara adalah pertunjukan yang membekas lama, bahkan setelah panggung ditutup.
Di sisi lain, masyarakat sipil mampu menghadirkan triwikrama otentik. Ketika warga desa menolak tambang yang mengancam sumber air mereka, tubuh sosial yang kecil mendadak membesar dalam bentuk aksi kolektif, protes, bahkan litigasi hukum.
Ketika seniman jalanan membuat mural satir atau musisi indie meluncurkan lagu protes, itu adalah bentuk triwikrama kultural. Ia menjadi tubuh seni yang membesar untuk menyuarakan kegelisahan. Estetika wayang membantu kita membaca fenomena ini – dari yang biasa menjadi luar biasa, dari kecil menjadi menggetarkan.
Demo mahasiswa yang baru saja terjadi juga dapat dipahami dalam kerangka triwikrama. Mahasiswa, yang sehari-hari sibuk kuliah dan tampak “biasa”, tiba-tiba memenuhi jalanan, menyuarakan kekecewaan terhadap kebijakan negara. Tubuh kolektif ini membesar secara mendadak, menimbulkan gentar bagi penguasa sekaligus harapan bagi publik. Triwikrama sosial ini mencerminkan transformasi estetis. Dari energi muda yang biasanya sunyi, mendadak jadi raksasa yang menuntut perubahan.
Kita juga bisa melihat fenomena triwikrama dalam konteks digital. Dunia maya adalah panggung baru, di mana individu atau komunitas bisa “membesarkan” tubuhnya melalui viralitas. Sebuah video singkat bisa menjelma jadi gerakan, sebuah meme bisa jadi kritik yang mengguncang.
Namun, sama seperti dalam wayang, triwikrama digital bisa otentik sekaligus palsu. Ada aktivisme digital yang lahir dari keresahan nyata, tetapi ada pula yang hanya manipulasi algoritma untuk kepentingan politik.
Energi Sosial
Dengan demikian, triwikrama dapat dibaca sebagai estetika yang melampaui panggung wayang. Ia adalah simbol perlawanan terhadap stagnasi, sekaligus pengingat bahwa kekuatan sejati tidak selalu tampak di permukaan.
Penting dicatat bahwa triwikrama dalam wayang tidak berlangsung permanen. Begitu musuh tunduk, wujud agung itu kembali mengecil. Simbol ini memberi pesan, bahwa kuasa besar tidak untuk dipamerkan terus-menerus, melainkan hanya dipakai saat genting.
Kita perlu belajar dari prinsip ini. Terlebih Indonesia hari ini berada di persimpangan itu. Tubuh negara membesar dalam berbagai bentuk represi, sementara tubuh rakyat juga mulai membesar lewat demonstrasi dan media sosial.
Kita tidak butuh kekuasaan yang terus-menerus membesar hingga menindas rakyat. Yang kita perlukan adalah energi sosial yang bisa muncul ketika diperlukan, seperti berupa solidaritas, keberanian moral, dan kreativitas politik yang mampu menghentikan kebuntuan. Ia bukan sekadar turun ke jalan, tetapi juga menguasai narasi, membangun solidaritas lintas kelompok, dan menghadirkan alternatif moral yang lebih meyakinkan.
Estetika perlawanan perlu dibangun, bukan dengan kekerasan tandingan, tetapi dengan daya simbolik yang mampu membongkar ilusi kuasa. Triwikrama rakyat bukan sekadar tubuh besar di jalan raya, melainkan juga suara yang meresonansi hingga ke ruang-ruang yang coba dibungkam.
Karena pertarungan tentangnya bukan hanya soal siapa yang lebih kuat, tetapi siapa yang lebih mampu menghadirkan dharma berupa keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan pertunjukan triwikrama yang menakutkan, di mana panggung politik menjadi arena horor ketimbang ruang kemanusiaan.
Maka ketika negara kembali menampilkan tubuh raksasanya, apakah rakyat akan hanya menjadi penonton yang ketakutan, apakah kita berani menumbuhkan triwikrama kita sendiri sebagai bangsa?
——-
*Purnawan Andra, lulusan Jurusan Tari ISI Surakarta, alumnus Governance & Management of Culture Fellowship Program di Daegu Catholic University Korea Selatan.