Destinasi Bernama Ramah: Hariyanto dan Siasat Menyusun Wajah Wisata Indonesia
Oleh: Doddi Ahmad Fauji*
Ketika Negara Belajar Menyambut
Ada banyak cara membangun sebuah negeri. Sebagian memilih jalan industri. Sebagian lagi mengandalkan tambang, atau megaproyek infrastruktur. Tapi ada satu jalan yang kerap dilupakan—jalan yang tak selalu diukur dengan angka ekspor atau volume kontainer, tapi dengan sapaan ramah, cerita warga, dan jejak kaki orang asing yang pulang dengan hati penuh kenangan. Itu adalah jalan pariwisata.
Indonesia, dengan ribuan pulaunya, bukan hanya diberkahi alam yang memesona, tapi juga masyarakat yang secara alamiah tahu cara menyambut tamu. Namun dalam sistem yang terburu-buru dan birokrasi yang kadang kaku, nilai-nilai itu kadang terkikis. Di sinilah peran seorang seperti Hariyanto, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur di Kementerian Pariwisata, menjadi penting.
Saya menemuinya dalam suasana yang jauh dari formal. Tak ada tumpukan dokumen. Tak ada seliweran pejabat bersetelan lengkap. Hanya ruang terang, pemandangan taman, dan secangkir kopi hitam dari desa wisata yang ia kunjungi minggu sebelumnya.
Yang terjadi selanjutnya bukan sekadar wawancara. Tapi percakapan tentang arah, tentang nilai, dan tentang wajah Indonesia yang ingin ditampilkan ke dunia. Bukan wajah metropolitan yang seragam. Tapi wajah desa, wajah pelabuhan kecil, wajah penjaja rujak di pinggir pantai, dan wajah ibu-ibu yang menyambut tamu dengan tangan hangat dan hati terbuka.
Melalui enam bagian berikut, esai ini mencoba menangkap bukan hanya isi kepala Hariyanto, tetapi juga denyut idealisme dan kesabaran seorang pejabat yang percaya bahwa pembangunan sejati dimulai dari senyum—bukan semen. Bahwa teknologi boleh memandu arah, tetapi manusia yang menentukan makna. Dan bahwa pariwisata, jika dibangun dengan hati, bisa menjadi jembatan antara sejarah dan masa depan, antara desa dan dunia, antara bangsa dan dirinya sendiri. Inilah catatan dari perbincangan panjang kami. Ia bisa dibaca sebagai wawancara. Bisa juga sebagai esai. Tapi barangkali, paling tepat dibaca sebagai undangan: untuk melihat kembali cara kita menyambut orang lain—dan mungkin, juga menyambut diri sendiri.

Hariyanto, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur di Kementerian Pariwisata. (Sumber: penulis)
1. Memulihkan yang Retak, Membangun yang Lupa
Ada luka yang tak selalu membekas di kulit, tapi terasa dalam pada denyut ekonomi dan budaya sebuah pulau. Bali 2002 adalah satu dari sedikit tragedi yang menguji bukan hanya keamanan nasional, tapi daya tahan spiritual sebuah bangsa. Ledakan di Paddy’s Pub dan Sari Club menghapus ratusan nyawa, tetapi juga memukul telak satu sektor: pariwisata. Yang biasanya riuh oleh bahasa asing, mendadak sunyi. Hotel jadi kosong. Warung-warung tutup. Ekonomi pariwisata roboh. Hariyanto mengisahkan momen itu bukan dengan dramatik, tapi dengan sebuah kalimat yang jernih: “Kami tak hanya kehilangan wisatawan. Kami kehilangan rasa percaya.”
Di titik itu, pemerintah tak hanya membenahi infrastruktur. Mereka memulai sesuatu yang lebih subtil: membenahi relasi. Lewat arahan Menteri I Gede Ardika, masyarakat Bali diajak untuk mengubah cara pandang. Bahwa wisatawan Nusantara tak kalah mulia dari turis Eropa. Bahwa hormat tak boleh selektif.
Seruan ini bukan sekadar slogan. Pemerintah memindahkan agenda nasional ke Bali sebagai bentuk solidaritas. Insentif untuk warga lokal digencarkan. Tapi yang paling penting: masyarakat Bali menyambut dengan hati yang lebih lapang. Wisatawan domestik kini tak sekadar disambut, mereka dihormati.
“Perubahan itu,” kata Hariyanto, “membuat kami sadar: pariwisata bukan sekadar produk, melainkan hubungan sosial.”
Di tengah gempuran industri global dan budaya instan, Indonesia memilih arah unik: membangun kembali dari simpul-simpul sosialnya. Ini adalah pelajaran bahwa trauma bisa jadi titik awal. Dan pemulihan tak hanya soal uang atau infrastruktur, tapi soal martabat dan tata nilai.
Kisah ini menjadi titik berangkat dari pendekatan pariwisata Indonesia pasca 2002. Bukan lagi hanya menjual panorama dan eksotisme, tapi menawarkan pengalaman yang manusiawi. Karena turis sejatinya datang bukan untuk sekadar melihat, tapi untuk merasa: disambut, dimuliakan, dimanusiakan.
Hariyanto menyebut tragedi itu sebagai “kursus kilat kemanusiaan.” Ia mengenang bagaimana anak-anak muda Bali belajar menyambut dengan lebih ramah, bagaimana pemilik penginapan kecil tak lagi mengeluh soal “bule yang tak datang,” tapi bersyukur pada keluarga dari Solo yang menginap dua malam.
Peristiwa itu menandai titik balik, yang kemudian menjadi landasan arah baru: wisata berbasis nilai. Dan nilai yang utama, menurut Hariyanto, adalah kesetaraan.
Hari ini, ketika ia berbicara tentang pembangunan destinasi, ia selalu kembali pada cerita itu. Bagi dia, puncak pembangunan bukanlah bandara megah atau hotel bintang lima. Tapi saat seorang ibu di desa menyambut turis—entah dari Jerman atau dari Blitar—dengan air putih, makanan hangat, dan senyum yang jujur.
“Kalau kita sudah bisa menghargai setiap tamu, tanpa lihat warna kulit atau bahasa, di situlah pariwisata Indonesia jadi kuat,” ujarnya.
Bali 2002 mengajarkan kita: tempat bisa rusak, tapi nilai bisa menyelamatkan. Dan dari luka itulah, kita belajar membangun—bukan hanya infrastruktur, tapi cara kita memandang orang lain.
2. Quality Over Quantity: Dari Angka ke Pengalaman
Di sebuah pertemuan teknokratik yang biasanya kaku, Hariyanto pernah membalikkan suasana hanya dengan satu pertanyaan: “Apakah Anda ingat wajah dari tempat terakhir yang Anda kunjungi, atau hanya jumlah follower yang menyukai fotonya?”
Ruangan mendadak sunyi, lalu perlahan orang mulai tersenyum. Karena pertanyaan itu, meski ringan, menggugah inti dari paradigma baru yang sedang coba dibangun Kemenpar: bahwa pengalaman jauh lebih berarti dari angka.
Sejak 2020, pandemi telah merombak cara manusia bepergian. Turisme massal, yang dulu jadi tolok ukur kesuksesan—berapa juta orang yang datang, berapa miliar yang dibelanjakan—tiba-tiba terasa rapuh. Pariwisata jadi sektor yang pertama kali tumbang dan terakhir bangkit. Tapi dari reruntuhan itu, sebuah peluang lahir: membangun ulang, bukan sekadar dengan target kuantitatif, tapi dengan filosofi.
“Quality tourism bukan jargon,” tegas Hariyanto. “Itu strategi. Itu niat untuk tidak lagi mengejar angka semata, melainkan membangun relasi, ekosistem, dan nilai jangka panjang.”
Ia berbicara dengan gairah ketika menjelaskan bagaimana sektor ini kini diarahkan untuk menyentuh tiga pilar utama: keberlanjutan lingkungan, pelibatan komunitas, dan peningkatan kualitas pengalaman wisatawan. Di bawah visi Presiden Prabowo, pemerintah menargetkan kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB sebesar 4,6% pada 2025, dan USD 34 miliar devisa pada 2029. Namun angka-angka itu, katanya, hanya kulit luar.
Yang menjadi jiwa kebijakan ini adalah perubahan cara berpikir: dari membangun tempat, menjadi membangun makna.
Contohnya adalah pendekatan pada wisata bahari. Dulu, lokasi diving hanya jadi daftar spot dalam brosur. Kini, setiap titik selam dikaji nilai konservasinya, diawasi keberlanjutan terumbu karangnya, dan komunitas lokalnya diberdayakan sebagai pemandu bersertifikat. “Kami ingin wisatawan pulang membawa pengalaman spiritual, bukan hanya hasil jepretan kamera underwater,” ujarnya.
Hal serupa diterapkan pada gastronomi. Makanan bukan sekadar pelengkap, tapi narasi budaya. Pemerintah mendorong pelatihan kuliner tradisional, promosi makanan lokal di festival internasional, dan integrasi kisah-kisah rakyat ke dalam penyajian. Wisatawan tak hanya kenyang—mereka paham.
Maka tak heran jika kini pendekatan Kemenpar terasa sangat berbeda. Dalam penilaian program, hal-hal seperti durasi tinggal, interaksi dengan masyarakat, hingga tingkat kepuasan terhadap keramahan lokal menjadi indikator penting. Keberhasilan destinasi tidak diukur dari seberapa cepat penuh saat libur panjang, tetapi seberapa sering orang ingin kembali meski tak ada promosi.
“Kalau tempatmu bisa membuat orang menyesal saat meninggalkan, itu baru destinasi,” ujar Hariyanto, sambil tertawa kecil.
Bagi dia, kualitas bukan soal eksklusivitas. “Quality tourism bukan hanya untuk turis asing yang bayar mahal. Bahkan wisatawan lokal pun berhak mendapat pengalaman terbaik, terhormat, dan berarti.”
Dan dalam pengalamannya, wisatawan yang bahagia tak selalu bicara soal fasilitas. Mereka bicara tentang percakapan hangat dengan penjaga museum tua. Tentang sarapan pagi di dapur warga. Tentang mendengar cerita masa kecil dari pemilik homestay.
Semua itu, katanya, adalah investasi paling berharga dalam pembangunan destinasi: keintiman yang tak bisa dinilai dengan grafik atau grafik Excel.
3. Desa, Titik Pijak dan Titik Lompat
Ketika saya menyebut kata “desa,” Hariyanto tak menunggu lama untuk merespons. “Desa adalah tempat kita kembali dan tempat Indonesia bisa melompat,” katanya, sambil menekankan bahwa masa depan pariwisata Indonesia bukan di kota besar atau megaproyek reklamasi, melainkan di lorong-lorong kecil yang penuh cerita dan senyum jujur.
Dalam berbagai forum nasional, ia tidak bosan menyerukan satu gagasan penting: bahwa desa bukan hanya latar belakang eksotisme, tapi aktor utama pembangunan. “Kalau kamu ingin tahu wajah Indonesia yang sesungguhnya, pergilah ke desa,” ujarnya. “Di sana kita bisa menemukan bukan hanya keindahan, tapi makna.”

Penulis bersama Hariyanto. (Sumber: Penulis)
Program Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) menjadi bukti konkret dari keyakinan itu. Sejak diluncurkan, ADWI bukan hanya kompetisi. Ia adalah katalis—pemicu kebangkitan ekonomi lokal yang berbasis budaya dan keterlibatan warga. Dari ribuan desa yang mendaftar, ratusan telah dibina, dilatih, bahkan difasilitasi untuk masuk ke dalam ekosistem digital pariwisata nasional.
Namun bagi Hariyanto, nilai program ini tak berhenti pada data. Ia bercerita tentang satu desa di Sulawesi yang dahulu tak punya sinyal internet dan kini justru menjadi destinasi bagi digital nomad karena keunikan budaya dan keramahan warganya. Tentang anak muda yang pulang dari kota bukan untuk mencari kerja, tapi untuk membuka paket wisata. Tentang ibu-ibu yang dulunya hanya menjahit untuk tetangga, kini produknya masuk ke etalase bandara.
“Desa itu laboratorium masa depan,” ujarnya. “Di sana kita bisa uji coba pariwisata regeneratif—yang menjaga budaya, memberdayakan ekonomi, dan melindungi lingkungan.”
Salah satu transformasi kunci yang kini didorong adalah konversi Pokdarwis menjadi koperasi wisata. Ini bukan sekadar pengubahan bentuk kelembagaan, tetapi penguatan struktur ekonomi. Sebuah Pokdarwis biasanya berbasis semangat gotong royong, tapi tanpa model bisnis yang kuat, mereka sering rentan terhadap ketergantungan dana hibah. Dengan menjadi koperasi, mereka bisa mengakses pembiayaan, membentuk unit usaha, dan memberikan dividen ke anggota.
Namun tantangan terbesar, kata Hariyanto, tetaplah soal pola pikir. “Masih banyak yang menganggap desa itu tempat menunggu bantuan. Kami ajak mereka untuk jadi kreator, bukan penerima.”
Itu sebabnya, selain infrastruktur dan promosi, program pendampingan jadi kunci. Pelatihan literasi digital, manajemen keuangan, pembuatan paket wisata, hingga storytelling budaya dilakukan hampir setiap bulan. Dan semua itu diarahkan bukan untuk membentuk desa menjadi replika kota, melainkan agar desa tetap menjadi dirinya—dengan keaslian dan keunikannya.
Baginya, desa tak boleh kehilangan identitas hanya demi mengejar estetika turisme. “Kalau kamu sulap desa jadi seperti resort, kamu hanya dapat wisatawan, tapi kehilangan jiwa,” katanya tajam.
Di akhir percakapan kami tentang desa, ia mengambil ponsel dan memperlihatkan foto: seorang kakek sedang memandu wisatawan menyusuri sawah, sambil bercerita tentang legenda lokal. “Ini bukan aktor. Ini tokoh nyata. Dan inilah pariwisata yang saya perjuangkan—di mana warga menjadi pencerita, bukan dekorasi.”
Desa, dalam bayangan Hariyanto, adalah titik pijak untuk membumi dan titik lompat untuk menatap dunia. Bukan hanya untuk turis, tapi untuk Indonesia sendiri—agar ingat darimana ia berasal, dan tahu ke mana ia ingin menuju.
4. Senyum, Bukan Bandara
Suatu hari, dalam sebuah kunjungan ke desa wisata di Kalimantan Tengah, Hariyanto melihat sesuatu yang ia anggap lebih penting dari jalan beton atau jembatan gantung: seorang ibu tua menyapa rombongan wisatawan dengan tangan terbuka, mata berbinar, dan tawa yang tak dibuat-buat. Tidak ada papan sambutan, tidak ada dekorasi mewah. Hanya sebuah pelukan budaya yang tak terlihat, tapi terasa hangat.
“Mereka mungkin datang karena ingin lihat orangutan. Tapi mereka pulang karena keramahan ibu itu,” katanya sambil tersenyum.
Itulah mengapa, menurutnya, membangun destinasi tidak bisa hanya dengan membangun bandara, resort, atau pusat oleh-oleh. “Semua itu penting, iya. Tapi bukan itu yang membuat orang ingin kembali,” ujarnya. “Yang membuat orang kembali adalah rasa diterima.”
Maka tak heran jika Kemenpar mengarusutamakan pendidikan karakter pariwisata. Program seperti Sadar Wisata dan Sapta Pesona bukan hanya kampanye. Mereka adalah proses panjang menanamkan kesadaran kolektif bahwa setiap warga, setiap pelayan warung, tukang ojek, atau anak-anak kecil yang bermain di pinggir jalan, adalah bagian dari ekosistem pariwisata. Mereka semua tuan rumah.
“Senyum, kebersihan, keramahan, rasa aman, dan suasana damai adalah modal utama. Tanpa itu, bandara sebesar apapun tak akan menyelamatkan destinasi dari kehampaan.”
Hariyanto bahkan menyebut program Gerakan Wisata Bersih sebagai revolusi diam-diam. Ia tidak datang dengan proyek jutaan dolar, tetapi dengan sapu lidi, tempat sampah, dan ajakan mulut ke mulut. Hasilnya? Pantai-pantai yang dulu penuh sampah kini jadi tempat syuting sinetron. Jalan desa yang dulu becek, kini dihias mural hasil karya anak-anak lokal.
Dan yang terpenting: warga mulai bangga.
“Ketika masyarakat merasa bahwa mereka adalah bagian dari destinasi, mereka akan menjaganya. Bukan karena disuruh, tapi karena cinta,” ujarnya.
Ia mengutip satu survei internal: tingkat kepuasan wisatawan terhadap keramahan lokal meningkat tajam, bahkan lebih tinggi dari penilaian terhadap fasilitas. Ini membuktikan, katanya, bahwa manusia tetap mencari pengalaman emosional di tengah dunia yang makin mekanis.
Dalam paradigma baru Kemenpar, senyum bukanlah aksesori. Ia adalah infrastruktur sosial. Bandara bisa rusak. Jalan bisa bolong. Tapi sapaan hangat, keramahan, dan penghormatan tak bisa diganti oleh teknologi.
“Yang harus kita bangun adalah narasi: bahwa setiap tamu yang datang ke Indonesia adalah tamu yang dimuliakan, tak peduli apakah dia membayar jutaan atau hanya naik motor dari kota sebelah.”
Sebuah negara bisa punya 10.000 destinasi, tetapi jika tak punya manusia yang siap menyambut, semua itu hanya latar kosong. “Senyum adalah pernyataan niat,” katanya. “Bahwa kita bukan sekadar ingin dikunjungi. Kita ingin dikenang.”
Bagi Hariyanto, inilah bentuk pariwisata tertinggi: bukan sekadar kedatangan, melainkan keterikatan. Dan dalam dunia yang serba cepat dan anonim, Indonesia masih punya satu hal yang otentik—sambutan yang hangat dan tulus.
5. Teknologi yang Tak Menyisakan Manusia
Dalam perbincangan kami, topik yang paling cepat mengubah nada suara Hariyanto adalah soal teknologi. Ia tidak menampik pentingnya inovasi—malah, ia menyambutnya dengan antusias. Tapi ia juga mengingatkan: teknologi tidak boleh jadi alasan untuk meninggalkan kemanusiaan.
“Boleh pakai AI, boleh bikin virtual tour,” katanya. “Tapi jangan sampai kita lupa bahwa di balik semua itu, wisata adalah relasi manusia dengan manusia.”
Itulah mengapa pendekatan Kemenpar terhadap digitalisasi pariwisata tidak hanya soal membangun aplikasi canggih, tetapi soal bagaimana teknologi menjembatani ketulusan. “Kalau teknologi malah bikin wisatawan merasa dingin, berarti kita keliru dalam memakainya,” ujarnya.
Salah satu proyek ambisius yang ia banggakan adalah SISPARNAS (Sistem Informasi Kepariwisataan Nasional). Ini bukan sekadar dashboard digital. Ia adalah semacam nadi elektronik yang mengumpulkan data pariwisata dari seluruh Indonesia secara real-time. Dengan sistem ini, pemerintah pusat bisa mengetahui tren wisata, arus kunjungan, hingga kekuatan daya saing suatu daerah.
Namun bagi Hariyanto, data hanyalah alat bantu. “Kami tetap harus datang ke lapangan, bicara dengan warga, merasakan denyut desa. Algoritma tak bisa mencium aroma dapur ibu-ibu di desa wisata,” katanya dengan senyum reflektif.
Teknologi juga digunakan untuk meningkatkan literasi pelaku wisata. Pelatihan digital marketing, pencatatan keuangan digital, bahkan pengelolaan reservasi secara daring kini menjadi kurikulum wajib di program pendampingan desa wisata.
Ia mencontohkan seorang pemuda di Nusa Tenggara Timur yang dulunya hanya jadi tukang ojek. Setelah ikut pelatihan, ia membuka paket tur lewat Instagram dan WhatsApp. “Sekarang, dia punya tiga motor, dua karyawan, dan bahkan disewa oleh travel agent dari Australia,” kisahnya.
Inilah esensi yang ia maksud: teknologi harus melipatgandakan nilai manusia, bukan menghapus perannya.
Dalam konteks promosi, teknologi juga jadi senjata baru. Pemerintah mulai memakai AI untuk menganalisis preferensi wisatawan. Misalnya, dari data pencarian dan aktivitas media sosial, sistem bisa merekomendasikan promosi spesifik untuk target tertentu: selancar untuk anak muda, wisata spiritual untuk manula, atau kuliner halal untuk wisatawan Muslim.
Tapi meski sudah bicara data besar dan kecerdasan buatan, Hariyanto tetap kembali pada hal-hal kecil. “AI bisa tahu kamu suka sunset. Tapi hanya manusia yang bisa tahu kenapa kamu menangis saat melihatnya,” ujarnya.
Virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) pun kini mulai digunakan. Turis bisa menjelajah Borobudur lewat ponsel sebelum datang langsung. Museum bisa menghadirkan sejarah lewat pengalaman imersif. Tapi di setiap inovasi itu, prinsipnya tetap sama: jangan sampai teknologi menjadi pengganti interaksi, melainkan pengantar rasa penasaran yang membawa orang untuk bertemu langsung.
Bagi Hariyanto, teknologi adalah pintu, bukan ruang tamu. Ia membuka jalan, tapi yang menyambut tetap manusia.
Dan di dunia yang makin tenggelam dalam gawai, ia percaya: senyum hangat, cerita lisan, dan kehadiran nyata akan jadi komoditas langka yang paling dicari. “Teknologi harus memperkuat empati,” katanya. “Kalau tidak, kita hanya akan punya pameran digital dari negeri yang sudah lupa cara menyambut tamu.”
6. Refleksi: Siapa yang Sebenarnya Butuh Wisata?
Ketika saya menutup buku catatan dan memandang ke luar jendela ruang kerja Hariyanto, awan Jakarta menggantung rendah seperti menggoda satu pertanyaan terakhir. Maka saya ajukan—bukan dalam bentuk strategi atau angka, tapi dalam bentuk perenungan: “Menurut Bapak, siapa yang sebenarnya butuh wisata?”
Hariyanto diam sejenak, lalu menjawab dengan lirih, nyaris seperti menjawab dirinya sendiri, “Kita semua.”
Pertama, kata beliau, wisata bukan hanya soal rekreasi atau pengeluaran uang. Wisata adalah ruang jeda—tempat manusia berhenti sejenak dari rutinitas, dari layar, dari berita buruk, dan dari segala tekanan hidup. Tapi lebih dari itu, wisata adalah proses mengenali diri lewat orang lain, dan mengenali negeri lewat warganya.
Ia percaya bahwa wisata adalah jalan sunyi yang penuh cermin. “Ketika kita jalan ke desa lain, kita seperti mengunjungi potongan jiwa Indonesia yang lain. Kita belajar rendah hati, belajar melihat bahwa yang berbeda bukan berarti salah.”
Maka, bagi Hariyanto, pembangunan pariwisata bukan hanya soal mendatangkan wisatawan, melainkan juga mengajak warga negeri ini mengenal dirinya sendiri. Desa yang dibuka untuk kunjungan bukan sekadar objek, melainkan panggung tempat warga tampil percaya diri—menceritakan sejarah mereka, menyuguhkan makanan mereka, dan menampilkan cara mereka menyambut hidup.
“Pariwisata yang baik tak hanya membuat tamu bahagia, tapi juga membuat tuan rumah merasa berarti,” katanya. Itulah mengapa ia sering mengatakan: dalam pariwisata, yang tumbuh bukan hanya ekonomi, tapi martabat.
Ketika pariwisata dibangun dengan pola pikir yang benar, desa tak lagi menunggu bantuan. Mereka menjadi produsen narasi dan pelaku perubahan. Ketika wisatawan diposisikan sebagai tamu dan bukan konsumen, hubungan yang tercipta lebih dalam dari sekadar transaksi. Di sanalah terletak inti dari pembangunan manusia.
Hariyanto juga melihat wisata sebagai jembatan antara generasi. Anak-anak muda yang biasanya tak tertarik pada sejarah lokal tiba-tiba jadi pemandu yang bangga menceritakan kisah kakeknya. Remaja yang dulunya ingin lari ke kota, kini belajar menyanyi lagu daerah dan mengunggahnya ke TikTok. Dan para orang tua, yang tadinya malu karena hanya bisa bahasa daerah, justru kini jadi kekayaan budaya yang dilestarikan. Tampaknya, kejadian nyata tentang alamiahnya warga di tiap pelosok pedesaan, sejalan dengan prediksi John Naisbit dalam bukunya Paradoks Global: Semakin Besar Ekonomi Dunia, Semakin Kuat Pemain Terkecilnya. William Morrow & Company, Inc., 1994.
“Pariwisata yang benar adalah dialog lintas usia, lintas pulau, dan lintas hati,” katanya pelan.
Dalam kata-katanya, terdengar satu hal yang jarang diucapkan dalam seminar ekonomi atau laporan proyek: bahwa wisata bisa menyembuhkan. Menyembuhkan keterasingan sosial, menyambung identitas yang tercerai, bahkan menyalakan harapan yang redup.
“Mungkin sebenarnya yang paling butuh wisata adalah bangsa ini sendiri,” tutupnya. “Agar kita bisa saling melihat, saling menghargai, dan akhirnya—saling mencintai.”
Negeri yang Tahu Cara Menyambut
Ada satu hal yang tak bisa dibeli oleh promosi miliaran rupiah, atau dibangun oleh megaproyek bertahun-tahun: rasa diterima. Dan dalam pembicaraan panjang bersama Hariyanto, saya belajar bahwa itulah kunci dari pariwisata yang benar-benar bermakna. Bukan sekadar soal kunjungan, tetapi soal keterikatan. Bukan hanya angka di dashboard kementerian, tetapi kesan yang tinggal di hati seorang tamu.
Ketika pariwisata dibangun di atas nilai—kesetaraan, keramahan, kebersihan, rasa hormat, dan kebanggaan lokal—ia tak hanya menjadi sektor ekonomi. Ia menjadi ruang perjumpaan. Ruang di mana orang kota belajar kembali menyapa, orang desa belajar percaya diri, dan bangsa ini belajar merayakan dirinya sendiri, bukan lewat imitasi, tapi lewat keaslian. Hariyanto tidak menjanjikan jalan yang mudah. Ia tahu ada tantangan—ketimpangan, birokrasi, SDM yang belum siap, bahkan budaya instan yang membanjiri media sosial. Tapi ia percaya pada satu hal yang tetap: warga yang siap menjadi tuan rumah.
Dalam dunia yang makin tidak personal, Indonesia masih punya kelebihan yang tidak bisa ditiru oleh negara mana pun: kebudayaan menyambut. Senyum. Sapa. Cerita. Kain tenun yang dibuka di teras. Makanan sederhana yang disajikan dengan bangga. Semua itu bukan hanya elemen wisata. Itu adalah wajah Indonesia.
Dan barangkali, di situlah esensi pariwisata Indonesia yang sedang dibangun oleh tangan-tangan seperti Hariyanto. Sebuah pembangunan yang tidak sekadar menata ruang, tetapi juga menata hati. Sebuah kemajuan yang tidak meninggalkan akar, melainkan menyiraminya.
Jadi jika suatu hari Anda menginjakkan kaki di sebuah desa kecil, lalu disambut oleh seorang kakek yang menceritakan legenda sungai sambil menyodorkan teh hangat, jangan buru-buru mengira Anda hanya sedang berwisata.
Mungkin, Anda sedang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar: upaya satu bangsa untuk mengenali dan mencintai dirinya sendiri—melalui cara ia menyambut orang lain.

Hariyanto dalam berbagai acara dan kunjungan. (Sumber: Penulis)
—
Bandung, 2025
*Doddi Ahmad Fauji, sastrawan cum wartawan.