Pluralisme: Dari Kisah Menara Babel Hingga Pentakosta
Oleh Iwan Firman Widiyanto
Produk pencerahan yang terjadi pada abad 17 telah mempengaruhi segala bidang termasuk teologi. William C. Placher mengatakan bahwa pengaruh pencerahan menciptakan teologi yang bersifat apologetik, yaitu suatu upaya untuk mempertahankan iman Kristen kepada komunitas agama lain. Hal tersebut dapat terjadi karena produk pencerahan memaksa segala sesuatu dalam budaya harus dipertimbangkan sebagai sesuatu yang rasional dalam arti mempertanyakan segala asumsi-asumsi yang diwarisi manusia dan hanya menerima keyakinan-keyakinan yang dapat dibuktikan menurut kriteria yang dianggap universal.
Placher menyatakan bahwa pendekatan pencerahan telah mendapat kritik yang keras dari berbagai filosof, filosof ilmu, kritikus bahasa dan antropolog. Sebagai gantinya ditawarkan pendekatan pluralisme. Merupakan pendekatan yang memungkinkan dialog dengan tradisi-tradisi yang berbeda tanpa harus terjebak dalam perspektif obyektifitas. Pluralisme menghargai partikularitas bahwa terdapat nilai-nilai yang baik atau kebenaran dari tradisi budaya atau agama yang berbeda.
Tentu saja perpspektif pluralisme menjadi sangat penting dalam mengupayakan tatanan kehidupan mayarakat yang harmonis di Indonesia yang mempunyai kepelbagaian suku, budaya dan agama yang beranekaragam. Tulisan ini mencoba untuk menggali nilai-nilai pluralisme yang terdapat dalam tradisi Alkitab khususnya berkaitan dengan kisah menara Babel dan kisah pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta.
Kisah Menara Babel, dalam tradisi Kristen, dapat dibaca di dalam kitab Kejadian 11:1-9. Kitab ini adalah salah satu kitab dari 39 Kitab dari Perjanjian Lama. Menurut tradisi, kitab ini disusun oleh Musa bersama dengan keempat kitab lainnya, yaitu Keluaran, Imamat,Bilangan dan Ulangan. Berdasarkan keterangan Alkitab dan dokumen kuno lainnya, para ahli memperkirakan Musa hidup pada masa antara tahun 1400 dan 1250 SM.
Penelitian yang lebih baru mengungkapkan bahwa bagian-bagian Kitab Kejadian dalam bentuknya saat ini telah ditulis ulang jauh setelah masa hidup Musa. Mereka memperkirakan hal tersebut terjadi pada masa pembuangan Israel di Babel yaitu sekitar tahun 587-538 SM. Mereka berpendapat bahwa Kitab Kejadian merupakan kumpulan tulisan dari pengarang yang berbeda-beda. Para pengarang tersebut masing-masing memiliki kisah-kisah dan sejarah yang penting mengenai leluhur-leluhur Israel pada masa awal. Pesan utama dari kitab ini adalah bahwa Allah Abraham dan Sarah beserta keturunannya merupakan pencipta dunia ini. Ia bertindak dalam sejarah untuk menyelamatkan manusia.
Menara Babel mengisahkan kehidupan manusia pasca bencana air bah di jaman Nuh. Pada waktu itu manusia, keturunan Nuh telah berkembang menjadi banyak, mereka masih mempunyai satu bahasa dan logat yang sama. Lalu mereka bersepakat untuk membangun sebuah kota dengan menara yang puncaknya sampai ke langit. Dalam Kejadian 11:4 ditulis,
Juga kata mereka: “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.”
Nampaknya Tuhan tidak menghendaki rencana manusia tersebut, Kejadian 11:6-7 mencatat,
Dan Ia berfirman : “Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.”
Lalu Tuhan menyerakkan semua manusia yang ada di sana ke seluruh bumi dengan mengacaukan bahasa mereka. Konon kisah ini untuk menjawab pertanyaan manusia berkaitan dengan banyaknya bahasa dan budaya yang ada di bumi saat ini.
Gerhard Von Rad, seorang teolog Protestan Jerman, ahli Perjanjian Lama menafsirkan bahwa pembangunan menara merupakan kehendak untuk memperoleh kejayaan bangsa. Sebuah dosa kesombongan yang mengakibatkan Chauvinisme atau pengagungan terhadap bangsa sendiri sehingga mengabaikan atau memandang rendah kedaulatan bangsa lainnya.
Sedangkan Choan Seng Song, seorang teolog Asia yang berasal dari Taiwan, menafsirkan kisah pendirian Menara Babel sebagai suatu bentuk ketakutan manusia untuk melakukan penyebaran. Padahal pada waktu itu Allah menghendaki manusia melakukan penyebaran untuk memenuhi bumi (Kejadian 1:28). Penyebaran merupakan salah satu cara rencana keselamatan Allah atas manusia.
Dalam kisah Menara Babel, Allah melanjutkan rencana keselamatannya atas seluruh manusia dengan cara mengacaukan kumpulan orang yang mengupayakan “keseragaman” itu menjadi kumpulan-kumpulan orang dengan beranekaragam bahasa. Para sarjana antropologi mengakui bahwa bahasa merupakan salah satu unsur pembentuk kebudayaan. Maka bahasa yang berbeda-beda akan menciptakan corak kebudayaan yang berbeda-beda pula. Demikian juga halnya dengan keanekaragaman agama yang dibentuk oleh pluralitas bahasa.
Masalah bahasa juga menjadi pergumulan filsafat dan tologi posmodernisme. Mereka menolak keberadaan metanarasi sebagai sebuah nilai-nilai, ide-ide, dan cerita-cerita tertentu yang dijadikan satu-satunya dasar bagi pembentukan kehidupan manusia. Agama adalah respon manusia terhadap pewahyuan Allah yang dirumuskan dalam metanarasi tertentu. Penolakan terhadap metanarasi didasarkan atas keterbatasan sistem bahasa yang diyakini tidak mampu melihat kenyataan atau pewahyuan Allah secara utuh. Melalui sistem bahasa yang terbatas maka pewahyuan Allah ditangkap manusia secara partikularis. Artinya pengalaman iman seseorang dalam menanggapi pewahyuan Allah dapat berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu respon manusia terhadap pewahyuan Allah itu harus dilihat bersifat relatif.
Selanjutnya ditinjau dari etimologi maka kata Babel dikenal dari terjemahan bahasa Sumer dan Babel yang berarti sebagai gerbang Allah. Namun dalam teks Kejadian 11:9, “Itulah sebabnya nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan Tuhan bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan Tuhan ke seluruh bumi.” Kata dikacaubalaukan disana ditulis dalam bahasa Ibrani dengan kata balal. Menarik untuk diperhatikan, penulis kisah ini memakai permainan bahasa Babel-balal. Seolah hendak mengkritik kecendrungan manusia yang seringkali gagal paham dengan kehendak Allah. Maksud hati umat hendak mendirikan sebuah kota dengan menara yang tinggi yang dapat disebut sebagai Gerbang Allah untuk menghormati Tuhan. Memang telah menjadi kebiasaan pada waktu itu, dalam budaya Mesopotamia Kuno dalam kurun waktu kurang lebih 30 abad SM, untuk membuat Zigurat yaitu sejumlah kuil yang tinggi untuk menghormati para dewa. Namun ternyata kehendak Allah berbeda dengan maksud hati manusia yang lebih menyukai penyeragaman budaya.
Allah lebih menghendaki keanekaragaman bahasa yang selanjutnya melahirkan pluralitas budaya dan agama di dunia. Dari perspektif teologis ini maka dapat dinyatakan bahwa kisah kegagalan manusia dalam membangun Menara Babel mencerminkan kehendak Allah atas keanekaragaman bahasa, agama dan budaya di dunia. Maka dalam hal ini bisa ditegaskan bahwa keanekaragaman adalah kehendak Tuhan sejak penciptaan. Oleh karena itu segala bentuk pikiran teologis yang bersifat absolut merupakan sebuah pengingkaran terhadap kehendak Tuhan. Kebenaran yang absolut hanyalah Tuhan itu sendiri, sesuatu yang tidak tecercap oleh akal budi manusia yang terbatas, sehingga respon manusia terhadap kebenaran itu relatif sifatnya.
Dari kisah Menara Babel kita beranjak menuju kisah pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta. Kisah Pentakosta ini dicatat oleh Lukas dalam kitab Kisah Para Rasul 2:1-13. Kitab ini ditulis oleh Lukas sekitar tahun 70 an M. Menceritakan pergulatan jemaat perdana untuk menentukan siapa yang dapat menjadi anggota umat Allah. Pada awalnya anggota jemaat adalah orang-orang Yahudi sehingga perspektif yang menguasai mereka adalah bahwa amanat Yesus hanya ditujukan bagi orang Yahudi. Namun kisah turunnya Roh Kudus dengan manifestasi para Rasul yang berbahasa asing menunjukkan bahwa segala bangsa dan suku bangsa menjadi bagian dari umat Allah.
Pada awal tulisannya Lukas mengisahkan bahwa setelah kebangkitanNya, Yesus menampakkan diri kepada para murid selama 40 hari secara berulang-ulang untuk membuktikan bahwa diriNya hidup. Lalu dalam sebuah kesempatan makan bersama Ia memerintahkan para murid untuk tinggal di Yerusalem menantikan turunnya Roh Kudus (Kis.1:3-5).
Pada hari Pentakosta orang-orang Yahudi yang saleh dari segala bangsa datang ke Yesusalem. Pada saat itu Yerusalem merupakan pusat keagamaan orang Yahudi yang penting. Mereka datang untuk merayakan suatu perayaan ziarah yang penting yaitu Hari Raya Pentakosta. Dalam tradisi Yahudi, Pentakosta merujuk pada hari raya menuai atau panen. Orang Israel mengungkapkan rasa terimakasihnya karena berkat tuaian gandum dan sekaligus menyatakan rasa takut dan hormat kepada Yahweh. Hari raya ini diumumkan sebagai hari pertemuan kudus. Orang tidak diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan berat, dan semua laki-laki Israel harus hadir di tempat kudus.
Dikisahkan pada hari Pentakosta itu, turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras memenuhi seluruh rumah di mana Para Rasul berkumpul. Lukas mencatat dengan detail peristiwa tersebut dalam Kis.2:3-4;
“…dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus. Lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.”
Banyak orang di Yerusalem lalu berkerumun mendekati asal suara itu. Orang-orang kemudian menjadi heran karena para rasul yang mereka kenal sebagai orang Galilea yang tidak berpendidikan, mampu berkata-kata dalam berbagai macam bahasa asing. Sesuai dengan bahasa orang-orang asing yang datang berkerumun di Yerusalem. Kis.2:7-11,
Mereka semua tercengang-cengang dan heran, lalu berkata : “Bukankah mereka semua yang berkata-kata itu orang Galilea ? Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita: Kita orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah.”
Menarik untuk diperhatikan bahwa peristiwa pencurahan Roh Kudus menyentuh suku-suku bangsa lain. Roh Kudus secara ajaib membuat para Rasul mampu berkata-kata dalam bahasa asing untuk menceritakan segala perbuatan besar Tuhan. Memperlihatkan bahwa Tuhan pencipta langit dan bumi menghendaki semua suku bangsa mengenal perbuatan-perbuatanNya yang ajaib. Peristiwa ini memperlihatkan bahwa Tuhan sangat menghargai keunikan bahasa-bahasa yang ada di kolong langit ini. Tuhan lah yang mengharuskan para rasul berbicara dalam bahasa-bahasa asing, bukan sebaliknya, bangsa asing harus belajar berbicara bahasa khusus para rasul yaitu bahasa Ibrani.
Peristiwa Pentakosta nampaknya hendak menunjukkan bahwa Tuhan tidak berbahasa tunggal. Tidak ada bahasa khusus untuk mengerti dan mengenal Tuhan. Tidak ada bahasa penguasa dan bahasa budak. Tidak ada bahasa suci dan bahasa kafir. Tuhan mengakui semua bahasa dan memperlakukan semua bahasa tersebut sebagai yang sangat bernilai dan berharga karena sebenarnya keanekaragaman bahasa adalah rekayasa dan kehendak Tuhan.
Berkaitan dengan bahasa yang merupakan pembentuk pluralisme budaya dan agama maka bisa dikatakan bahwa pluralisme budaya dan agama adalah kehendak Tuhan. Manusia diajar untuk menghargai partikularitas yang tercipta sebagai sebuah keniscayaan, oleh karena Tuhan adalah Tuhan yang kreatif, Sang Seniman yang sejati.
Namun perlu dimengerti bahwa budaya dan agama merupakan hasil dari proses kebudayaan manusia. Maka tidak serta merta semua kebudayaan itu mempunyai nilai yang baik bagi kehidupan bersama umat manusia, maka pendekatan kritis sangat dibutuhkan dalam memandang kebudayaan.
Seorang teolog bernama Robert J. Schreiter membangun sebuah teologi yang mempertimbangkan aspek budaya yang berkembang dalam masyarakat, disebut sebagai teologi lokal atau kontekstual. Sasaran teologi ini adalah memperoleh pemahaman yang baik atas pergumulan tentang jati diri dan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Teologi ini dapat menolong masyarakat dalam menghadapi perubahan sosial tanpa harus tercerabut dari akar budayanya. Budaya dan tradisi Kristen dilihat dalam posisi yang sejajar dengan pertimbangan bahwa Kristus dapat dijumpai dalam setiap budaya.
Maka tugas teologi tidak lagi membawa pesan Kristus ke dalam budaya namun lebih kepada usaha untuk menemukan Kristus yang telah aktif dalam budaya. Pendekatan ini mengandung nilai-nilai mendengarkan, mengembangkan deskripsi tebal –yaitu menghargai, menggali dan mengembangkan nilai-nilai partikularitas dalam budaya – dan menemukan keseimbangan antara penghargaan budaya dan kebutuhan akan perubahan budaya.
Maka suatu komunitas lokal perlu mendengarkan budayanya agar dapat melengkapi pengalamannya bersama Kristus. Ia harus dapat mengenali tanda-tanda kehadiran Kristus di tengah-tengah budaya. Maka bagi orang Kristen cara-cara untuk mengenali tanda-tanda Kristus yaitu melalui tradisi hikmat dalam Alkitab. Melihat Kristus sebagai hikmat Allah adalah cara baru untuk membaca kehadiran Ilahi dalam suatu budaya.
Dalam masyarakat yang beranekaragam maka pergaulan dan persaudaraan lintas agama dan budaya perlu senantiasa dibangun. Setiap tradisi mempunyai nilai-nilai berharga yang dapat memperkaya pengertian tradisi ssndiri. Maka hubungan antar tradisi agama budaya adalah hubungan yang saling mengkritisi dan memperkaya pengertian untuk menciptakan tatanan masyarakat yang harmonis, adil penuh kasih dan damai sejahtera.
——————
Referensi
Aminah, W.S., Haryandi dan Alfred B. (ed.), (2005), Sejarah Teologi Dan Etika Agama-Agama, (Yogyakarta : Dian/Interfidei)
Bruce, F.F., D.Guthrie, A.R.Millard, J.I.Packer, D.J.Wiseman, (1996), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta: yayasan komunikasi Bina Kasih/OMF)
Guthrie, D., Alec M., Alan M.S., dan Donald J.W., J.Soedarmo (Terj.)(1987), Tafsiran Alkitab Masa Kini 1, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF).
Indonesia, L.A., (2012), Alkitab Edisi Studi, (Jakarta : Lembaga Alkitab Indonesia)
Placher, W.C., (1989), Unapologetic Theology, A Christian Voice In A Pluralistic Conversation, (Kentucky : Westminster/John Knox Press)
Schreiter, R.J., (1996), Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta: BPK GM)
Song, C.S., (1990), Allah Yang Turut Menderita, (Jakarta : BPK Gunung Mulia)
Widiyanto, I.F., (2009), “Merombak Iman Menara Babel”, http://iwanfirman.blogspot.com/2009/01/merombak-iman-menara-babel.html, diakses pada 7 Februari 2021
*Penulis adalah Pendeta yang bermukim di Dusun Srumbung Gunung, Desa Poncoruso, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang-Jawa Tengah.