Metode Kebenaran

Oleh Tonny Trimarsanto*

Randal Dale Adams, dituduh membunuh seorang polisi Robert Wood di Dallas tahun 1976. Kasus ini membuat Adams dijatuhi hukuman seumur hidup. Sementara Adams merasa dirinya dijebak dan dipersalahkan atas tindakan yang tidak pernah dilakukannya, dengan saksi yang menurutnya adalah pelaku sesungguhnya. Kasus hukum yang nampaknya biasa, atau malah rumit dan penting untuk dicari tahu aspek kebenaran yang sesungguhnya. 

Itulah teka teki, sebuah cerita film dokumenter yang disodorkan oleh sutradara Errol Morris yang berjudul The Thin Blue Line (1988). Sebuah film dokumenter investigasi sekaligus pertunjukan ke -dektefif-an yang dilakukan oleh seniman film dokumenter, untuk mencari tahu bagaimana sesungguhnya sebuah kasus masih terbuka untuk diuji, soal kebenaran yang sesungguhnya, sekalipun pengadilan telah memutuskannya. Yang muncul adalah putusan hukum yang diuji oleh perangkat artistik film dokumenter.  Hukum formal, dibedah dengan cara cara yang artistik.

Errol Morris telah melakukan kerja kreatif dalam membedah bagaimana kebenaran tetap layak dipertanyakan sekalipun telah ada putusan formal yuridis yang memayunginya. Kerja investigasi yang dilakukan telah membuka penonton pada ragam pertanyaan selanjutnya, siapa sesungguhnya pelaku utamanya? Tidak-kah selama ini Randal Dale Adams hanya seorang korban salah tangkap? Lewat kerja artistik ini pula lah maka muncul pertanyaan lanjutan, sebegitu korup kah dunia peradilan dan kepolisan? 

Film The Thin Blue Line, telah menghadirkan bukti bukti baru yang lebih otentik, dan menjadi materi pertimbangan pembebasan Randal Dale Adams, yang telah dihukum selama 12 tahun. Sebuah peristiwa menarik, karena investigasi kreatif dalam film ini menghadirkan serangkaian temuan. Sebuah pertunjukan yang berhasil disampaikan oleh Errol Morris, bahwa seni sebagai medium menjadi sebuah metode untuk menemukan kebenaran.

Jika demikian, apakah sesungguhnya seni bisa menjadi bagian dari metode kebenaran? Sejauhmana seniman bisa menjadi salah satu kerja aktivisme? Lebih spesifik lagi, apakah kebenaran dalam film dokumenter ditentukan pula oleh metode (baca:pilihan) bentuk cara bercerita? Apa benar, jika media artistik seni mempunyai kekuatan yang luar biasa? Tesisnya, apakah media masih menjadi alat penyalin kebenaran?

Medium 

Dalam terminologi komunikasi, ada ungkapan medium is a massage. Apa yang melekat dalam diri media, itulah pesan yang sesungguhnya, tak ada yang lain. Media, dalam sejarah nya baik sejak  bentuk tradisional hingga yang mutakhir hari ini senantiasa berkait dengan substansi yang ingin disampaikan, dan bagaimana pesan itu akan sampai -menyangkut metodologi yang dipilih. 

Dalam setiap ekspresi media, akan ada komunikasi yang tersampaikan ke publik. Secara langsung media akan membentuk makna, stereotip dan narasi tentang sebuah dunia yang kemudian dipahami oleh publik. Jangan heran jika pada sisi ini peran besar media akan berkait dengan entitas sebuah budaya, ideologi dan struktur kuasa yang ada di dalamnya. 

Media itu pembentuk agenda setting, demikian ungkap McCombs. Artinya media akan mampumengatur ritme, tempo, intensitas agenda publik yang akan diinginkan akan seperti apa. Kontribusinya, bisa mengarahkan komunikan-nya pada satu isu tertentu, yang (bisa jadi) akan melebihi isu lainnya. Perannya akan menisbikan satu isu menjadi tidak penting jika dibandingkan dengan isu yang tengah digoreng oleh media tersebut. 

Ketika media adalah mesin agenda setting, akan dimanakah sesungguhnya kebenaran? Apakah masih ada kesetiaan pada definisi perkara media menjadi representasi dari kebenaran itu sendiri? Sangat menarik terus melacak dan merelasikan media ekspresi dalam bentuk seni, dalam mengambil perannya pada perkara kebenaran di era post truth hari ini. 

Stuart Hall, aktivis dan ahli politik dari Birmingham, pernah punya analisa menarik, perihal relasi media dan entitas politik budaya.  Media secara aktif telah memberi makna pada peristiwa, orang, ide secara terus menerus akibat dari praktik representasi yang dilakukannya. Media adalah representasi dari peristiwa yang diekspresikannya, yang dikomunikasikannya. 

Kerja yang dilakukan oleh media adalah melakukan salinan peristiwa, menyeleksi, membingkai, meng-interpretasi dari ragam peristiwa yang memang relevan dengan ideologi yang dipilihnya. Media ber -ideologis? Itu pasti. Sebagai bagian dari struktur kognitif, maka ideologi menjadi dasar bagi orentasi kerja kerja media. 

Pada konteks nya, media akan bekerja dalam sebuah budaya, sebagai sebuah medan aktif ketika komunikasi terjadi dan makna tercipta. Budaya adalah situs aktif dimana makna diciptakan, diresepsi, dinegosiasikan hingga diperdebatkan. Ketika media menjadi bagian dari post truth, tentu akan sampai pada satu titik pemahaman, masihkan layak mempercayai media? 

Seniman

Setiap komunikasi, itu bertaut kepentingan, demikian para filsuf kiri baru seringkali berargumen. Ada kepentingan yang ingin disampaikan, karena sekali lagi, arah ideologis media itu bergantung siapa yang menggunakan, memegang kendali.  Ketika medium itu berada di tangan seniman, akankah juga demikian? Apakah seniman juga akan merepresantikan kebenaran yang sesungguhnya. Atau ia akan terjebak pada kebenaran yang sulit untuk didefinisikan? 

Tugas seorang seniman, adalah penyalin peristiwa yang kemudian ia tuangkan dalam ragam bentuk medium ekspresi: puisi, teater, grafis, seni rupa, film atau bentuk lain. Merelasikan pencipta dan realitas kebenaran, nampaknya menyimpan sebuah ambigu, soal kepentingan yang ada didalamnya. 

Kebenaran yang diyakini oleh senimannya, sudah tentu akan membawa kegundahan soal substansi. Namun, terkadang kebenaran tidak bergantung pada pilihan medium. Kebenaran itu soal otensitas, bukti bukti yang disodorkan ke ruang publik. Kebenaran atau kepalsuan, sesungguhnya berkait dengan bahasa. Publik akan membutuhkan bukti, dari salinan peristiwa. 

Selama ini lingkaran yang terus berputar adalah, sejauhmana klaim kebenaran itu bisa diterima. Kebenaran versi seniman, kebenaran versi kuasa, kebenaran versi ideologis yang memayunginya atau ada kebenaran pada spektruk yang lain. Bukankah pula otensitas sebagai bukti dari kebenaran yang media tawarkan tetap saja masih bisa didebat? 

Post truth itu panggung ketika otensitas bukti faktual kalah dari bagaimana manajemen emosi dan keyakinan dibisakan. Kekalahan yang menjadi fakta masif di era digital hari ini. Memilih metode kebenaran, sungguh sulit hari ini, karena tak ada lagi yang bisa dipercaya. Apakah masih ada tersisa kebenaran yang bisa tersampaikan oleh para seniman, sekalipun kebenaran itu juga berangkat dari metode mengelola emosi salon publik penikmatnya?

Sungguh, metode kebenaran sulit dicari hari ini.*****

*Tonny Trimarsanto, sutradara -produser di Rumah Dokumenter yang fokus pada Pendidikan & produksi film-film dokumenter