Tradisi Tato di Papua
Oleh Hari Suroto
Budaya tato di pesisir utara Papua merupakan tradisi yang diperkenalkan oleh orang Austronesia dari Asia yang bermigrasi ke wilayah Papua pada masa prasejarah sekitar 3000 tahun yang lalu. Terdapat tiga suku yang menerapkan tato di tubuhnya. Yatu suku Sentani di Jayapura, suku Moi di Sorong dan suku Waropen di Teluk Cenderawasih.
Tradisi tato ini sudah hampir punah, hanya tersisa pada generasi tua saja. Sekarang ini sangat sulit menjumpai generasi muda Papua bertato motif tradisional. Sebagian generasi milenial ini lebih menyukai tato temporer yang bisa dihapus sewaktu-waktu.
Tato Suku Sentani
Tato tradisional suku Sentani, Kabupaten Jayapura yang biasa disebut enahu oleh penduduk setempat, saat ini mulai terlupakan. Pasalnya pengetahuan akan salah satu tradisi penduduk asli suku Sentani ini hanya terbatas pada orang yang sudah tua saja, sementara generasi muda sudah tidak ada lagi.
Dari sekian seni budaya Sentani yang ditampilkan di Festival Danau Sentani (FDS) dari tahun ke tahun belum pernah menampilkan tradisi tato suku Sentani. Selain itu perlunya penelitian guna mendokumentasikan tato tradisional Sentani sebelum punah.
Bahan pembuat enahu (tato) berupa arang hasil pembakaran kayu wam dicampur getah pohon sukun. Kemudian duri sagu atau tulang ikan dicelupkan ke dalam getah dan arang, lalu ditusukkan pada dada, pipi, kelopak mata, betis dan pinggul serta bagian belakang tubuh. Tato ini dibuat tiga bulan sebelum upacara perkawinan dilaksanakan.
Motif tato untuk perempuan Sentani yaitu gambar ikan sembilan, belut, dan burung cenderawasih. Fungsi tato tersebut adalah untuk mempercantik wajah pengantin wanita. Sedangkan lambang dari burung cenderawasih maupun ikan adalah seorang wanita menjadi sumber kehidupan bagi anak-anak maupun masyarakatnya.
Sementara fungsi tato bagi pria adalah untuk membuat kegantengan pengantin pria. Tato untuk pengantin pria Sentani berbentuk buaya, ikan hiu gergaji, ular dan kasuari. Hewan-hewan ini melambangkan kejantanan dari seorang pria.Pengantin pria harus jantan dalam menghadapi tantangan hidup yang harus dihadapi dengan jiwa kejantanan sehingga mencapai kesuksesan yang besar.
Desain tato disesuaikan dengan luas sempitnya bagian tubuh yang hendak ditato, misalnya, tato di hidung akan mengikuti bentuk hidung. Namun sayangnya tato tradisional Sentani hanya dikenal oleh generasi tua.
Perhiasan tubuh yang lazim dikenakan, baik oleh laki-laki maupun perempuan Sentani adalah tato pada wajah dan beberapa bagian tubuh (tangan dan kaki) yang dibuat secara permanen. Tato adalah simbol kekuasaan, kecantikan, dan status sosial seseorang. Oleh karena itu, jenis dan bentuk tato tergantung pada status sosial (ondofolo, kotelo/kepala suku, dan yobu yoholom) dan jenis kelamin.
Tato ditorehkan secara tradisional, yaitu menggunakan duri sagu atau duri siapu (sejenis ubi yang berduri keras). Duri dicelupkan ke dalam arang kayu, kemudian ditusuk-tusukkan pada bagian badan yang hendak ditato. Laki-laki Sentani mempunyai tato yang lebih bercorak sederhana pada hidung dan dahi. Perempuan mempunyai tato yang lebih bercorak kompleks pada dahi, punggung, lengan, dan betis. Desain tato biasanya berbentuk pecahan ornamen, gambar binatang, dan lambang.
Tato Suku Moi
Saat ini hanya generasi tua suku Moi di Kabupaten Sorong, Papua Barat yang masih menerapkan tato pada tubuhnya, sedangkan generasi mudanya sudah tidak menerapkan tato lagi, dan diperkirakan terancam punah.
Suku asli yang tinggal di Kabupaten Sorong ini adalah suku Moi. Yang mana suku Moi tersebar hampir di seluruh wilayah Kabupaten Sorong dan daerah pemekaran lainya dikawasan tesebut.
Wilayah Kabupaten Sorong dikenal dengan wilayah hukum adat Suku Moi atau lebih dikenal dengan suku Malamoi. Tato bagi suku Moi merupakan hiasan tubuh, dan bahan pembuat tato berupa arang halus (yak kibi) hasil pembakaran kayu dicampur getah pohon langsat (loum).
Kemudian, duri dari pohon sagu atau tulang ikan dicelupkan ke dalam ramuan getah langsat dan arang yang selanjutnya ditusukkan pada bagian tubuh yang akan dibuat motif tato tradisional tersebut, bisa di bagian dada, pipi, kelopak mata, betis dan pinggul serta bagian belakang tubuh.
Motif tato ini berupa motif geometris atau garis-garis melingkar serta titik-titik berbentuk segitiga kerucut atau tridiagonal yang dibariskan. Sedangkan untuk desain tato juga disesuaikan dengan luas sempit bagian tubuh yang hendak ditato. Namun generasi muda saat ini sudah tidak bertato lagi, mungkin juga karena perkembangan jaman ataupun norma dan etika pekerjaan yang ada saat ini.
Tato tradisional suku Moi merupakan budaya yang harus dilestarikan, hal ini diperlukan kerjasama berbagai pihak untuk melestarikannya. Baik itu mulai dari lembaga masyarakat adat, generasi tua suku Moi, generasi muda suku Moi dan dinas terkait.
Pelestarian tato tradisional suku Moi yaitu dengan cara melakukan penelitian, pendokumentasian, dan mewariskannya ke generasi muda.
Tato Waropen
Pembuatan tato pada orang Waropen, Papua lebih banyak dilakukan oleh perempuan daripada laki-laki. Selama tahun-tahun puberitas para gadis Waropen membuat banyak tato di tubuh mereka (juga onda: lukisan tentang perahu, huruf, dan tulisan), keduanya pada dada dan kaki dan pada lengan wajah.
Pola tersebut pertama kali ditujukan pada kulit dengan pemberian warna hitam, yang kemudian ditusuk-tusuk dengan menggunakan dua tulang ikan, diikatkan bersama pada sepasang batang kayu, yang dipukul pelan-pelan dengan sepotong kayu yang lain. Kemudian luka-luka kecil tersebut digosok lagi dengan warna hitam sehingga menjadi sedikit meradang, dengan demikian motif tersebut tetap tidak dapat terhapus dalam kulit. Seluruh proses tersebut agaknya menyakitkan dan karena alasan inilah pembuatan tato dilakukan secara bertahap.
*Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua