Kampus Biru Menolak Ayah

Dramatic Reading 80 Tahun Ashadi Siregar 

YOGYAKARTA. Tepat 3 Juli 2005, Ashadi Siregar genap berusia 80 tahun. Sebagai wujud penghormatan terhadap sang novelis, Sastra Bulan Purnama (SBP) mengelar edisi spesial berupa pentas dramatic reading nukilan dua novel karya Ashadi, Cintaku di Kampus Biru (1972) dan Menolak Ayah (2018) dengan tajuk “Kampus Biru Menolak Ayah”. 

Berkolaborasi dengan Freedom Institue, Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Balai Bahasa Yogyakata, IFI/LIP, dan Perkumpulan Seni Nusantara Baca, acara berlangsung pada Sabtu, 5 Juli 2025, pukul 19.00 di IFI/LIP, Jalan Sagan No. 3, Terban, Gondokusuman, Yogyakarta. 

Rosana Hariyanti, alumna Sastra Perancis FIB UGM, sekarang mengajar di Prodi Sastra Perancis FIB Unibraw, Malang, akan membacakan nukilan Cintaku di Kampus Biru, sementara Landung Simatupang, aktor dan sutradara teater, akan membacakan nukilan Menolak Ayah. Keduanya pernah berkecimpung di Teater Gadjah Mada. 

Ketika meraih Ahmad Bakrie Award, 14 Agustus 2019, Ashadi mengatakan bahwa semua novelnya menempatkan orang muda sebagai tokoh sentral yang mencari jati diri. Karya-karya fiksinya juga berangkat dari latar faktual, karena sebagai jurnalis dan akademikus dia menggeluti realitas atau fakta. Lewat fiksi Ashadi ingin mengomunikasikan fakta-fakta. 

“Fakta-fakta di sini sebagai latar atau setting bagi dunia imajinasi saya. Latar faktual ini ada yang berasal dari realitas sehari-hari yang saya kenal, tetapi ada pula merupakan realitas kesejarahan yang perlu referensi historiografi. Saya akan lebih senang jika pembaca novel saya dapat menemukan dan menghargai realitas yang saya sampaikan, seperti dunia kampus dan kemahasiswaan (Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Frustrasi Puncak Gunung), atau kehidupan metropolitan tahun 1970-an (Terminal Cinta Terakhir, Sirkuit Kemelut, Gadisku di Masa Lalu, Sunyi Nirmala), Revolusi 45 (Warisan Sang Jagoan), G30S (Jentera Lepas), atau yang terakhir mengenai komunitas agama asli Batak yang terpinggirkan dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/PRRI (Menolak Ayah),” ujarnya. 

Awal karier 

Sebagai novelis, Ashadi sudah menulis 12 novel, empat di antaranya difilmkan. Bagaimana dia mengenang kariernya sebagai novelis, jurnalis, serta akademikus, menarik jika kita sajikan kenangannya sendiri. Mari kita petik tulisannya yang disiapkan sebagai pengantar bunga rampai buku “Orang-Orang Malioboro”—yang tak pernah terbit. 

“Pergaulan saya boleh dibilang lebih banyak hanya dengan dedengkotnya, yakni Umbu Landu Paranggi. Saat itu kami sama-sama mahasiswa Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Sekitar tahun 1968, semasa mahasiswa saya ikut mengelola Suratkabar Mingguan Umum Publica, untuk beberapa waktu berkantor di 

salah satu ruangan kios kecil yang terletak di Taman Garuda (seberang Hotel Garuda Malioboro). Pada malam hari Umbu yang mengasuh rubrik sastra di Suratkabar Pelopor Yogya yang berkantor di lantai dua pertokoan Malioboro, sering singgah, nyanggong di kios itu. Dan pula, karena menggunakan percetakan yang sama, kami sering bertemu saat menunggui koran masing-masing diset dan naik cetak pada malam hari. 

Pergaulan yang intens malah tidak ada pertaliannya dengan dunia sastra, melainkan sebagai aktivis gerakan mahasiswa, ikut dalam berbagai aktivitas seperti gerakan anti korupsi, golput (golongan putih, gerakan untuk memboikot Pemilihan Umum pertama Orde Baru, 1971), penentangan proyek dana non-budgeter untuk Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dan terakhir Malari 1974. Sebagai aktivis ini, tahun 1972 Umbu bahkan pernah ke Jakarta bersama kelompok aktivis anti korupsi lainnya dari Jakarta dan Bandung, masuk Istana Negara bertemu Suharto. Saya tidak ikut dalam rombongan itu, tetapi belakangan saya dengar anekdot tentang penampilan Umbu bercelana jin dengan blangkon yang dipakai terbalik (mondolannya di arah depan), mendapat komentar Soeharto yang marah. 

Pergaulan dengan Umbu lebih intensif ketika bersama-sama mengelola Suratkabar Mingguan Sendi, suatu penerbitan pers oleh aktivis mahasiswa, yaitu Daniel Dhakidae, Gaspar Ehok, M. Aini Chalid, Parakitri T. Simbolon, Peter Hagul dan Zulkifly Lubis. Di situ saya sebagai pemimpin redaksi/penanggung jawab, sedangkan Umbu sebagai pengasuh rubrik sastra sembari menjalankan fungsi yang sama di Suratkabar Pelopor Yogya. Sendi hanya berumur semusim jagung, kemudian Surat Ijin Terbitnya dicabut oleh Menteri Penerangan (saat itu Budiardjo) awal 1972, dan saya diadili dengan dakwaan menyebarkan kebencian terhadap kekuasaan negara dan penghinaan Presiden Suharto. 

Begitulah, seingat saya, tidak pernah Umbu mempertautkan kegiatannya sebagai aktivis gerakan mahasiswa dengan kehidupan sastra. Kendati di antara redaktur di Mingguan Sendi terdapat Parakitri T. Simbolon yang karyanya dimuat di majalah sastra Horison, tulisan untuk rubrik sastra tidak pernah dibahas secara khusus. Karenanya saya tidak pernah mendengar pandangan-pandangan Umbu Landu Paranggi mengenai sastra umumnya dan puisi khususnya. Pilihan-pilihannya atas puisi yang dimuat di rubrik itu sepenuhnya dengan otoritas subyektifnya. 

[…] 

Sementara saya sendiri sepanjang akhir 60-an dan pertengahan 70-an, menulis cerita pendek dan novel yang mengisi majalah dan koran. Tetapi tidak pernah berpretensi menulis karya sastra. Bahkan novel-novel yang saya tulis pada era 70-an itu boleh dibilang lebih bersifat by-accident, akibat mengalami kesulitan untuk menulis artikel dan karya jurnalistik lainnya di media pers umum, setelah diadili dan divonis bersalah dalam perkara penghujatan Suharto. 

Setamat dari Fakultas Sosial dan Politik tahun 1970, saya direkrut mengajar di fakultas yang sama. Sampai pertengahan akhir tahun ‘70an, saya masih nyambi menjadi wartawan, dengan menjadi stringer (koresponden cabutan) majalah berita dari Jakarta, serta membuat laporan jurnalistik secara lepas untuk beberapa suratkabar dan majalah. Dari remaja saya sudah bercita-cita jadi jurnalis, tetapi dengan kasus mingguan Sendi, dan membayangkan kekuasaan Suharto yang bakal panjang, saya menyadari tidak mungkin berkukuh dengan cita-cita untuk memasuki dunia jurnalistik. Karenanya kemudian saya memutuskan untuk sepenuhnya mengambil jalur di bidang pengajaran. Terlebih setelah dengan beberapa teman pada awal tahun ‘80an mendirikan sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang penelitian media massa dan pelatihan jurnalis. Dengan begitu perhatian ditumpukan hanya untuk bidang pendidikan dengan fokus pada jurnalisme. Sejak itu saya berhenti menulis fiksi, khususnya novel, sebab saya lebih berkutat dalam alam pikiran mengenai metode dalam menghadapi fakta-fakta empiris sebagai basis dalam pendidikan jurnalisme. Di sini seluruh pembelajaran adalah pemilahan yang tajam antara fakta dan fiksi, guna mengenyahkan fiksi dalam proses penulisan. Sastra umumnya dan novel khususnya menjadi penikmatan subyektif bagi saya, bukan sebagai proses kreatif sebagai pengarang, apalagi obyek ontologis sebagaimana para pengkaji sastra.” 

Lihat: https://ashadisiregar.com/2016/05/28/orang-orang-malioboro/ 

Guru 

Selain dikenal sebagai novelis, Ashadi mengajar Ilmu Komunikasi di Fisipol UGM, dia suntuk menekuni ilmunya sehingga dikenal luas sebagai ahli ilmu komunikasi. Ia juga melatih para wartawan melalui lembaga yang dipimpinnya LP3J. 

Banyak wartawan yang sudah dididik di lembaga ini, dan menjadi wartawan profesional. Ashadi menempatkan anak didiknya, baik mahasiswanya maupun peserta latihan di LP3J sebagai teman, sehingga hubungannya setara. 

Saur Hutabarat, wartawan senior, mengatakan, Ashadi Siregar adalah guru, abang, dan juga teman. Dalam tiga relasi itu Ashadi konsisten memilih hubungan setara, ‘Bung Saur’. Panggilan ‘bung’ itu menunjukkan dirinya seorang egaliter. Dosen egaliter di UGM, di kala itu, 50 tahun lalu, jarang. 

“Bertemu Ashadi, berbincang dengannya, pertemuan dialogis. Pikirannya tak jarang ‘mengganggu’ pikiran saya, perkara yang bikin kangen untuk ketemu Bang Hadi,” ujar Saur. 

Prof. Dr Hotman Siahaan, Guru Besar Fisip Universitas Airlangga, Surabaya, mengatakan, Ashadi sosok yang tegar dengan pilihan hidupnya. Dengan integritas tinggi, dia menapaki jalan hidup baik sebagai cendekiawan maupun sebagai sastrawan. “Bagi saya Bang Hadi telah memproklamirkan diri sebagai sosok yang menelusuri jalan hidup sunyi bak air yang mengalir tenang mencapai muara di usianya yang ke-80 tahun.” 

Lebih jauh Hotman mengatakan, “Kampus Biru, yang melukiskan dinamika aktivis kampus dan percintaan , hingga Menolak Ayah yang mistis dalam dinamika agama ‘malim’ tersirat di dalamnya konsistensi budaya tanding orang muda melawan kebekuan tradisi lama yang mapan.” 

Ons Untoro, Koordinator Sastra Bulan Purnama, penyelenggara acara ini mengatakan, Ashadi Siregar merupakan tokoh penting, bukan hanya di Yogya, 

melainkan untuk Indonesia. Sebagai sastrawan dan ilmuwan sosial, ia telah memberi sumbagan berharga untuk bangsa ini melalui karya-karya yang telah dihasilkan. 

“Sastra Bulan Purnama merasa perlu membuat edisi spesial untuk menandai 80 tahun usianya dengan satu peristiwa budaya, yakni pembacaan pethikan novel karya Ashadi Siregar, yang ditulis awal, dan ditulis akhir,” ujar Ons Untoro. 

Konfirmasi Kehadiran: Ons Untoro; Ph. +62 811-254-539