Selucu Inikah NU? Parodi Kekuasaan di Era Absurd
Oleh: Gus Nas Jogja*
Nahdlatul Ulama (NU). Ia bukanlah sekadar perkumpulan, melainkan sebuah Bumi Kejiwaan Kultural yang berdiri di atas pilar-pilar spiritual Nusantara. Ia adalah teka-teki yang terbuat dari Api Semangat pendirian tahun 1926 dan Kesejukan Hati para penyebar Islam di Jawa. Kini, entitas besar ini menjelma menjadi Lautan Hikmah yang bergelora—sebuah samudra yang tiba-tiba dihadapkan pada godaan Intan Hitam berupa konsesi tambang yang menggiurkan, sementara di pundaknya tertanggung tugas menjaga Jalan Tengah Agama atau Moderasi Beragama di tengah ancaman badai politik dunia.
Di satu sudut, NU memegang erat hukum agama yang tegak lurus dan cita-cita luhur kebangsaan. Di sudut lain, yang paling memantik tanya dan sering membuat dahi mengernyit, adalah Gelak Tawanya.
Ini bukanlah tawa renyah yang mudah hilang diterpa angin, melainkan sebuah Tawa Filsafat yang bertindak sebagai Jubah Pengecoh Spiritual. Ia membungkus kearifan sejati, kritikan yang menusuk, dan Kerendahan Hati yang terdalam. Tawa yang, pada akhirnya, mengajukan gugatan paling asasi: SEDALAM INIKAH KELUCUAN NU?
Kelucuan ini adalah penanda Gerak Ruh atau perubahan substansial yang tak pernah berhenti. Ia terwujud dalam perdebatan abadi: mulai dari urusan doa Qunut saat Subuh, hingga urusan jatah Kue Kekuasaan –konsesi pertambangan– yang mengancam Jati Diri Ahlussunnah Waljama’ah di pusat kepengurusan.
Tawa bekerja di sini sebagai Penyembuh Luka Batin di tengah masa genting. Ia adalah penawar bagi nafsu merasa benar sendiri (absolutisme kebenaran), dan sebuah penanda bahwa Warga NU—penjaga tradisi—menyadari betul: segala bentuk klaim atas kekuasaan duniawi—baik struktural maupun kekayaan—adalah bayangan yang akan sirna.
Kini, di tengah arus zaman yang menuntut NU berdiri sebagai Mercusuar Jalan Tengah sekaligus menghadapi urusan-urusan duniawi yang kotor, tawa Almarhum Gus Dur, sindiran pedas Mahbub Junaidi, dan untaian puisi Gus Mus menjadi Jangkar Penenang. Mereka berseru, mengingatkan bahwa tugas utama NU adalah menjaga Kebenaran Hati, bukan Hitungan Untung Rugi Dunia. Inilah babak drama raya NU: serius dalam beragama, tapi tertawa saat menghadapi permainan kuasa.
Perspektif Gus Dur: Filsafat Tuhan yang Nyeleneh dan Pembelaan Kepada yang Lemah
Dalam setiap riak polemik yang menggulung, kehadiran ruh KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terasa begitu nyata. Beliau adalah penjelmaan dari Tawa yang Melampaui Batas, yang memahami bahwa humor adalah senjata filsafat tertinggi.
Tawa Sebagai Kritik Otoritas dan Kontroversi Global
Gus Dur selalu menggunakan kisah-kisah lucu yang ganjil (nyeleneh) untuk meruntuhkan keseriusan palsu dan kesombongan kekuasaan. Tawa baginya adalah cara paling anggun untuk mengatakan, “Kamu tidak sepenting itu.”
Ketika ditanya mengapa perdebatan di tubuh NU tak pernah usai, dari urusan doa hingga urusan politik Muktamar, Gus Dur pernah menjawab dengan kearifan yang membingungkan:
“NU itu kan organisasi yang paling santai di dunia. Bahkan di rumahnya sendiri, ia membiarkan ketidakberesan. Kalau NU mendadak tenang, itu artinya NU sedang sakit keras. Karena keributan itu penanda NU sedang sehat wal afiat, hanya saja agak kurang waras.” [1]
Ini adalah Filsafat Ketidaksempurnaan Manusia. Humor Gus Dur mengajarkan bahwa di hadapan keagungan Sang Pencipta, segala hiruk pikuk organisasi—termasuk badan pembuat keputusan agama (Syuriah) dan badan pelaksana harian (Tanfidziyah)—hanyalah permainan anak kecil. Tawa adalah strategi kerendahan hati kolektif untuk menanggalkan jubah kebesaran.
Isu kontroversial mengenai Pemimpin Tinggi PBNU yang mengundang tokoh dari pihak yang berseberangan dengan nurani umat Islam global [2] adalah cerminan dari ketergelinciran etika yang pasti akan ditertawakan Gus Dur. Beliau akan mengingatkan, dengan tatapan mata teduh:
“Tuhan tidak perlu dibela, Tuhan sudah Maha Besar dan Maha Kuasa. Yang perlu kita lindungi itu ya kaum papa (yang dilemahkan), orang-orang miskin, anak-anak yatim, dan mereka yang terpinggirkan.” [3]
Tawa Gus Dur dalam kasus ini adalah teguran sunyi: fokus organisasi harus kembali pada inti etika, bukan pada bayang-bayang diplomasi politik yang menipu (fatamorgana).
Ujian Etika dan Fitnah Harta: Puisi Balsem Gus Mus dan Ungkapan Mahbub Junaidi
Isu-isu mengenai Izin Tambang Mineral (IUP) dan kabar burung tentang pengelolaan dana umat (Dana Haji) [4, 5] adalah cobaan terberat bagi kejujuran organisasi. Di sinilah kritik sastrawi masuk, bekerja bukan dengan teriakan, melainkan dengan bisikan yang dingin dan menusuk.
A. Puisi Balsem Gus Mus: Menelanjangi Kekuatan Amplop
KH. Musthofa Bisri yang lazim disebut Gus Mus, menggunakan puisi sebagai obat pereda nyeri sekaligus cambuk kritik yang menyejukkan. Puisinya sangat relevan dengan polemik IUP, dugaan pengelolaan dana yang tak transparan, dan usaha melicinkan konflik struktural di PBNU:
Dengarkanlah dengan senyum getir Puisi Balsem Gus Mus berjudul Di Negeri Amplop:
Di negeri amplop Aladin menyembunyikan lampu wasiatnya, malu Samson tersipu-sipu, rambut keramatnya ditutupi topi rapi-rapi David Copperfield dan Houdini bersembunyi rendah diri Entah andaikata Nabi Musa bersedia datang membawa tongkatnya
Amplop-amplop di negeri amplop mengatur dengan teratur hal-hal yang tak teratur menjadi teratur hal-hal yang teratur menjadi tak teratur memutuskan putusan yang tak putus membatalkan putusan yang sudah putus Amplop-amplop menguasai penguasa dan mengendalikan orang-orang biasa Amplop-amplop membeberkan dan menyembunyikan mencairkan dan membekukan mengganjal dan melicinkan [7]
Puisi ini adalah kritik atas tauhid politik: ia menegaskan bahwa kekuasaan Amplop telah menggantikan kekuasaan Ilahi yang dilambangkan lampu wasiat dan tongkat Nabi Musa dalam mengatur kehidupan. Di tubuh NU, isu Dana Umat dan IUP Pertambangan menjadi cermin betapa mudahnya prinsip-prinsip hidup sederhana (zuhud) dikalahkan oleh kekuatan licin yang dibawa oleh Amplop.
B. Mahbub Junaidi: Kelucuan sebagai Kritik Tajam
Mahbub Junaidi, dengan humor satirnya yang khas, selalu mampu mengecilkan keseriusan kekuasaan. Ungkapan lucunya secara langsung menyentil nafsu perebutan jabatan dan ambisi struktural.
Saat polemik kepemimpinan memanas, Mahbub pernah menyindir:
“Kekuasaan itu seperti sabun mandi. Digenggam terlalu erat, ia akan licin dan lepas dari tangan. Digenggam terlalu longgar, ia akan jatuh ke lantai. Lalu, untuk apa diperjuangkan mati-matian? Kecuali hanya untuk mencuci tangan yang sudah terlanjur kotor.” [6]
Ungkapan ini adalah komentar paling tajam terhadap konflik antara Dewan Rohani Syuriah atau Rais ‘Am dan Dewan Pelaksana Tanfidziyah atau Ketum PBNU yang berujung pada saling pencopotan jabatan [8]. Ia mengingatkan bahwa kuasa eksekutif Ketum PBNU itu hanyalah bayangan yang cenderung mengotori, sementara Prinsip Dasar Organisasi –Syuriah dan Khittah– harus tetap di atas segala-galanya.
Konflik Struktural dan Tawa Pemurnian
Konflik yang mencuat antara Otoritas Keagamaan Rais ‘Am (Syuriah) dan Badan Eksekutif Ketum PBNU (Tanfidziyah) yang seolah mengabaikan Pedoman Dasar NU 1926 atau Khittah [9] adalah puncak dari drama kekacauan dalam organisasi. Secara spiritual, bagi NU, ini adalah Ritual Pemurnian yang Pahit.
Gus Dur pernah memvisualisasikan perbedaan ini dengan jenaka:
“Kalau kalian mau melihat NU yang sejati, jangan lihat kantor PBNU yang megah di ibu kota. Lihatlah warung kopi di samping pesantren kecil. Di situ, para Kiai dan Santri sedang menyeruput kopi pahit sambil bercanda. Mereka tidak peduli siapa yang menjabat ketua umum, karena kopi mereka sudah pahit dan kental seperti ajaran tauhid sejati. Sementara yang di Jakarta, kopinya kebanyakan gula dan sering tumpah karena rebutan sendok.” [10]
Kelucuan adalah Penolakan terhadap Otoritas Buta. Ia menegaskan bahwa Inti Sari NU—yang berupa kebersahajaan spiritual, fikih yang moderat, dan persaudaraan—berada jauh di luar jangkauan kekuasaan PBNU yang sibuk berebut sendok (jabatan) dan terancam oleh amplop (kekayaan).
Tawa sebagai Argumen
SELUCU INIKAH NU?
Jawabannya: Ya, dan kelucuan itu adalah tanda keabadian spiritual dan kecerdasan politiknya.
Kelucuan adalah Pembuktian (hujjah) yang paling jujur. Ia adalah pengakuan filosofis yang abadi:
1. Tawa Gus Dur adalah pengakuan bahwa Manusia rentan khilaf (salah).
2. Satir Mahbub Djunaidi adalah kritik bahwa Kekuasaan itu mengotori.
3. Puisi Balsem Gus Mus adalah peringatan bahwa Kebenaran Sejati tidak bisa dibeli dengan Amplop.
NU, dengan segala drama, canda, dan kelucuannya, adalah sekolah kehidupan sejati. Ia mengajarkan bahwa untuk bertahan tegak di tengah gejolak dan godaan zaman, seseorang harus memiliki kekuatan untuk menertawakan dirinya sendiri. Organisasi yang sehat bukanlah yang tanpa konflik, melainkan yang mampu melihat konflik tersebut sebagai bagian dari perjalanan spiritualnya, menuju kebenaran yang hanya mutlak milik-Nya.
Wallahu A’lam bish-shawab.
Dan Allah Maha Mengetahui kebenaran.***
—–
*Gus Nas Jogja, budayawan-santri.



