Sajak-sajak Afnan Malay

JALAN KECIL

 

ta tah

ta tah

ta tah

ibu pelan menatah sabar

anak-anaknya

belajar berjalan

tangan meraih keseimbangan

ta tah

ta tah

ta tah

ibu tekun menatah ketegaran

anak-anaknya

belajar berjalan

kaki ternanam langkah

kepala tengadah

ta tah

ta tah

ta tah

 

Jogja, 30 November 2024

 

 

 

 

 

hanya ibu

 

bu, hanya padamulah

harum bunga-bunga sirna

kata-kata tak pula mantra

 

ibulah bunga

ibulah mantra

 

Jakarta, 2016

 

 

 

 

bu

 

bu,

belikan aku

keberanian

di pasar loak

atau di supermarket

besok!

aku mau

demonstrasi

 

jogja, 1987

 

 

 

 

ibu membatu

 

ibu membatu mengutuk diri

dipahat anak-anaknya jadi relief-relief

di dinding-dinding sejarah, dihapal sambil

lalu: ibu pergi, akta-akta kelahiran kalian

tidak sempat

dicatatkan

 

suatu malam melintang, ibu menikam diri

diiringi nyanyian telanjang meratapi not-not

balok terbentang, kemenangan anak-anakku

hanyalah, “pandai mengelu-elukan riwayat

kekalahan-kekalahan.”

 

mata ibu segera pejam

bagian terakhir ditatah anak-anaknya

sungai-sungai dihadang samudera

kapal-kapal dihantam gelombang

pasang, langit

masih biru

 

Jogja, 11 Februari 2025

 

 

 

 

 

 

buah tangan ibu

 

buah-buah selalu

di tangan ibu

tingginya tak perlu kau

panjat

saat kau tengadah bahu ibu

rebah, “ambil anakku, kau

harus belajar mengupas

buah-buah.”

 

buah tangan ibu

segalanya

ibu beri tanpa kau minta

dibawanya dari

pasar, pinsil mengasah tanganmu

menulis kata-kata. rautan memacu

kau buang yang tumpul. buku-buku

menuntunmu membuka jendela

agar kau mengerti arah pergi

 

buah-buah adalah ibu

bisa kau petik tiap hari

ibulah buah tanganmu

menggenggam kuat

memeluk erat-erat

meraih panjang

jangkauan

 

hari-harimu adalah

ibu

ayah lautan diam

menghadang

gelombang

 

Jogja, Desember 2025

 

 

 

 

 

november kenangan

 

kata ibu, “kau tak pandai berkelahi

tapi pantang menyurutkan langkah.”

tidak semua harus dihadapi

tidak semua harus dihindari

 

aku mengingat masa-masa bertandang

bertamu ke rumah orang, “ayo silakan

diambil, ayo silakan diminum, ayo

tuh kue-kuenya.”

dan aku menggeleng

sampai diambilkan ibu

elok laku kah aku

pemalu kah aku

 

kata ibu, “kau susah dipuji jika sedang

mengerjakan sesuatu. inginmu andai

pujian datang setelah selesai.”

aku ingat, ketika ibu marah

aku diam, tenggelam

kata-kata ibu

lalu kami berpandangan

sama-sama

akhiri waktu

 

 

banyak yang kukenang

hal-hal gembira, air mataku

menetes

hal-hal lara, tawa kecilku

mengeras

 

hidup tidak selalu

mudah dibaca

kampung kami berkelok-kelok

kuingat itulah kenapa

buku-buku ayah

begitu banyak

 

Jakarta, 12 November 2024

 

 

 

 

kampungku
disembunyikan peta

 

bagiku jalan pulang selebar

pematang sawah, jalan lurus kecil

kaki mungil berkawan rumput-rumput

tapak menahan dingin dikirim embun pagi

aku ragu, kampung menanti

namanya kusimpan lusuh di

lembaran kertas, kusam kini

 

kampung tinggal, ketika

lambaian kukira rahasia perpisahan

yang tak perlu segera aku pecahkan

kata ibu, aku menangis merisak

dalam pangkuan

 

rindu belum sempat kupelajari

pulang bagiku hanya lengang: rahasia

yang tersimpan rapi tanpa kenangan

selebar jalan di pematang sawah

disembunyikan peta mengasah

arah, sesekali kutemukan resah

jalan berkelok pulang

 

 

kata ibu,

jernih air danau

memandikanmu

 

Jogja, Agustus 2024

 

 

 

 

 

menunggu aisha ujian

 

ayah datang, Sha

mengantarmu ujian sekolah

di sela waktu yang acap terbelah

bersama ibu, kami menunggu

di kafe seberang jalan

ibu

selesaikan disertasi

ayah menyeruput

kopi

bali kintamani

 

Sha, kita memulai ujian

yang entah diakhiri kapan

semua merancang bahagia

dari ujian ke ujian

tidak terelakkan

 

orang-orang

sepanjang

usia sansai badan

didera ujian

pernahkah

selesai?

 

selamanya hidup

perkara mendapatkan

dan kehilangan. kadang kita

dapatkan yang tidak diinginkan

kadang kehilangan yang diinginkan

tidak

 

Sha, ayah menunggumu

ujian, “setiap kita dihadang

ujiannya masing-masing.”

 

Jogja, November 2025

 

 

 

 

 

di atas bukit,
flamboyan itu,
dan mengantar
senja

 

Sha, anakku mengajak

ke atas bukit, “aku ingin melihat

matahari ayah,” pulang sepanjang

masa membagi cahaya, tahukah ia

yang ditinggalkannya berkawan

gulita

.

di atas bukit

di bawah Flamboyan berbunga

sedikit. kami melihat cahaya

tenggelam berselimut awan

oranye, “ayah, bahkan kepergian

cahaya meninggalkan pesona.”

anakku berkali-kali

menyalin gambar

senja mengantar

cahaya

 

aku meminta difoto

di bawah Flamboyan

kulihat beberapa bunga

berjatuhan, seperti cahaya

pulang. bunga-bunga

berjatuhan warnanya

tetap menyala-nyala

tampak tak

pudar

pudar

 

Jogja, Desember 25

 

 

 

*Afnan Malay, lulusan Fakultas Hukum UGM Yogyakarta ini lahir 12 November 1965 di Maninjau Sumatera Barat. Penyair ini mengikuti program residensi puitika di Chili (2022) dan di Kazakhstan (2024) atas dukungan Dirjen Kebudayaan RI. Tahun ini menerima Dana Indonesiana untuk kategori Penciptaan Karya Kreatif Inovatif dari Kementrian Kebudayaan RI. Buku antologi puisi yang sudah terbit Tentantang Presiden dan Pelajaran Membaca, Tukang Cukur Tuan Presiden, Buku Fiksi Mulyono, dan Anjing Berbukit Kabut.