Identitas Budaya pada BWCF 2017
Gandwyuha menjadi tema sentral dalam gelaran keenam Borobudur Writer and Cultural Festival (BWCF) 2017 yang berakhir 25 November 2017 lalu. Sebagaimana tertulis di laman borobudurwriters.id, BWFC 2017 menghadirkan tema Gandawyuha sebagai upaya pencarian ketuhanan yang sangat universal. Sebab Gandawyuha mencerminkan tingkat toleransi agama yang tinggi. Kisah ini bahkan bisa membuktikan bahwa antara Borobudur dan Prambanan tidak terjadi kompetisi atau persaingan religi.
Dalam relief Gandawyuha misalnya, menurut ahli Buddha, Hudaja Kandahjaya terdapat sosok Mahadewa dari ikon Hindu yang ditampilkan lengkap dengan atribut Siwa. Gambaran ini menurutnya sangat berbeda dibanding lukisan serupa yang dibuat di Cina atau Tibet yang cenderung mendominasikan sangat Buddha dan tidak mencerminkan konotasi Hindu.
Mahadewa di dalam Gandawyuha berkedudukan sebagai salah satu kalyanamitra, seperti halnya Avalokiteswara atau Maitreya, yang juga berlaku sebagai kalyanamitra di dalam sutra tersebut.
Menurut Hudaja Kadahjaya, penelitian lebih lanjut terhadap Sutra Gandawyuha mengungkapkan bahwa sutra ini bukan hanya mengangkat derajat Mahadewa, melainkan juga anggota masyarakat makhluk lain yang berasal dari berbagai kalangan ikut menjadi kalyanamitra.
Hudaja menyebutkan, bahwa jika dihitung dengan cermat, komponen kelompok kalyanamitra yang berasal dari lingkungan agama Buddha bahkan hanya menyumbang 25 persen dari keseluruhan kalyanamitra yang disebut di Sutra Gandawyuha. Hampir 25 persen lainnya adalah makhluk halus, termasuk Mahadewa.
50 persen sisanya berasal dari kalangan lain, termasuk kaum Brahmana, cendekiawan, profesional, politikus, dan perumahtangga. Kaum perumahtangga, termasuk bocah lelaki maupun perempuan, hampir mencapai 25 persen dari total kalyanamitra.
Dilihat dari komposisi kalyanamitra itu maka Hudaja Kandahjaja berpendapat Sutra Gandawyuha seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ajaran agama Buddha, yang berupaya mencapai pencerahan sempurna, sesungguhnya bisa diperoleh dari banyak sumber
Pendapat ini penting karena ini memperlihatkan bahwa pembangunan berturutan dua candi termegah di Indonesia Borobudur dan Prambanan sama sekali bukan karena persaingan atau politik agama, melainkan karena prinsip ajaran kebenaran itu tunggal.
Oleh karena itu, gelaran BWCF 2017, mendiskusikan Gandawyuha secara lintas disiplin, dengan mengundang para biku, arkeolog, ahli agama Buddha, peneliti sutra dan kalangan agamawan lain. Termasuk para peneliti dan penghayat kebatinan, olah jiwa, tradisi-tradisi silat di nusantara dan pelaku agama-agama lokal Nusantara. [Ali Ibnu Anwar/berbagai sumber]
REDAKSI SUTERA.ID
Terbit 26 November 2017