Arkeologi Kritis, Teori Kritis, dan Problem Kekuasaan di Zaman Hindu-Buddha
Oleh: Tanpo Aran
Tanggal 22 Oktober tahun lalu, di Gedung sepuluh, FIB UI dilaunching sebuah buku berjudul: Arkeologi Kritis karya Andre Donas. Andre merupakan salah satu alumnus arkeologi UI. Buku ini memuat kumpulan tulisan popular Andre seputar opini-opini mengenai arkeologi.
Istilah arkeologi kritis diperkenalkan Andre. Ada dua opininya mengenai arkeologi kritis terhimpun dalam buku itu . Selebihnya tulisannya berbicara macam-macam. Dalam dua tulisannya tersebut ia menyinggung teori kritis sebagai alat bantu bagi munculnya arkeologi kritis. Dia juga menguraikan kecenderungan-kecenderungan arkeologi Indonesia yang masih ke arah positivistik
Andre Donas misalnya menulis: “…Hampir bisa dikatakan, arkeologi di negara kita terus berkembang namun terjebak mengikuti garis lurus sebuah paradigma pemikiran yang dikenal sebagai positivisme. Secara metodologi juga tidak mengalami perubahan berarti, dimana pendekatan fungsional (teori sistem) masih sangat mendominasi. Pendekatan interpretatif untuk mengungkap sistem simbol ideologi dan makna masih sangat minim…”
Dalam pasasi lain, ia menyatakan: “…Arkeologi harus menjadi alat kritik ideologi yang menyadarkan, melahirkan dan menghadirkan kegelisahan terhadap penderitaan manusia. Sehingga ikut membuah sikap parsipatoris dan emansipatoris terhadap penderitaan manusia tersebut. Oleh karena itu sudah saatnya kita memutuhkan suatu bentuk interpretasi arkeologi yang tidak berhenti pada sekedar penafsiran semata tapi juga berfungsi membangkitkan dan membangun kultur anamnetis yaitu sebuah kultur yang melihat masa lalu bukan Cuma sekedar wujud dari kerinduan manusia akan pengetahuan, dan yang jauh lebih penting lagi , sebagai wujud kesadaran pentingnya Upaya pembebasan penderitaan umat manusia. Sikap kritis seperti itu yang komunitas arkeologi butuhkan sekarang dan di masa datang…”
Terlihat pengertian kritis di sini lebih ditekankan Andre Donas tentang bagaimana arkeologi secara praktis bisa menjadi ilmu emansipatoris. Arkeologi diinginkannya dapat menjadi ilmu yang juga terlibat parsipatoris dalam persoalan-persoalan aktual masyarakat.
Memang teori kritis adalah suatu teori yang menginginkan analisa-analisanya akhirnya memiliki dampak perubahan terhadap masyarakat. Namun untuk menuju ke sana yang harus didiskusikan terlebih dahulu menurut saya adalah membongkar mindset atau frame dasar berpikir arkeolog mengenai masa lalu yang cenderung melihat masa lalu sebagi sesuatu yang “eksotik”. Menurut saya aktivitas parsipatoris ke masyarakat adalah isyu selanjutnya setelah kita sudah mengritisi cara pandang dasar umumnya arkeologi Indonesia. Apalagi sekarang isyu-isyu pemberdayaan emansipatoris masyarakat melalui arkeologi sedikit banyak sudah tertampung dengan isyu-isyu gerakan arkeologi publik. Di Banten – para arkeolog misalnya mendidik para pekerja batik untuk membuat batik dengan pola-pola ornament yang ditemukan pada peninggalan-peninggalan arkeologi Banten. Keterlibatan partirsipatoris para arkeolog ini memunculkan sebuah jenis Batik Banten yang memberikan potensi ekonomi.
Yang malah agak belum bergema menurut saya adalah bagaimana teori kritis dioperasionalikan dalam mengkaji atau membedah masa lalu yang terselubung kekuasaan. Hal ini sangat dasar dan harus lebih dulu dipahami. Singkatnya untuk kerja-kerja penafsiran masih ada problem yang butuh didiskusikan. Seperti kita ketahui berdasar bahan-bahan prasasti, artefak dan manuskrip sezaman, para arkeolog berusaha merekonstruksi masa lalu. Namun umumnya adalah steril dari kritisisme atas kekuasaan. Para arkeolog seolah menghindari persoalan bahwa kekuasaan yang merepresi masyarakat bukan hanya terjadi di masa sekarang namun juga di masa lalu. Era Hindu-Buddha pun tak terlepas dari persoalan kekuasaan yang tidak egaliter. Cenderung para arkeolog terperangkap memahami kekuasaan di era Hindu-Buddha sebagai representasi keagungan, keluhuran nusantara.
Teori kritis adalah teori yang peka bahwa manipulasi kekuasaan ada dimana-mana. Teori Kritis oleh para penulis Mazhab Frankurt ditujukan sebagai kritik ideologi terhadap masyarakat industri maju, kritik untuk membongkar kedok-kedok ideologis dari positivisme. Positivisme sebagai cara berpikir yang menjangkiti kesadaran masyarakat industri maju. Pada taraf teori sosial kritik dibidikkan ke arah berbagai bentuk penindasan ideologis yang melahirkan konfigurasi sosial masyarakat yang represif.
Dan kritik ideologis tersebut menurut saya bukan hanya bisa ditujukan kepada kapitalisme modern namun juga pada kekuasaan masa lalu di zaman Hindu-Buddha yang menjadi sendi-sendi dasar kebudayaan masyarakat kita sampai kini. Dalam kerja-kerja interpretatifnya umumnya para arkeolog kita bekerja tanpa melihat adanya manipulasi-manipulasi terselubung dalam kekuasaan di masa lalu, terutama bila mereka menafsirkan kekuasaan era Hindu-Buddha rata-rata lebih terpukau untuk menampilkan budaya spiritual atau sistem birokrasi “secara eksotis” tanpa kritis membedah impilkasi-implikasi ideologisnya kepada pengembangan masyarakat. Sehingga gagal merumuskan bahwa masa lalu penuh kekuasaan represif yang residu-residunya terus terbawa sampai menuju kekuasaan modern.
Pada titik itulah saya melihat kekurangan buku Andre Donas. Secara bagus Andre Donas telah mengintrodusir istilah Arkeologi Kritis. Dan membahas misi dan semangat Teori Kritis. Namun itu tidak disertai contoh-contoh bagaimana Teori Kritis dioperasionalisasikan dalam kajian-kajian arkeologi. Buku Andre Donas tidak membedah apa yang biasanya dibahas dalam studi arkeologi sebetulnya berkaitan dengan dimensi-dimensi kekuasaan di era Hindu-Buddha yang mentalitasnya terbawa sampai birokrasi pemerintahan masa kini..
Di Kolumbia misalnya para arkeolog yang bertolak dari pendekatan Marxian mulai agak hati-hati saat membahas tinggalan tinggalan piramida di kawasan Amerika Latin yang agung. Tidak serta merta mereka mengagumi dan memuja-muja secara taken for granted atau menempatkan secara bebas nilai tafsiran-tafsiran mereka pada penemuan-penemuan artefak Inca maupun Maya. Tulisan Christopher N Matthews, dkk di Journal Social Archaeology, February 2022 berjudul: The Political Economy of Archaeological Cultures: Marxism and American Historical Archaeology menjelaskan 20 tahun terakhir pendekatan-pendekatan terhadap material culture dengan pendekatan perspektif kritis berkembang pesat di Amerika latin.
Problem Glorifikasi Masa Lalu
Banyak tulisan-tulisan arkeologi kita yang cenderung mengglorifikasi masa lalu. Dalam tulisan-tulisan demikian senantiasa ditonjolkan kejayaan masa lalu. Masa lalu seolah masa yang penuh pencapaian-pencapaian yang tak bisa diulang pada masa kini. Hal demikian kerap saya amati mengemuka pada misalnya perbincangan-perbincangan mengenai Trowulan dan Majapahit. Banyak komunitas-komunitas lokal pecinta Majapahit yang “die hard ” tatkala membahas Majapahit membayangkan sebuah imajinasi yang terlalu ideal dan sempurna untuk Majapahit. Majapahit di abad 14 adalah sebuah negara yang sangat kuat, masyarakatnya sejahtera, literasi muncul merata, tata planologi kotanya jenius, teknologi perkapalan dan pembuatan tosan ajinya berkembang pesat dan sebagainya. Singkatnya imperium Majapahit tanpa cacat sama sekali.
Sama sekali tidak diperhatikan mengenai feodalisme di Majapahit dan bagaimana feodalisme itu terpantul jauh sampai ke era kita. Sama sekali tidak diperbandingkan bahwa di zaman abad 14 m di belahan dunia lain misalnya di Eropa, Iran dan Timur Tengah, Cina juga penuh pencapaian-pencapaian besar dalam segala hal yang jauh mengalahkan Majapahit. Mulai pembangunan-pembangunan gedung dengan tata arsitek luar biasa yang masih bisa dilihat sampai sekarang sampai penemuan-penemuan sains. Universitas-universitas yang didirikan masa-masa itu bertahan sampai sekarang. Traktat-traktat pemikiran dari politik sampai sastra yang dilahirkan periode itu begitu banyak dan masih dibaca sampai sekarang Contohnya karya-karya Shakespeare. Dan pemahaman global konteks seperti itu sama sekali tak dipahami saat menampilkan bayangan-bayangan mengenai Majapahit. Itu menjadikan Majapahit seolah-olah imperium besar berperadaban tinggi tiada taranya. Padahal faktanya Trowulan hanya tinggal puing-puing. Hanya beberapa candi yang masih bisa dilihat, itupun tak utuh.
Raja-raja yang memerintah Majapahit menampilkan diri sebagai seorang Deva raja atau seorang raja titisan atau perwujudan dewa. Konsep Dewaraja adalah konsep teologi Hindu yang berasal dari India Selatan. Konsep ini berkaitan dengan pemuliaan atau pemujaan raja sebagai dewa. Raja dalam konsep ini direpresentasikan sebagai Siwa atau Wisnu. Konsep yang berakar dari tradisi Vedic ini terutama berkembang di era raja-raja dinasti Tamil Nadu: Pallava dan Chola. Para arkeolog India menyebut pahatan relief yang menggambarkan penahbisan (coronation) abhiseka raja di candi Vaikunthaperumai, Kanchipuram1 dan arsitektural candi Brhadisvara di Tanjavur2 misal sebagai bukti kuat akan adanya kultus Dewaraja atau “Devaraja cult”. Kultus Dewaraja ini kemudian ditenggarai menyebar masuk ke Asia Tenggara: Kamboja, Jawa dan Champa. Di Kamboja dan Champa, munculnya konsep Dewa Raja sudah bisa ditengarai semenjak abad 4-7 M. Di Jawa, sekitar abad itu jarang terdapat prasasti atau arca-arca yang menampilkan konsep Dewa Raja. Menurut arkeolog Jogja, Drs Kusen dkk indikasi konsep Dewa Raja sudah dikenal di Jawa era abad 10 M tertera pada Prasasti Wanua Tengah 3 yang dikeluarkan pada 908 M. Di prasasti itu disebutkan Raja Balitung bergelar Rudramurti atau berbadan Rudra (Siwa), sementara maha mentrinya bergelar Wisnumutri (berbadan Wisnu). Tapi memang pada era Majapahitlah, gagasan Dewa Raja sangat menonjol dan dipraktekkan.
Pada titik inilah menurut hemat saya sebuah arkeologi kritis sangat diperlukan saat arkeolog merekonstruksi segi-segi kehidupan di Majapahit yang berkaitan dengan Dewa Raja. Jelas gagasan Dewa Raja adalah gagasan yang sangat feodal. Dan gagasan ini menjadi acuan dalam birokrasi Majapahit sampai kehidupan masyarakat Majapahit sehari-hari. Arkeolog harus sadar bahwa gagasan Dewa Raja ini – sebagaimana kita baca disertasi Soemarsaid Moertono: Negara dan kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX dan buku Fachry Ali: Refleksi paham “Kekuasaan Jawa’ dalam Indonesia Modern nuansa-nuasan negatifnya tetap mengalir sampai jauh ke Jawa modern bahkan sampai ke Orde Baru. Hingga bila arkeolog secara kritis mau membongkar dan mempertunjukan -serta menekankan itu sangat membantu untuk mencari akar-akar persoalan kekuasaan modern Indonesia.
Namun kebanyakan arkeolog tak ingin menjamah persoalan ini. Tatkala tim arkeolog UI pada tahun 2012 melakukan penelitian mengenai saluran-saluran air di Trowulan, kesimpulan utama yang didapat, sebagaimana dituliskan oleh Prof Agus Aris Munandar dalam laporan eksvakasi Penelitian Arkeologi Terpadu 2012 adalah: Trowulan merupakan sebuah kota yang penuh saluran-saluran alir besar kecil yang mengalirkan Amertha atau air suci dari Patirthan Kedaton (istana) ke seluruh penjuru kota sampai ke pemukiman-pemukiman rakyat jelata. Menurut Agus konsep tata saluran-saluran air ini ada kaitannya dengan raja-raja di Majapahit yang memosisikan dirinya sebagai dewa raja. Akan tetapi penelitian ini sama sekali tidak mengritisinya.
Menurut Agus, air yang digunakan sehari-hari oleh raja dan kalangan kerabatnya setara dengan air Amerta atau air suci. Air bekas yang digunakan raja menurut Agus bagi rakyat kebanyakan dianggap membawa berkah. Agus menganggap Sumur Upas yang ada dilokasi situs Kedaton dahulunya adalah patirthan Raja Majapahit dan kerabatnya. Di petirthaan inilah sang raja sehari-harinya mandi. Masyarakat Trowulan sendiri kini mempercayai situs kedaton dulu memiliki kolam yang dijadikan tempat kungkum raja. Air dari Sumur Upas juga dipercaya masyarakat setempat dulunya digunakan untukan mencucui tosan aji atau keris-keris kerajaan yang dianggap memiliki tuah. Dari hasil eksvakasi di sekitar Kedaton tim gabungan UI-UGM-Unhas-Unud memang menemukan saluran-saluran air yang semuanya mengarah ke Sumur Upas. Menurut Agus, itu menandakan air bekas mandi raja ini kemudian dialirkan keluar dari patirthan Sumur Upas dan didistribusikan ke pemukiman-pemukiman lain seperti pemukin bangsawan melalui saluran-saluran air khusus yang berjenjang dalam ukuran dan fungsinya.
Menurut Agus air dari patirthan itu juga meresap ke dalam tanah di seluruh kawasan Majapahit. Dia melihat rakyat jelata yang tidak memiliki saluran air khusus untuk mendapatkan air suci bekas mandi atau kungkum raja itu kemudian “menambang” air suci tersebut dengan cara membuat sumur-sumur yang dindingnya dibuat dari tanah liat bakar yang disebut jobong. Itulah sebabnya di pemukiman rakyat jelata banyak terdapat jobong-jobong. Selain memang untuk mendapatkan air untuk kehidupan sehari-hari, Agus memperkirakan itu juga digunakan untuk mendapatkan air suci bekas raja. Di kawasan Nglinguk Trowulan misalnya bisa ditemukan puluhan jobong pada sebuah areal yang tidak terlalu luas.
Demikianlah. Tata kelola air yang canggih Trowulan sesungguhnya menurut pembacaan Agus Aris Munandar dan Tim UI merupakan tata saluran untuk mendistribusikan air bekas mandi raja dan keluarganya. Masyarakat diberi kepercayaan bahwa mandi dengan air bekas raja yang setara dewa akan membawa berkah. Jelas ini merupakan suatu ideologi yang sangat non sense dan membodohkan masyarakat. Jelas ini sebuah bentuk manipulasi-manipulasi kekuasaan. Laporan tim arkeologi UI namun tidak melakukan semacam kritik ideologis terhadap penemuan ini. Bahkan cenderung afirmatif, tidak mempersoalkan sama sekali. Arkeologi di sini artinya tidak menjadi alat penyadaran akan adanya tindakan-tindakan irasional kekuasaan di masa lalu yang membuat masyarakat mengidap kesadaran palsu.
Menurut saya banyak lagi contoh-contoh di dunia arkeologi, yang sesungguhnya menyingkapkan fenomena manipulasi-manipulasi kekuasaan, Yang seharusnya oleh para arkeolog diberi perhatian kritis namun itu tidak dilakukan. Dan dibiarkan hanya sebagai data dan fakta yang wajar. Di bawah ini saya akan mengemukakan dua contoh lagi yang menurut saya sangat berkaitan dengan mentalitas birokrasi sekarang dan problem korupsi, kolusi, gratifikasi sekarang yang susah dipecahkan. Saya hanya ingin memperlihatkan problem gratifikasi misalnya akarnya jauh ke mentalitas kekuasaan dalam sejarah kuno Indonesia. Itu seharusnya diakui dan dikritisi oleh arkeolog, bukan sebaliknya memberikan analisisa-analisa steril, sehingga arkeolog bisa menyumbangkan “sesuatu” yang mencerahkan dalam pemahaman mentalitas gratifikasi kita.
Masalah Pajak di Era Hindu-Buddha Butuh Analisa Teori Kritis
Kasus pertama yang ingin saya angkat adalah pajak. Dewasa ini masalah pajak mengemuka karena pemerintah dianggap mengeluarkan regulasi pajak yang memberatkan bagi masyarakat. Pemerintah seperti kita ketahui tengah bersiap meningkatkan penerimaan pajak, termasuk barang-barang kebutuhan pokok isyunya akan dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Indonesia sangat tergantung kepada pajak. Data menunjukkan 82 persen pendapatan negara berasal dari pajak.
Di negara-negara seperti Skandinavia pajak memang tinggi namun itu digunakan untuk membeayai berbagai layanan publik mulai dari infrastruktur, sekolah gratis, pelayanan kesehatan, dana pensiun dan sebagainya, hingga kualitas hidup warganya tinggi dan menjadikan warga Skandinavia tingkat kebahagiaannya pun tinggi. Sementara di Indonesia, masyarakat belum merasakan manfaat besar atas pembayaran pajak. Fasilitas-fasilitas yang disediakan pemerintah masih sangat mengecewakan warga. Tingkat hidup warga tidak bagus. Filsuf politik Amerika, Robert Nozik pernah mengemukakan pajak yang terlalu tinggi adalah bentuk eksploitasi. Tatkala rakyat dipaksa membayar pajak tanpa imbalan yang setara menurutnya itu setara dengan kerja paksa.
Masalah bagaimana negara sangat tergantung pajak sebenarnya bisa ditelusuri sejak zaman Hindu-Buddha. Penguasa-penguasa di zaman Hindu Buddha juga menyandarkan pendapatan finansialnya dari pungutan-pungutan pajak terhadap masyarakat bahkan masyarakat kecil bukan dari pendapatan perdagangan. Pemerintahan di zaman Hindu-Buddha membentuk unit-unit birokrasi pemerintahan yang massif untuk pemungutan pajak. Arkeolog seharusnya mampu menguak apakah memang mentalitas negara kita kini yang terlalu mengandalkan pajak berakar dari masa lalu?
Dari era pemerintahan Syailendra sampai zaman Majapahit terdapat divisi pejabat yang disebut Mangilala Drwya Haji. Mereka ini adalah pejabat pemungut pajak. Drwya artinya kekayaan. Haji adalah raja. Jadi mereka adalah pengumpul kekayaan raja. Sektor-sektor profesi yang kena pajak sangat banyak. Pejabat-pejabat yang tergabung dalam Mangilala Drwya Haji memilki spesifikasi-spesifikasi penagihan profesi-profesi. Beragam tarikan pajak dilakukan. Ada petugas yang khusus menarik pajak bagi pemilik lahan-lahan pertanian yamg produktif,
Ada petugas yang khusus menarik pajak berbagai macam pedagang, petugas yang khusus menarik pajak perjudian, juga ada petugas yang khusus menarik pajak dari kalangan pengrajin, juga pejabat yang spesial menarik pajak seniman, mulai pelawak sampai penabuh gamelan, pejabat yang mengumpulkan pajak dari kalangan tukang atau pande dan sebaginya . Bahkan kalangan pelacur pun juga terkena pajak. Petuga yang memungut pajak di kalangan prostitusi ini disebut Juru Jalir. Hampir seluruh profesi di zaman Jawa kuno dikenai pajak. Bisa disimpulkan maka dari itu bahwa sebagaimana pemerintahan Indonesia sekarang, pemungutan pajak adalah pendapatan utama dari raja-raja di Jawa kuno.
Jumlah pejabat Mangilala Drwya Haji ini bertambah terus dari era Syailendra ke Airlangga lalu ke zaman Mpu Sindok dan puncaknya di era Majapahit. Pada masa era Syailendra, pejabat Mangilala Drwya Haji hanya 20-40 orang .Sementara pada zaman Airlangga ada lebih dari 200 macam pemungut pajak dalam lingkungan pejabat Mangilala Drwya Haji. Itu artinya makin banyak profesi dalam masyarkat yang terkena pajak. Besarnya jumlah pejabat Mangilala Drwya Haji menjadi simbol kebesaran kerajaan.
Jelas Mangilala Drwya Haji merupakan instrumen kekuasaan yang membebani masyarakat. Arkeolog seharusnya saat membahas Mangilala Drwya Haji juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis. Di sini kekuasaan jelas eksploitatif terhadap rakyatnya sendiri. Sejarawan Ongkokham pernah menduga pasti prakteknya di masa lalu itu juga terdapat penggelembungan-penggelembungan dan penyelewengan-penyelewengan pajak yang dilakukan Mangilala Drwya Haji kepada para petani yang buta huruf.
Hal ini penting, karena ini merupakan akar korupsi di Indonesia. Dengan perspektif teori kritis terhadap pajak di masa lalu, arkeolog dapat masuk ke tema selanjutnya misalnya menginvestigasi adakah data mengenai pembangkangan-pembangkangan masyarakat di era Hindu-Buddha terhadap perintah Dewa Raja seperti misalnya kelompok Samin di era kolonial yang tak mau membayar dan melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda? Selama ini celakanya banyak kajian mengenai mangilala drwya haji namun kajian ini seolah menganggap para pejabat ini merupakan bagian dari keunikan birokrasi lampau. Sama sekali tak membongkar kepentingan-kepentingan penguasa, yang memperkaya sendiri imperiumnya namun memiskinkan rakyat jelata.
Masalah Pasek-pasek (hadiah-hadiah kepada para Birokrat) di Era Hindu-Buddha Juga Butuh Pendekatan Teori Kritis
Dalam setiap upacara peresmian sima (tanah yang dibebaskan dari pajak biasanya tanah untuk pembangunan candi) di akhir acara selalu ada peristiwa pembagian Pasek-pasek atau pembagian hadiah kepada raja atau kalangan bangsawan. Upacara peresmian sima selalu di Jawa kuno berlangsung seremonial dan “birokratis”. Dihadiri petinggi-petinggi kerajaan dan pejabat-pejabat daerah. Hadiah-hadiah ini mulai dari kain mahal, kerbau, keris, emas, perak. Juga diberikan uang untuk ongkos pergi dan pulang dari lokasi upacara.
Jumlah dan jenis-jenis pasek-pasek yang diberikan umumnya sesuai dengan tingkat jabatan penjabat. Makin tinggi tingkatn jabatannya makin mahal barang-barang yang dihadiahkan. Hadiah untuk keluarga raja tentunya berbeda dengan pejabat lingkungan kerajaan. Di antara pejabat pun terdapat perbedaan pemberian hadiah sesuai hirarki jabatannya.
Saya melihat Pasek-pasek ini adalah akar dari gratifikasi di era modern dan juga akar dari kultur suap menyuap dalam birokrasi negara modern. Tradisi pemberian hadiah kepada pejabat di era Hindu-Buddha adalah sesuatu yang dilembagakan dalam acara-acara seremonial resmi yang dihadiri pejabat tinggi. Pejabat tinggi harus diistimewakan oleh rakyat dan dijunjung dengan pemberian barang-barang mahal yang sesungguhnya pasti membebani masyarakat. Pemberian hadiah itu seolah hak bagi keluarga raja dan pejabat. Masyarakat tidak berani menolak tradisi ini karena telah dimanipulasi kesadarannya bahwa raja titisan dewata atau Dewa Raja.
Penutup
Teori kritis tidak hanya dibutuhkan untuk membongkar kepentingan-kepentingan positivistik dan manipulasi-manipulasi ideologi di era kapitalisme modern tapi juga untuk membongkar hal-hal yang dianggap normal oleh arkeolog di era pemerintahan Hindu-Buddha di Nusantara. Kekuasaan di era Hindu Buddha juga memiliki tendensi koruptif dan intimidatif. Pajak terhadap semua lapisan profesi yang dipungut oleh Mangilala Drawya Haji dan pemberian-pemberian hadiah atau pasek-pasek kepada para pejabat dalam upacara-upacara resmi yang melibatkan birokrasi pada dasarnya adalah akar dari sejarah panjang persoalan korupsi dan gratifikasi di era Indonesia modern.
—-
1Poundarai, Raju, Cultural Contacts of South India and South-East and Far-East Asia: An Exploration of the Phenomenon of the Devaraja Cult dalam God&King : The Devaraja Cult in South Asian Art and Architecture, Edited by Arputha Rani Sengupta, National Museum Institute, New Delhi, 2005.
2Suresh,S, The Devaraja Concept in Ancient Tamilakam: Numismatic and Art Historical Evidence dalam God&King: The Devaraja Cult in South Asian Art and Architecture, Edited by Arputha Rani Sengupta, National Museum Institute, New Delhi, 2005.
***
*Penulis pensiunan tinggal di Desa Pager Gunung, Magelang.